Jelang Pilkada Serentak 2020, Muncul Desakan Aturan Diubah

Sabtu, 29 Juni 2019 – 05:32 WIB
Warga menggunakan hak suaranya di Pilkada. Ilustrasi Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Pilkada Serentak 2020 akan berlangsung di sembilan provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota, digelar pada 23 September.

Desakan untuk merivisi Undang-Undang Pilkada pun mulai muncul. Khususnya terkait kewajiban anggota dewan mengundurkan diri jika menyalonkan sebagai kepala daerah dan aturan ambang batas pencalonan.

BACA JUGA: KPUD Ajukan Anggaran Pilkada 2020 Rp 63 Miliar

Ketua Fraksi PKB DPR RI Cucun Ahmad Syamsurijal mengatakan, perwakilan dari Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (Adeksi) bertemu dengan Fraksi PKB. "Mereka menyampaikan beberapa usulan terkait pilkada," terang dia.

Mereka meminta agar aturan terkait kewajiban mundur bagi anggota DPRD dan DPR RI yang ingin maju sebagai calon kepala daerah untuk direvisi.

BACA JUGA: Pak Gubernur Belum Minta Restu Orang Tua

Aturan yang tercantum pada UU Nomor 10/2016 tentang Pilkada itu dinilai tidak adil. Sebab, walikota, wakil walikota, bupati, wakil bupati, gubernur, dan wakil gubernur yang menyalonkan diri kembali sebagai kepala daerah tidak diwajibkan untuk mundur. Mereka hanya diminta untuk cuti sementara saja.

Sebelumnya, kepala daerah yang menyalonkan kembali harus mundur. Namun, aturan itu kemudian digugat melalui judicial review (JR) di Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan itu diterima, dan akhirnya kepala daerah yang maju kembali tidak perlu mundur, tapi cukup cuti saja.

BACA JUGA: Gerindra Siap Bangun Koalisi

BACA JUGA: KPU Susun Jadwal Tahapan Pilkada Serentak 2020

Cucun mengatakan, para anggota dewan aturan dalam UU Pilkada direvisi agar ada terjadi keadilan antara anggota dewan dan kepala daerah dalam mengikuti kontestasi politik di tingkat daerah. Anggota dewan jika harus mundur dari jabatannya di DPRD dan DPR.

Mereka sudah bersaing keras untuk meraih jabatan itu. Jika harus mundur ketika pencalonan kepala daerah, mereka keberatan. "Kalau menang nggak apa-apa, tapi kalau kalah kan kasihan," terang dia.

Selain kewajiban mundur, para anggota dewan juga meminta agar aturan ambang batas pencalonan direvisi. Saat ini, syarat ambang batas adalah 20 kursi dan 25 persen suara. Sama dengan pencalonan presiden dan wakil presiden. Mereka meminta ambang batas diubah menjadi 10 kursi dan 15 persen suara.

Ambang batas 20 dan 25 persen cukup berat bagi mereka. Mereka merasa kesulitan untuk memenuhi ambang batas pencalonan. Ambang batas perlu diturunkan agar semakin kompetitif. "10 dan 15 persen lebih mudah dan kompetitif," terang legislator asal Jawa Barat itu.

Cucun mengatakan, perubahan aturan itu tentu harus melalui revisi UU Pilkada. Perwakilan Adeksi juga sudah menyampaikan usulan tersebut ke Badan Legislasi (Baleg) RI.

Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas mengatakan, Fraksi PKB dan Adeksi memang sudah menyampaikan aspirasi itu ke Baleg. Namun, sampai sekarang belum ada permohonan resmi.

Jika ingin ada perubahan aturan, mereka bisa mengajukan draf usulan revisi UU Pilkada ke Baleg. Nanti pihaknya akan membahasnya dengan pemerintah. Jika pemerintah sepakat dengan usulan itu, maka revisi UU bisa dimasukkan ke program legislasi nasional (Prolegnas).

"Prosesnya sama dengan usulan undang-undang baru," katanya. Hanya saja usulan perubahan itu diperuntukkan untuk beberapa poin saja.

Terkait dengan waktu pilkada yang semakin dekat, politikus Partai Gerindra itu mengatakan, revisi UU Pilkada tetap bisa dilaksanakan selama pemerintah mau membahasnya. Jadi, waktu yang ada masih cukup untuk pembahasan. (lum)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pilkada Serentak Digelar 23 September 2020, Ini Daftar Daerahnya


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler