Jebakan Utang

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Kamis, 14 April 2022 – 19:03 WIB
Waspada jebakan utang. Ilustrasi. Foto : Ricardo/jpnn

jpnn.com - Sri Lanka terbelit utang dan secara resmi mengumumkan tidak mampu lagi membayar utangnya. 

Sri Lanka menjadi negara pertama yang tahun ini menyatakan diri bangkrut tidak bisa membayar utang

BACA JUGA: AS Luncurkan Kompetitor OBOR China, Dijamin Bebas Jebakan Utang

Kondisi ekonomi yang porak poranda akibat hantaman pandemi mempercepat kebangkrutan Sri Lanka.

Beberapa negara di Afrika juga tengah dalam bahaya jebakan utang. Uganda sedang kembang kempis menghadapi utang luar negeri. 

BACA JUGA: Soal Kenaikan ULN Indonesia, Ekonom: Hati-hati Jebakan Utang

Karena tidak bisa membayar utang,  maka Bandar Nasional Uganda disita oleh China sebagai ganti bayar utang.

Akan makin banyak negara-negara yang terperangkap oleh utang. 

BACA JUGA: Update Utang Indonesia Per Februari 2022, Alhamdulillah Ada Kabar Baik

Utang yang menjebak itu disebut sebagai utang najis atau odious debt yang selalu menjebak negara-negara miskin. 

Negara kaya yang menjadi rentenir memberikan utang sebanyak-banyaknya sampai akhirnya tidak mampu bayar cicilan.

Utang najis tidak banyak dirasakan manfaatnya oleh rakyat, tetapi lebih banyak masuk kantong elite politik dan ologarkis.

Utang najis adalah jebakan yang diatur dengan rapi dengan mempekerjakan orang profesional tingkat tinggi yang bekerja layaknya agen spionase dalam film James Bond. 

Dalam operasi utang najis itu, sang agen membuat skenario politik yang melibatkan agen-agen spionase asing yang menciptakan plot politik sampai bisa menjatuhkan seorang kepala negara yang negaranya terperangkap oleh utang najis.

Salah satu operator utang najis ulung tingkat dewa yang paling terkenal adalah John Perkins. 

Dis melanglang buana ke berbagai penjuru dunia untuk menjadi operator utang najis sekaligus menjadi ”economi hitman” tukang pukul dan pembunuh bayaran.

Belakangan Perkins insaf dan mengungkapkan praktik utang najis itu dalam bukunya “The Confession of an Economic Hitman” (2009). 

Perkins mengungkap pengalamannya dalam operasi intelijen untuk menjebak seorang kepala negara agar mau menerima utang najis. 

Berbagai macam cara dilakukan termasuk suap dan umpan perempuan. Jika seorang kepala negara menolak dan melawan dia bisa dihabisi melalui operasi intelijen yang rapi sehingga terkesan sebagai sebuah kecelakaan biasa.

Perkins juga pernah bertugas di Indonesia pada awal-awal masa Orde Baru. 

Dia berinteraksi dengan masyarakat marginal di Jakarta dan Bandung yang hidup di kawasan kumuh berumah kardus. 

Penugasannya di Indonesia  itu untuk membuat rencana strategi energi di Pulau Jawa. 

Perkins ditugasi untuk menghasilkan model ekonometrik bagi Indonesia.

Di situlah dia mengaku mulai memanipulasi data statistik untuk menghasilkan sebuah asumsi ekonomis demi memperkuat kesimpulan yang direkayasa oleh para analis bagi kepentingan korporat internasional yang ingin masuk ke Indonesia.

Perkins mengungkap operasi kotor di berbagai belahan dunia dengan gamblang. 

Dia menceritakan bagaimana profil seorang agen rahasia yang direkrut secara  terselubung oleh National Security Agency (NSA), sebuah  organisasi spionase Amerika terbesar yang jarang muncul di permukaan.

Perkins telah berkelana ke berbagai penjuru dunia, seperti Indonesia, Panama, Ekuador, Kolombia, Arab Saudi, Iran, dan negeri strategis lainnya.

Tugas utamanya economic hitman, EHM, adalah menjadi operator “corporatocracy”, penggarongan oleh korporat internasonal yang berkoalisi dengan pemerintah dan perbankan Amerika. 

Dalam operasi itu selalu dimunculkan niat luhur Amerika untuk mengurangi kemiskinan di negara dunia ketiga yang kaya akan sumber daya alam. 

Proposal itu mengajukan proyek besar pengelolaan sumber daya alam yang secara sepintas terlihat menguntungkan tuan rumah.

Perkins dan teman-temannya berperan sebagai agen spionase terselubung.

Mereka membuat forekas ekonomi untuk suatu negara klien korporatokrasi–seperti telah dilakukan di Indonesia dalam proyek elektrifikasi Pulau Jawa sejak 1970-an–serta membantu penerapan skema ekonometrik yang akan mengucurkan dana jutaan dolar.

Perkins memaparkan berbagai operasi besar dengan cara-cara yang amoral untuk menjebak dan menjatuhkan seorang kepala negara. 

Beberapa peristiwa dunia yang melibatkan operasi Perkins adalah  kejatuhan Syah Iran melalui revolusi Islam 1979, kematian tragis Presiden Panama, Omar Torrijos, dan invasi militer Amerika ke Panama dan Irak.

