Jebakan Tiga Periode Presiden Jokowi

Oleh: Wempy Hadir - Direktur Eksekutif Surveylink Indonesia

Rabu, 23 Juni 2021 – 08:05 WIB
Direktur Eksekutif Surveylink Indonesia Wempy Hadir. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com - Belakangan ruang publik kita sudah mulai disesaki oleh wacana beberapa kelompok masyarakat yang mendorong masa jabatan presiden diubah menjadi tiga periode.

Gagasan tersebut datang dari sekretariat nasional (Seknas) Jokowi-Prabowo (JokPro) yang didirikan pada tanggal 20 Juni 2021 di Jakarta.

BACA JUGA: Sudah Sesuai Konstitusi, Idris Laena Apresiasi Sikap Jokowi Tolak Tiga Periode

Mereka menghendaki Presiden Jokowi untuk maju pada Pilpres 2024 didampingi oleh Prabowo Subianto menjadi cawapresnya.

Bak gayung bersambut, pada tanggal 21 Juni 2021 di NTT juga digelar referendum untuk meminta tanggapan publik terkait dengan dua hal yakni, apakah setuju jika presiden Jokowi dipilih kembali menjadi presiden untuk periode ketiga?

BACA JUGA: HNW: Mau Tiga Periode? Silakan Jadi Kepala Desa

Lalu, apakah setuju jika Pasal 7 UUD 1945 tentang masa jabatan presiden diubah? Referendum tersebut digelar sejak 21 Juni - 21 Juli 2021. Hingga saat ini, kita belum tahu seperti apa hasil dari referendum tersebut.

Wacana di atas, telah menimbulkan perdebatan di ruang publik. Ada yang mendukung, ada juga yang menolak.

BACA JUGA: Anggota DPD Tolak Perpanjangan Masa Jabatan Presiden Tiga Periode

Bagi yang mendukung, argumentasinya adalah untuk melanjutkan berbagai program yang sudah dicanangkan oleh Pak Jokowi supaya ada keberlanjutan dari program-program tersebut. Mereka khawatir bahwa program yang sedang dijalankan akan putus di tengah jalan kalau belum selesai pada periode kedua Pak Jokowi.

Sementara kelompok yang menolak bertolak dari dari realitas bahwa kekuasaan yang digenggam terlalu lama bisa tergoda ke otoritarianisme, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) serta mandeknya kaderisasi politik dan sirkulasi elit pada level nasional.

Sebagai sebuah kebebasan menyatakan pendapat dalam alam demokrasi, tentu hal tersebut adalah sebuah keniscayaan. Akan tetapi sebagai sebuah negara yang sudah merdeka sejak 1945, tentu kita mempunyai lembaran sejarah yang bisa dijadikan sebagai rujukan dalam membangun road map demokrasi bangsa kita.  

Selain itu, sejarah bangsa lain juga bisa menjadi cermin bagi bangsa kita dalam mengelola demokrasi agar transisi/rotasi elite bisa berjalan sesuai dengan konstitusi yang berlaku.

Plastisitas terhadap konstitusi akan membawa dampak ketidakstabilan konstitusi karena dianggap bisa diubah sesuai dengan kehendak politik penguasa.

Belajar Dari Sejarah

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Lahirnya dekrit ini tidak terlepas dari konteks saat itu yang mana bangsa Indonesia mendapatkan ancaman baik dari dalam maupun dari luar.

Ancaman dari dalam ialah adanya gerakan dari kelompok tertentu yang ingin mendirikan negara sendiri alias mau melepaskan diri dari Indonesia. Sementara ancaman dari luar adalah adanya ancaman dari negara tetangga terhadap tapal batas antara Indonesia dan Malaysia.

Tantangan tersebut membutuhkan kestabilan politik agar semua kekuatan dalam negeri bisa dikonsolidasikan untuk membentuk kohesitas nasional agar mampu menghadapi tantangan baik dari dalam negeri maupun tantangan yang datangya dari luar.

Seharusnya ketika situasinya sudah normal kembali, maka proses transisi kekuasaan harus dilakukan secara normal. Akan tetapi dekrit presiden telah membuat Soekarno aman pada posisinya sebagai presiden seumur hidup.

