Jenderal Dudung

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Kamis, 15 September 2022 – 14:01 WIB
Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Dudung Abdurachman Foto: Ricardo

jpnn.com - Jenderal Dudung Abdurrachman membuat heboh lagi.

Kali ini dia terekam dalam video memerintahkan anak buah dan jajarannya melakukan protes terhadap Effendi Simbolon, anggota DPR RI dari PDIP, yang dianggap melecehkan TNI (Tentara Nasional Indonesia) dengan menyebutnya sebagai gerombolan yang mirip ormas.

BACA JUGA: Laksma Tuty Kiptiani Pastikan Perkara Hukum Anggota TNI Diselesaikan Secara Adil

Jenderal Dudung layak dinobatkan sebagai salah satu ‘’newsmaker’’ dari kalangan TNI. 

Beberapa pernyataan dan tindakannya dianggap kontrovesial dan memantik reaksi ramai dari berbagai kalangan. 

BACA JUGA: Mayjen TNI Muhammad Saleh: 18 Prajurit Yonif Raider 600/Modang Diperiksa Subdenpom Merauke

Ketika menjadi Pangdam Jaya, Dudung menggerakkan anggotanya untuk mencopot baliho bergambar Habib Rizieq Shihab. 

Karena tindakan itu, oleh pendukung Habib Rizieq, Dudung diledek sebagai jenderal baliho.

BACA JUGA: Mayjen Totok: TNI di Wilayah Kodam Hasanuddin Solid dan Satu Komando

Jenderal Dudung memantik reaksi keras lagi ketika mengatakan ‘’Tuhan bukan orang Arab’’. 

Banyak protes terhadap Dudung karena menganggap pernyataan itu melecehkan agama Islam. 

Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa merespons desakan masyarakat untuk memeriksa Dudung. 

Dalam pemeriksaan itu Dudung dinyatakan klir.

Banyak yang menganggap Dudung sebagai ‘’jenderal politik’’ karena langkah-langkahnya banyak yang bernuansa politik. 

Kali ini Dudung menjadi sorotan setelah Effendi Simbolon, dalam sidang dengar pendapat antara Komisi I DPR RI dengan Panglima TNI, menyebut terjadi perpecahan antara Jenderal Dudung dengan Jenderal Andika Perkasa.

Beberapa indikator diungkap Effendi untuk menggambarkan keretakan itu. 

Menurut Effendi, dalam beberapa acara yang melibatkan Jenderal Andika tidak terlihat kehadiran Jenderal Dudung. 

Indikasi ini memunculkan spekulasi bahwa dua jenderal itu sedang terlibat persaingan dingin. 

Jenderal Dudung disebut-sebut berambisi untuk menjadi panglima TNI menggantikan Jenderal Andika yang akhir tahun ini pensiun.

Indikasi perpecahan dua jenderal itu diendus oleh Effendi Simbolon. 

Perang bintang antardua jenderal itu diungkapkan dalam rapat dengar pendapat yang dihadiri Jenderal Andika tanpa ada Jenderal Dudung. 

Dalam kesempatan itu, Effendi meminta kepada Jenderal Andika menjelaskan ketidakhadiran Jenderal Dudung dan menjelaskan mengenai spekulasi perpecahan di antara mereka.

Rupanya Effendi agak baper, alias terbawa perasaan. 

Dia kemudian agak keluar dari kontrol dan menyebut TNI seperti ‘’gerombolan’’. 

Simbolon juga menyebut TNI seperti ormas. 

Pernyataan inilah yang kemudian memicu Jenderal Dudung untuk bereaksi keras.

Isu perpecahan antara dua jenderal itu sudah ditepis, meskipun tepisan itu tidak terlalu meyakinkan. 

Bola kemudian bergulir liar, karena Jenderal Dudung terekam memerintahkan anak buahnya untuk memberikan respons kepada Simbolon.

Isu perpecahan dua jenderal akhirnya tenggelam oleh pernyataan gerombolan oleh Simbolon. 

Reaksi keras dari kalangan TNI bermunculan. 

Ada prajurit TNI yang mengancam akan mencari Simbolon. 

Ada komandan Korem yang mengatakan tidak terima atas pernyataan Simbolon, dan masih banyak lagi pernyataan keras oleh TNI terhadap Simbolon.

Merasa terdesak, Simbolon akhirnya meminta maaf. 

Persoalan tidak berhenti sampai di situ. 

Pernyataan Jenderal Dudung yang meminta anak buahnya memrotes Simbolon sekarang menjadi isu baru. 

Jenderal Dudung dianggap tidak proporsional dalam menyikapi pernyataan Simbolon. 

Jenderal Dudung yang menggerakkan anak buahnya untuk memprotes Simbolon dianggap tidak memahami supremasi sipil atas militer.

Bola sekarang berbalik arah. 

Muncul serangan balik terhadap Jenderal Dudung dari beberapa arah. 

Usman Hamid dari Amnesti Internasional Indonesia menuding Jenderal Dudung melakukan pembangkangan sipil. 

Jenderal Dudung dianggap tidak memahami prinsip supremasi sipil atas militer. 

Kecaman juga datang dari pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie, yang menyebut Dudung telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power. 

Jenderal Dudung dianggap tidak patuh terhadap supremasi sipil. 