Karena skala operasinya sangat membutuhkan keahlian tinggi, maka para agen ini benar-benar orang profesional yang bekerja secara sekretif dan mendapatkan bayaran sangat mahal. 

Operasi mereka sering melibatkan nilai miliaran dolar dari proyek-proyek multinasional.

Mereka menyalurkan dana dari Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB), dan organisasi bantuan lainnya menjadi dana korporasi raksasa. 

Cara kotor yang dipakai antara lain rekayasa laporan keuangan yang menyesatkan, praktik penyuapan,  pemerasan, dan skandal seks. 

Para agen juga tidak segan membuat rencana pembunuhan yang keji.

Perkins memainkan peranan yang telah menentukan dimensi baru yang mengerikan dalam perang ekonomi di era globalisasi ini. 

Para agen ini bekerja berdasarkan pesan sponsor dari negara adikuasa yang berniat mewujudkan sebuah imperium global untuk melakukan penyesatan skema ekonometrik agar hasil forekasnya,  memenuhi syarat untuk memperoleh dana bantuan yang lebih menyerupai utang yang menjerat dan mencekik negara penerima.

Dana pinjaman yang begitu besar jumlahnya itu dikucurkan oleh negara kreditor melalui agen dengan tujuan utama sebagai alat untuk mencengkeram negara bersangkutan. 

Ketika sudah berada dalam cengkeraman utang maka negara itu menjadi target yang lunak ketika negara kreditor membutuhkan apa yang dikehendakinya, seperti pangkalan militer, suara di PBB, serta akses yang mudah untuk mengeksplorasi sumber daya alam, minyak bumi, gas, dan emas,  yang dimiliki negara penerima utang.

Dana korporasi global ini disalurkan melalui perusahaan Amerika dalam proyek perekayasaan dan konstruksi. Perkins menyebut di antaranya perusahaan multinasional Bechtel, Halliburton, dan Stone & Webster. 

Salah satu eksekutif Halliburton adalah Dick Cheney, wakil presiden Amerika Serikat di era George Bush senior.

Namun, tidak semua pemerintahan tunduk pada model corporatocracy yang dibangun para agen ini. 

Menurut Perkins, terdapat dua penguasa elite politik yang secara berani dan tegas menolak perselingkuhan bisnis dan politik dengan agen ini. Mereka adalah Presiden Panama, Omar Torrijos, dan Presiden Ekuador, Jaime Roldos. 

Mirip dengan adegan film mafia yang kejam, operasi pembunuhan pun dirancang untuk menyingkirkan mereka. 

Para pembangkang  kepentingan korporatokrasi ini  dieksekusi mati secara tragis pula.  Keduanya tewas dalam suatu kecelakaan pesawat terbang yang diledakkan dengan bom, dan tabrakan mobil yang mengerikan.

Perkins secara jujur meyakini bahwa kematian mereka bukan kecelakaan biasa karena human error seperti yang muncul di media,  tetapi ada tangan terselubung dan sangat rahasia yang dimainkan CIA. 

Mereka dihabisi karena menentang keinginan  para pemimpin korporatokrasi, pemerintah negara adikuasa, dan perbankan yang berkehendak membentuk imperium global.

Berkaca pada kisah Perkins ini bisa dibayangkan bagaimana operasi besar yang dilakukan para agen itu di seluruh dunia. 

Perkins sudah memberikan indikasi bahwa Indonesia pun menjadi target operasi para agen di masa lalu. Tidak mustahil, operasi ala Perkins itu masih terus berlangsung sampai sekarang di Indonesia.

Kalau dulu agen-agen yang beroperasi itu kebanyakan dari Eropa dan mewakili lembaga keuangan Eropa, sekarang peta sudah bergeser ke China. 

Petinggi Intelijen Inggris M16 mengingatkan bahaya jebakan utang oleh China yang menyasar negara-negara di Asia Afrika melalui program jalan sabuk sutera, silk belt road. 

Dengan program itu China akan mendominasi sambungan infrastruktur di seluruh dunia sebagaimana yang pernah dilakukan China semasa menguasai jalur sutera pada abad ke-19.

China menjadi negara yang paling ekspansif ketika itu dengan mengirim ekspedisi maritim ke seluruh dunia jauh sebelum kekuatan maritim Eropa melakukan ekspedisi yang sama.

Kekuatan dan kapasitas ekspedisi maritim China puluhan kali lipat dibanding dengan kapasitas ekspedisi maritim Eropa.

Mengapa China tidak menjadi kekuatan kolonial sebagaimana negara-negara Eropa menjadi kolonialis? Salah satu jawabnya adalah konsolidasi internal China ketika itu belum mapan.

China lebih fokus melindungi dirinya sendiri dari invasi Eropa.

Secara filosofis China mengeklaim diri sebagai pusat jagat raya dan China menganggap semua diasporasi di seluruh dunia adalah warga negara yang harus dilindungi.

Proyek jalur sutera baru adalah upaya China untuk menyatukan seluruh jagat dan menjadikan China sebagai punjernya.

China akan menjadi penguasa dunia bukan dalam artian kolonialis dan imperialis seperti Eropa di masa lalu.

China akan menjadi penguasa melalui hegemoni ekonominya yang dengan sendirinya akan membawa pengaruh hegemoni politik. (*)

Yuk, Simak Juga Video ini!


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler