jpnn.com - Indonesia dikenal sebagai negara tropis dengan dua musim, yakni musim hujan dan musik kemarau.
Akan tetapi, humor lawas menyebutkan Indonesia punya musim yang lebih banyak ketimbang Eropa yang hanya punya empat musim.
BACA JUGA: Denny Indrayana Sebut KPK Lemah Proses Mafia Tanah di Kalsel
Indonesia punya musim duren, musim manga, musim pepaya, dan juga musim kawin.
Musim yang seabrek itu masih ditambah lagi, musim kaget.
BACA JUGA: Indeks Persepsi Korupsi Anjlok, Jokowi Bilang Begini
Beberapa hari ini banyak pejabat yang kaget.
Mahfud MD mengaku kaget, deputi penindakan KPK mengaku kaget.
BACA JUGA: Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Turun, Pengadaan Masih Jadi Lahan Basah
Penyebabnya, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia jeblok, turun 4 poin menjadi 34 berdasarkan survei pada 2022.
Indeks itu secara berkala setiap tahun dikeluarkan oleh organisasi Transparansi Internasional Indonesia.
beberapa tahun terakhir indeks Indonesia bisa naik sampai mencapai 39, tetapi beberapa tahun terakhir melorot sampai akhirnya menyentuh poin 34.
Angka ini merupakan rekor terburuk di era pemerintahan reformasi.
Deputi Penindakan KP, Pahala Nainggolan bukan sekadar kaget, tetapi kaget setengah mati. Tidak mati betulan, tetapi sudah mati separuh.
IPK Indonesia anjlok empat poin menjadi 34 pada 2022. Menko Polhukam Mahfud MD mengaku terpukul atas skor ini.
IPK dihitung oleh Transparency International dengan skala 0-100.
Angka 0 artinya paling korup, sedangkan 100 berarti paling bersih.
Total negara yang dihitung IPK adalah 180 negara.
Skor Indonesia pada 2022 sejajar dengan negara-negara seperti Bosnia-Herzegovina, Gambia, Malawi, Nepal, hingga Sierra Leone.
Itu adalah negara-negara antah berantah yang selama ini hanya muncul di berita karena ada perang atau bencana kelaparan.
Jelek nian nasib Indonesia.
Sementara, dalam kawasan regional Asia Tenggara, skor CPI Indonesia 2022 jauh tertinggal dengan negara seperti Malaysia dan Timor Leste hingga Vietnam.
Kedua negara ASEAN itu masing-masing memperoleh skor CPI 2022 di angka 47 dan 42.
Dibandingkan tahun lalu Indonesia turun skor 4 poin dan ada di ranking 14.
Dalam peringkat di kawasan ASEAN, Indonesia menempati peringkat ketujuh dari 11 negara.
Singapura menempati peringkat pertama dengan skor 83.
Sementara secara keseluruhan, pada 2022 Denmark dan Finlandia menjadi negara dengan skor tertinggi.
Kedua negara itu memiliki skor 90 dan 87.
Mahfud beralasan bahwa skor ini didapat dari persepsi publik terhadap korupsi di Indonesia, bukan dari kondisi aktual kasus korupsi di Indonesia.
Ibarat pepatah tidak asap tanpa ada api, persepsi adalah asap yang muncul dari api.
Publik Indonesia punya persepsi negatif terhadap pelaksanaan pemberantasan korupsi, karena pada faktanya publik melihat banyak kasus korupsi yang tidak ditangani dengan serius.
Mahfud mengaku telah menerka hal ini karena banyak peristiwa perdebatan terkait operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan oleh KPK.
Dia mengatakan indeks ini bukan merepresentasikan kasus korupsi di Indonesia, melainkan persepsi publik yang makin buruk.
Pada 2022 itu sudah naik menjadi 64 indeks persepsi hukum via Kompas, tertinggi, dalam 2 tahun naik 14.
"Akan tetapi sejak kasus Sambo itu, rendah sekali, itu juga sekarang sudah bercampur-campur dengan korupsi, kan itu, terkait dengan urusan judi, narkoba, bekingan, indeks persepsi kita rendah sekarang," kata Mahfud saat paparan, di Rapim Lemhannas, Rabu (1/2).
Kenapa indeks persepsi korupsi 2022 turun drastis? Jawabannya adalah naiknya risiko korupsi politik.
Indeks Risiko Politik Indonesia atau Indeks political risk service (PRS) pada 2022 turun hingga 13 poin di angka 35.
Pada 2021, PRS Indonesia mencapai angka 48.
Risiko korupsi itu berkaitan dengan konflik kepentingan pengusaha dan politikus.
Konflik kepentingan inilah yang memicu naiknya risiko korupsi politik pada 2022.