Jenderal Dudung dianggap telah melakukan kegiatan politik dan tidak fokus pada tugas TNI sebagai kekuatan pertahanan negara.

Kelompok pengamat liberal seperti Usan Hamid dan Connie Rahakundini selalu melihat militer sebagai ancaman terhadap demokrasi. 

Contoh yang diberikan adalah peran tentara di negara-negara Amerika Selatan, yang sering melakukan campur tangan terhadap politisi sipil dengan melakukan pengambilalihan kekuasaan melalui kudeta.

Tentara Indonesia mempunyai sejarahnya sendiri yang membentuknya menjadi kekuatan yang khas. 

Sejak era perang kemerdekaan sampai masa-masa awal kemerdekaan TNI tidak menjadi bagian yang terpisah dari sipil. 

Konsep kekuasaan di Indonesia didasari oleh konsep Jawa yang menekankan kemanunggalan.

Konsep manunggaling kawula gusti diterapkan sebagai penyatuan antara penguasa dan rakyat.

TNI juga menerapkan filosofi manunggal sebagai bagian dari rakyat.

Pada masa perang kemerdekaan, TNI manunggal dengan rakyat dalam melakukan perang gerilya. 

Dengan menyatu bersama rakyat, TNI bisa merebut kemenangan dari penjajah. 

Konsep manunggal dalam perang gerilya ini yang kemudian diformulasikan menjadi ‘’Jalan Tengah’’ oleh Jenderal A.H Nasution setelah kemerdekaan.

Dengan jalan tengah itu TNI tidak hanya berperan sebagai kekuatan pertahanan, tetapi juga menjadi kekuatan sosial politik yang ikut berkiprah dalam pemerintahan. 

Konsep jalan tengah dari filosofi manunggal ini kemudian dikenal sebagai ‘’Dwifungsi’’ pada masa Orde Baru.

Jenderal Nasution mendesain TNI sebagai kekuatan politik yang berfungsi sebagai stabilisator dan dinamisator. 

Ketika itu, Presiden Soekarno ingin merangkul semua kekuatan politik di Indonesia menjadi satu kekuatan tunggal di bawah sistem demokrasi terpimpin. 

Bung Karno memperkenalkan konsep Nasakom untuk menggabungkan semua unsur kekuatan politik yang dominan di Indonesia. 

Dengan Nasakom, Bung Karno menggabungkan ideologi nasionalisme yang diwakili oleh PNI (Partai Nasional Indonesia), kekuatan agama yang diwakili oleh Partai NU, dan ideologi komunisme yang diwakili oleh PKI (partai Komunis Indonesia).

Dalam perjalanannya, kemudian PKI tumbuh menjadi partai yang kuat dan militan. 

Bung Karno juga menjadi makin dekat dengan PKI. 

Hal ini menimbulkan kegalauan di kalangan tentara. 

Maka Nasution sebagai pemimpin Angkatan Darat berusaha mengimbangi kekuatan PKI dengan makin aktif memainkan peran-peran politik.

Persaingan politik antara PKI dengan Angkatan Darat memuncak pada usaha percobaan kudeta 30 September 1965 yang melibatkan PKI. 

Pembunuhan 6 jenderal dan perwira Angkatan Darat menjadi alasan untuk memburu anggota-anggota PKI oleh kelompok Islam yang didukung Angkatan Darat.

Bung Karno akhirnya jatuh pada 1967, dan digantikan oleh Soeharto yang berhasil mengambil alih kepemimpinan Angkatan Darat dari tangan Nasution setelah peristiwa 30 September. 

Soeharto dengan pelan namun pasti berhasil melakukan konsolidasi, membersihkan sisa-sisa PKI, dan menempatkan orang-orangnya dari Angkatan Darat pada posisi-posisi kunci.

Rezim Angkatan Darat yang dipimpin Soeharto bisa berkuasa sampai 32 tahun. 

Soeharto jatuh oleh gerakan reformasi 1998. 

Salah satu yang menjadi incaran gerakan reformasi adalah mengebiri ABRI dari peran politik dan mengembalikannya ke barak sebagai tentara profesional.

Absennya TNI dari kegiatan politik dalam 20 tahun terakhir melahirkan supremasi sipil yang penuh dinamika. 

Pada era Joko Widodo sekarang supremasi sipil melahirkan koalisi besar pendukung pemerintahan. 

Koalisi politik besar ini melakukan koalisi dengan kekuatan bisnis yang sering disebut sebagai oligarki. 

Rezim Jokowi dianggap tidak memberi ruang yang cukup bagi demokrasi yang dinamis.

Sementara TNI--yang secara historis selalu ikut aktif dalam percaturan politik--dipaksa untuk menepi dari kancah politik nasional. 

TNI harus menanggung dosa politik akibat keterlibatannya dalam rezim Orde Baru Soeharto selama 32 tahun.

Di era supremasi sipil sekarang ini TNI betul-betul diharamkan untuk berpolitik. 

Indikator sekecil apa pun harus segera dimatikan sejak dari awal. 

Itulah yang terjadi pada Jenderal Dudung sekarang ini. 

Dia dianggap telah berpolitik dan gerakannya harus dihentikan sejak dini. (*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Letjen TNI Maruli Simanjuntak Kukuhkan Kapolri jadi Warga Kehormatan Keluarga Besar Kostrad


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler