jpnn.com, JAKARTA - Upaya dan komitmen pemerintah Indonesia untuk transisi energi terbarukan dan mengatasi dampak perubahan iklim sudah cukup positif.
Namun, menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa masih banyak pekerjaan rumah untuk mencapai tujuan itu. Komitmen saja tidak cukup, butuh kerja nyata agar transisi energi terwujud.
BACA JUGA: Lagi, Jokowi Tunjuk Luhut Amankan Proyek Energi Baru Terbarukan
Fabby mengatakan pembicaraan mengenai transisi energi dari energi kotor ke energi terbarukan mulai naik daun pada 2021 sehingga memengaruhi beberapa kebijakan.
Antara lain, pemerintah mengumumkan rencana mencapai dekarbonisasi pada 2060, tidak ada lagi pembangunan PLTU, dan rencana mempensiunkan dini PLTU.
BACA JUGA: Pertamin Bidik Geothermal Jadi Energi Terbarukan Indonesia, Ini Alasannya
Kemudian, pemerintah menetapkan porsi energi terbarukan lebih besar dari fosil dalam RUPTL 2021-2030.
“Ini menunjukkan perubahan paradigma pemerintah, yang tadinya bertumpu pada fosil kemudian transisi energi dengan memperbanyak kapasitas energi terbarukan,” kata Fabby.
BACA JUGA: Pratama: Kita Harus Mandiri di Teknologi Luar Angkasa, Energi Terbarukan dan Internet
Fabby mencatat pemerintah memiliki banyak pekerjaan rumah untuk mewujudkan transisi energi.
Sebanyak 900 MW tambahan kapasitas energi terbarukan masih jauh di bawah target. Seharusnya pada 2002-2025 Indonesia menambah 14 ribu MW untuk mencapai target 23% energi terbarukan.
“Jadi memang harus menambah 13 ribu MW. Dalam empat tahun ke depan kita harus bisa mengejar itu, kapasitas yang harus dibangun 3 ribuan MW setiap tahun. Ini tantangan,” ujar Fabby.
Dia mendesak pemerintah melengkapi dan memperbaiki kerangka regulasi yang memungkinkan pengembangan energi terbarukan bisa lebih cepat.
Regulasi yang menghambat pengembangan energi terbaurkan harus diganti. Untuk meningkatkan daya tarik investasi, tidak harus melalui pemberian insentif.
“Kepastian peraturan itu penting," tambahnya.
Fabby menegaskan lelang energi terbarukan harus jelas setiap tahunnya sehingga investor bisa mengalokasikan rencana investasinya dalam jangka panjang di Indonesia.
“Frekuensinya diatur, volume lelang juga diatur,” kata Fabby.
Sementara itu dari sisi pembiayaan transisi energi, peneliti Prakarsa Fiona Armintasari mengatakan perlu melibatkan berbagai pihak: pemerintah, lembaga keuangan internasional, dan institusi perbankan.
Saat ini lembaga keuangan internasional mendominasi pembiayaan transisi energi. Padahal peran bank terutama swasta, sangat penting dalam mendorong transisi energi, apalagi di Indonesia sekitar 80% aset keuangan dipegang bank swasta.
“Ekosistem keuangan berkelanjutan perlu terus didorong untuk mempercepat transisi energi salah satunya green taxonomy yang saat ini tengah disusun OJK. Green taxonomy nantinya akan memobilisasi pendanaan ke sektor EBT serta sektor lainnya yang mendukung upaya pengendalian perubahan iklim. Sudah ada definisi yang jelas tentang apa saja aktivitas bisnis yang bisa dikategorikan hijau. OJK harus memastikan tidak ada peluang greenwashing dengan dibentuknya green taxonomy,” kata Fiona.
Di kesempatan yang berbeda, Direktur Climate Policy Initiative (CPI) Indonesia Tiza Mafira mengatakan pemerintah perlu memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk melakukan transisi energi mikro di rumah tangga.
Seperti tariff net metering untuk solar panel yang benar-benar menghasilkan penghematan tagihan listrik, infrastruktur yang mendukung peralihan ke transportasi umum listrik dan kendaraan pribadi listrik, serta insentif untuk memilih produk yang efisien energi.
“Masyarakat bisa menciptakan demand tinggi, tetapi perlu diberi insentif untuk beralih massal ke energi baru dan terbarukan,” tegas Tiza. (flo/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur & Reporter : Natalia