Artinya pada 2022 banyak terjadi korupsi politik, misalnya kepala daerah, pejabat eksekutif dan legislatif.
Juga ada konflik kepentingan antara politisi yang memegang kewenangan di bidang eksekutif dan legislatif dengan para pebisnis.
Mantan penyidik KPK Novel Baswedan menilai melorotnya skor IPK Indonesia efek dari sikap ugal-ugalan para pimpinan KPK saat ini.
Faktor terbesar IPK Indonesia terjun bebas karena revisi UU KPK dan pimpinan KPK yang ugal-ugalan.
Kata Novel dalam cuitan di akun pribadinya di Twitter, seperti dilihat, Rabu (1/2).
Novel menilai skor IPK 34 itu masih dibantu kemudahan dalam menjalankan bisnis yang dicanangkan Pemerintah Indonesia.
Novel pun mempertanyakan sikap para anggota legislatif yang mendukung pimpinan KPK saat ini atas anjloknya nilai IPK Indonesia.
Kalau sudah begini ke mana anggota legislatif pendukung Firli cs? Cuit Novel.
Betapa komitmen pemberantasan korupsi di Indonesia maju mundur bisa dilihat dari polemik yang terjadi beberapa hari terakhir.
Polemik ini bermula dari pidato Luhut Binsar Pandjaitan dalam acara Peluncuran Aksi Pencegahan Korupsi 2023-2024 yang digelar KPK dan sejumlah kementerian/lembaga lainnya, Selasa (20/12).
Awalnya, Luhut memaparkan upaya pemerintah dalam melakukan digitalisasi di berbagai sektor.
Menurutnya, digitalisasi mampu menekan praktik kecurangan, termasuk korupsi.
Jika upaya ini berhasil, intensitas KPK dalam melalukan OTT akan berkurang.
Hal ini dinilai penting lantaran menurut Luhut OTT tak bagus buat citra negara.
Sehari kemudian pernyataan Luhut dimentahkan oleh Wakil Presiden K.H Ma’ruf Amin.
Menurutnya, OTT masih dibutuhkan untuk menindak kejahatan korupsi.
OTT diperlukan sepanjang pendidikan dan pencegahan korupsi belum maksimal.
Kalau ini masih belum berhasil, pendidikan dan pencegahan, akibatnya akan ada penindakan.
Akan tetapi, pernyataan Luhut itu mendapat pembelaan dari Mahfud MD.
Mahfud mengatakan, tak ada yang salah dengan ucapan Luhut.
Daripada selalu dikagetkan oleh OTT, lebih baik dibuat digitalisasi dalam pemerintahan agar tidak ada celah korupsi.
Kalau di antara wakil presiden dan dua menteri koordinator saja beda pendapat, bagaimana mungkin pemberantasan korupsi di Indonesia punya arah dan haluan yang jelas.
Presiden Joko Widodo sulit diharapkan bisa menengahi persilangan pendapat di antara anak buahnya seperti ini.
Alih-alih, Jokowi lebih suka menghindar dan menghilang.
Pernyataan terbaru Luhut Panjaitan menunjukkan lemahnya komitmen terhadap pemberantasan korupsi.
Cara berpikir dan mentalitas Luhut masih sangat kental terpengaruh oleh ciri-ciri rezim Orde Baru, yang menoleransi korupsi yang ‘’terkendali’’.
Di era Orde Baru, korupsi menjadi penyakit sistemik yang ditoleransi dan bahkan diatur distribusinya oleh rezim.
Pendapat Luhut bahwa nama Indonesia bisa jelek di mata internasional karena banyak OTT bertolak belakang dengan realitas empiris di dunia internasional.
Tidak usah jauh-jauh, lihatlah jiran kita Malaysia, Singapura, Hongkong, maupun China.
Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim menjadikan pemberantasan korupsi dan pemerintahan yang bersih sebagai target utama.
Anwar mencotohkan ‘’leading by example’’, memimpin dengan memberi contoh.
Dia menolak menerima gaji dan tidak memakai mobil dinas yang mewah.
Dengan memberi contoh semacam ini seluruh jajaran pemerintahan bisa menunjukkan komitmen yang kuat yang dimulai dari diri sendiri.
Singapura sudah khatam dengan urusan pemberantasan korupsi.
Thanks to mendiang Lee Kuan Yew yang memberi contoh dengan keras dan tegas dalam komitmen pemberantasan korupsi.
Singapura selalu berada pada 3 besar negara dengan indeks korupsi paling rendah di seluruh dunia.
Pemberantasan korupsi dengan keras di Singapura terasa hasilnya sampai sekarang.
Sementara di Indonesia pemberantasan korupsi masih tarik ulur. Jadi, jangan ikut kaget kalau indeks korupsi jeblok. (**)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror