jpnn.com, JAKARTA - Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) menentang tuntutan hukuman mati terhadap terdakwa kasus korupsi Asabri, Heru Hidayat oleh jaksa penuntut umum (JPU).
Koordinator Kontras Fatia Maulida menilai penerapan hukuman mati melanggar ketentuan Pasal 28 I UUD 1945.
BACA JUGA: Pakar Hukum Prediksi Vonis Terdakwa Kasus Asabri akan Nol, Begini Penjelasannya
Pasal itu menyebutkan bahwa hak untuk hidup tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun atau non derogable rights.
"Hukuman mati juga bertentangan dengan Konvensi Hak Sipil dan Politik (ICCPR) sebagaimana diatur dalam Pasal 6," kata Fatia dalam keterangannya, Senin (17/1).
BACA JUGA: Petrus Minta Hakim Tak Tunduk dengan Tekanan Publik soal Perkara Asabri
Selain itu, Fatia juga mengingatkan jika Indonesia telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia.
Fatia menilai, metode penghukuman mati merupakan perlakuan yang tidak manusiawi.
BACA JUGA: Pakar Mengapresiasi Pandangan Hakim Soal Kerugian Negara di Kasus Asabri
Sebab, hukuman itu menempatkan manusia pada posisi yang tidak memiliki pilihan lain, selain dihukum mati oleh negara.
"Hukum pancung, kursi listrik, hukum gantung, suntik mati, atau penghukuman mati dengan regu tembak seperti yang diberlakukan di Indonesia tidak menyelesaikan kejahatan yang ada, dan malah memperpanjang daftar kekerasan di Indonesia," tegasnya.
Selain itu, Fatia mengatakan jika secara prinsip hukuman mati tidak berdampak pada penurunan angka kriminal atau tindak pidana.
Artinya, hukuman mati tidak akan memberikan efek jera kapada pelaku tindak pidana korupsi.
"Dalam kebanyakan kasus hukuman mati terbukti tidak memberikan efek jera. Selain itu, ditemukan banyak kejanggalan kasus dan unfair trial yang pada akhirnya mencederai hak terdakwa," ujarnya.
Atas dasar itu, Fatia mengatakan jika tuntutan hukuman mati yang dilayangkan JPU terhadap Heru Hidayat, merendahkan martabat manusia.
Sebab, penghukuman mati tidak mengubah situasi apapun.
"Terlebih jika tidak ada pemberlakuan regulasi yang lebih komprehensif," katanya.
Senada disampaikan Direktur Indonesia Judicial Research Society (IJRS) Dio Ashar Wicaksana yang menilai secara prinsip dan yuridis-positivis, tuntutan hukuman mati terhadap Heru Hidayat tidak bisa diterapkan.
Dio menilai, Heru Hidayat tidak akan dijatuhi hukuman mati jika majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) benar-benar berpatokan pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Harapannya hakim menjatuhkan vonis sesuai Perma Nomor 1 Tahun 2020 itu saja. Kalau hukuman mati dalam kasus Asabri ini, tidak masuk (tidak bisa diterapkan) jika hakim merujuk betul pada Perma Nomor 1 Tahun 2020,” ujar Dio kepada wartawan, Minggu (16/1).
Menurut Dio, tindak pidana korupsi dalam kasus Asabri tidak masuk kategori tindak pidana dalam keadaan tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor dengan ancaman hukuman mati.
Keadaan tertentu tersebut adalah bencana nasional, kondisi krisis ekonomi-moneter dan pengulangan tindak pidana.
“Kalau kasus Asabri kan tidak masuk dalam kondisi tertentu itu. Jadi, secara undang-undang juga tidak tepat (dijatuhi hukuman mati). Kalau mengikuti pedoman Perma Nomor 1 Tahun 2020, kasus Asabri tidak masuk dalam kondisi tertentu. Walaupun hakim bisa menyimpangi pedoman tersebut, tetapi syarat ketat,” tandas Dio.
Selain itu, kata Dio, secara prinsip hukuman mati tidak relevan karena tidak berdampak pada penurunan angka kriminal atau tindak pidana.
"Menurut saya tuntutan hukuman mati terhadap terdakwa kasus korupsi tidak akan menyelesaikan akar masalah dari kasus korupsi. Seharusnya yang paling penting menurut saya, kejar asetnya atau bagaimana kerugian negara yang terjadi akibat perbuatan itu bisa kembali ke negara lagi,” pungkas Dio. (jpnn)
Yuk, Simak Juga Video ini!
Redaktur & Reporter : Sutresno Wahyudi