Akibatnya adalah Soekarno dilengserkan karena dianggap tidak berhasil dalam mengatasi persoalan bangsa saat itu.

Akhirnya tidak terjadi proses transisi yang normal. Apa yang terjadi pada era Soekarno menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia bahwa masa jabatan presiden perlu dibatasi. Maka pada era Presiden Soeharto, masa jabatan presiden lima tahun untuk satu periode. Seorang presiden boleh dipilih kembali pada periode berikutnya.

Sayang sekali, harapan terjadinya pembatasan kekuasaan pada era Soeharto tidak terjadi. Malah lebih parah karena Soeharto berkuasa lebih dari tiga puluh tahun. Dengan demikian, tidak terjadi proses kaderisasi kekuasaan selama periode tersebut.

Hegemoni politik dan ekonomi sangat kental. Bahkan lebih parah lagi, era Soeharto bisa dibilang sebagai masa kelam (dark age) bangsa Indonesia. Para kroni Soeharto menikmati dampak ekonomi, politik dan sosial dari kekuasaannya selama tiga puluh tahun lebih. Sementara mayoritas masyarakat hidup dalam kemiskinan dan tidak berdaya.  

Apa yang terjadi pada Soekarno, Soeharto dan Jokowi mempunyai kemiripan. Pada awalnya Soekarno mendapatkan dukungan dari kekuatan politik saat itu, sehingga dekrit presiden tidak mendapatkan perlawanan yang berarti.

Akan tetapi Soekarno dijatuhkan secara politik pula. Hal serupa juga terjadi pada Soeharto, elite politik pada saat itu mendukung penuh Soeharto untuk menjadi presiden bahkan terpilih terus dalam beberapa kali pemilu.

Namun pada akhirnya kekuatan politik dan gerakan massa juga yang menghakimi Soeharto dan lengser secara tidak hormat dari kursi kekuasaan. Dua tokoh besar tersebut harus berakhir dari kekuasaan dengan cara hard landing.

Saya khawatir nasib yang sama akan dialami oleh Pak Jokowi jika wacana jabatan presiden tiga periode diamini oleh kekuatan politik saat ini. Apalagi kalau melihat peta kekuatan politik yang ada saat ini, kekuatan Jokowi sangat powerfull.

Dengan demikian wacana tersebut bisa menjadi kartu hidup yang bisa digunakan pada waktunya. Walaupun secara terus terang Pak Jokowi menyampaikan kepada publik bahwa dia tidak ingin maju pada pilpres 2024 karena sudah menjabat dua periode sesuai dengan ketentuan konstitusi yang berlaku. Apalagi undang-undang hanya membatasi dua periode.

Namun dalam beberapa kasus tertentu, misalnya soal anaknya tidak ingin terlibat dalam politik, tetapi kemudian atas dorongan kelompok tertentu akhirnya menjadi wali kota Solo.

Pak Jokowi sendiri yang menentukan seperti apa dia akan dicatat dalam lembaran sejarah bangsa ini. Apakah dia ingin dikenang sebagai presiden yang setia pada konstitusi yang membatasi masa jabatan presiden hanya dua periode atau tergoda dengan rayuan maut kelompok tertentu untuk maju kembali pada pilpres 2024 melalui amendemen pasal 7 UUD 1945 tentang masa jabatan presiden. 

Merawat Ekologi Demokrasi

Demokrasi sama halnya dengan lingkungan makhluk hidup. Butuh keseimbangan dari berbagai subsistem yang ada. Jika subsistem yang ada bekerja dengan baik, maka sistem akan berkerja dengan baik dan menghasilkan output yang baik pula.

Oleh karena itu, sangat penting untuk merawat ekologi demokrasi kita agar tidak menimbulkan bencana demokrasi yang hanya akan membawa kerusakan baik ekonomi, sosial maupun politik. Sistem yang sudah dibentuk sebaiknya dirawat, tidak perlu dirusak hanya untuk memenuhi kepentingan sempit kelompok tertentu.

Sebab kalau ditelisik secara jernih, wacana tiga periode masa jabatan presiden tidak terlepas dari kepentingan kelompok tertentu yang ingin melanggengkan hegemoni yang sudah terbentuk selama dua periode pemerintahan Jokowi. Mereka tidak ingin kehilangan pengaruh setelah 2024.

Kelompok ini merasa aman dan nyaman di bawah pemerintahan Jokowi karena Jokowi sendiri kelihatannya tidak tertarik untuk mengurusi langsung hal-hal yang teknis. Maka ruang ini dijadikan peluang oleh kelompok tertentu untuk menjadikan Jokowi sebagai jalan untuk meraup keuntungan baik secara ekonomi, sosial maupun politik.

Bagi mereka, belum tentu setelah ada presiden baru 2024 bisa memberikan ruang bagi mereka untuk merancang kekuasaan. Jadi, saya melihat bahwa, Jokowi dalam bayang-bayang pemerintahan bayangan (invisibble government). Jika demikian, maka yang berkuasa sesungguhnya adalah mereka yang mendapatkan manfaat ekonomi dari kekuasaan. Tinggal kita melacak siapa mengerjakan apa dan mendapatkan apa?

Sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, Indonesia mesti menjadi pelopor dalam merawat ekologi demokrasi agar kita bisa terhindar dari bencana demokrasi yang mengarah kepada otoritarianisme seperti yang terjadi pada masa lampau. Bangsa yang tidak belajar pada sejarah bangsanya akan jatuh pada kubangan yang sama.

Muncul pertanyaan dari publik, apakah pak Jokowi mau jatuh pada lubang yang sama? Tentu kita berharap bahwa jawaban Pak Jokowi tetap konsisten hingga 2024. Sebab, seperti dua tokoh besar bangsa kita terdahulu, Soekarno dan Soeharto pada awalnya mereka mendapatkan dukungan full dari elite politik dan masyarakat, namun kemudian mereka diadili secara tidak terhormat dan menjadi catatan abadi kekelaman bangsa kita.

Kita berharap bahwa walaupun kekuatan politik yang dimiliki oleh Pak Jokowi saat ini sudah sangat kuat, namun tidak boleh tergoda dengan rayuan maut yang hanya mengantarkan Pak Jokowi pada lembaran sejarah yang buruk.

Saya mengutip apa yang disampaikan oleh Rocky Gerung dalam sebuah Webinar beberapa waktu lalu yang mengatakan bahwa filosofi konstitusi adalah bagaimana membatasi kekuasaan (how to limit the power). Dengan demikian konstitusi dibentuk untuk memagari agar kekuasaan seseorang dibatasi.

Sebab kekuasaan yang tidak dibatasi bisa menimbulkan kebablasan dan berpotensi disalahgunakan demi kepentingan pribadi dan kelompok tertentu. Praktik semacam itu sangat banyak terjadi di belahan dunia lain termasuk di negara kita sendiri pada masa orde baru.

Semestinya itu menjadi contoh terbaik bagi kita dalam menjaga ekologi demokrasi Indonesia agar tetap sehat baik pada politik nasional maupun pada demokrasi lokal di provinsi, kabupaten dan kota.

Jebakan maut terhadap Presiden Jokowi dengan berbagai rasionalisasi yang dianggap resonable bisa menjadi batu sandungan. Sesungguhnya bangsa ini tidak kekurangan kader bangsa terbaik yang bisa meneruskan cita-cita Presiden Jokowi.

Sebab kita mempunyai laboratorium terbaik untuk menyeleksi pemimpin nasional mulai dari wali kota, bupati, gubernur maupun tokoh di luar kepala daerah.

Jokowi sendiri lahir dari proses tersebut. Semestinya kelompok yang hendak mendorong Jokowi maju pilpres lagi di 2024, tinggal mencari sosok yang mendekati gaya kepemimpinan Jokowi.

Hal tersebut jauh lebih aman daripada harus menjebak Jokowi yang hanya akan mencatat sejarah buruk dalam lembaran sejarah Republik Indonesia.(***)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler