jpnn.com - Jenderal Andika Perkasa pantas disebut sebagai jenderal sultan yang layak jadi idola.
Tampan, gagah, dan tajir melintir.
BACA JUGA: Jenderal Andika Berpeluang Maju di Pilpres 2024 Setelah Jabat Panglima TNI
Jarang sekali ada profil tentara seperti Andika Perkasa.
Karena itu, popularitasnya langsung meroket beberapa hari menjelang penetapannya sebagi Panglima Tentara Nasional Indonesia.
BACA JUGA: Bagaimana Peluang Jenderal Andika jadi Capres? Bandingkan dengan Gatot, Moeldoko, SBY
Andika dengan cepat menjadi media darling. Pemberitaan mengenai perebutan posisi tertinggi di TNI itu pasti selalu ramai.
Namun, kali ini benar-benar beda. Bukan persaingan politik saja yang menjadi perhatian publik, tetapi figur Jenderal Andika yang charming itu menjadi perhatian khusus khalayak.
BACA JUGA: Ekspresi Jenderal Andika dan Istri Menanti Kedatangan Anggota DPR
Sudah sangat lama tidak muncul figur populer dari kalangan serdadu.
Nama-nama yang beredar selama ini umumnya adalah stok lama yang masih tetap beredar meskipun sudah kedaluwarsa.
Nama-nama seperti Prabowo Subianto, Luhut Panjaitan, dan Moeldoko adalah nama-nama tentara lawas yang masih tetap dipaksakan beredar.
Dalam sepuluh tahun terakhir hampir tidak muncul nama-nama baru dari lingkungan militer yang menonjol di panggung politik nasional.
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, yang selama beberapa tahun terakhir menjadi orang nomor satu di TNI, penampilannya biasa-biasa saja. Tidak pernah bisa menjadi media darling.
Kemunculan Andika Perkasa membawa angin segar. Ia punya semua syarat untuk menjadi jenderal selebritas yang bisa menjadi media darling.
Wajahnya menarik dan badannya tegap seperti Ade Rai dan Arnold Schwarzenegger. Lebih penting lagi, dia jenderal sultan yang tajir melintir.
Total kekayaannya mencapai Rp 180 miliar. Dengan kekayaan sebesar itu Andika layak masuk dalam jajaran ‘’the crazy rich’’ Indonesia.
Sewaktu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) muncul di panggung politik nasional, profilnya yang gagah, tegap, dan berwibawa menjadi daya tarik nasional.
SBY menjadi idola baru yang dengan cepat meroket popularitasnya. Ibu-ibu mengagumi tampilannya yang gagah dan berwibawa. Publik secara umum menyukai penampilan SBY yang rapi dan penuh disiplin.
SBY berhasil memenuhi imajinasi publik yang menginginkan seorang pemimpin yang ‘’agung binantara’’ sebagaimana profil raja-raja Jawa di masa lalu. SBY adalah figur raja dan tentara yang sesuai dengan citra kepemimpinan tradisional yang dirindukan publik.
Dengan profil dan kredensial semacam itu, popularitas SBY melesat melewati Megawati Soekarnoputri yang notabene adalah presiden petahana. Dengan profil yang mantap dan didukung proyek pencitraan media yang profesional, SBY melenggang menuju RI-1.
Sepuluh tahun era kepemimpinan SBY berakhir. Kemudian muncul Jokowi yang benar-benar menjadi antitesa SBY. Jokowi mencitrakan dirinya sebagai bagian dari rakyat, hidup di tengah rakyat, dan memahami persoalan rakyat.
Dengan pengelolaan pencitraan yang canggih, Jokowi bisa mulus mencapai posisi RI-1 menggantikan SBY.
Menjelang akhir pemerintahan Jokowi persaingan menuju kursi RI-1 sudah mulai memanas. Siklus politik Indonesia yang biasanya berumur sepuluh tahun kemungkinan besar akan terjadi lagi.
Setelah sepuluh tahun era SBY yang serbadatar dan stabil, kemudian dilanjutkan dengan sepuluh tahun era Jokowi yang penuh gelombang, saatnya publik mencoba lagi figur baru untuk menjadi pemimpin nasional.
Ganjar Pranowo yang menjadi copy-paste Jokowi tentu punya peluang besar, dengan catatan publik masih ingin punya presiden seperti Jokowi.
Namun, melihat siklus sepuluh tahunan politik Indonesia, kelihatannya publik menginginkan figur dan style kepemimpinan baru untuk lima tahun dan sepuluh tahun mendatang.
Ganjar nyaris tidak menunjukkan diferensiasi dari Jokowi. Malah Ganjar sengaja menjadi ‘’cover version’’ Jokowi. Strategi ini mungkin bisa meraih dukungan dari para penggemar Jokowi yang masih tersisa.
Namun, gaya cover version Ganjar ini belum tentu cocok untuk meraih dukungan dari kelompok yang tidak mendukung Jokowi.
Dalam hal ini Anies Baswedan diuntungkan. Ia mempunyai posisi yang tepat sebagai antitesa Jokowi.
Kalau siklus sepuluh tahunan politik Indonesia berjalan normal, Anies punya peluang besar untuk menjadi suksesor Jokowi. Periode sepuluh tahun Jokowi dianggap sudah cukup, dan publik ingin mencoba pemimpin baru yang berbeda dari sebelumnya.
Siklus presiden merakyat, sederhana, dan tidak intelektual yang melekat pada Jokowi, mungkin, sudah waktunya diganti dengan siklus presiden yang intelektual, cerdas, smart, berbahasa Inggris dengan lancar. Profil itu sepenuhnya ada pada Anies Baswedan.
Prabowo Subianto, tentu saja, masih tetap beredar namanya. Mungkin publik masih menginginkan figur tentara untuk menjadi pemimpin nasional. Setelah era sipil Jokowi yang kurang stabil, mungkin publik merindukan sosok pemimpin yang tegas yang bisa menjamin stabilitas.
Profil semacam itu bisa didapat dari kalangan militer. Namun, apakah harus Prabowo orangnya?
Itulah pertanyaannya. Prabowo sudah babak belur, kalah KO tiga kali berturut-turut dalam kontestasi perebutan kursi kepresidenan.
Ibarat product life-cycle dalam ilmu marketing, Prabowo sudah sampai pada titik saturation yang memerlukan proses re-cycling total supaya laku jual.
Mungkin Prabowo masih bisa di-recycle. Namun, faktor umur tidak berpihak kepadanya. Umur tidak bisa dilawan. Prabowo akan berusia 73 tahun kalau dia masih mau maju pada pilpres 2024.
Usia ini dianggap terlalu uzur bagi sebagian orang, meskipun kalau dibandingkan dengan Presiden Amerika Joe Biden atau dengan pemimpin Malaysia Mahathir Mohammad, Prabowo masih termasuk ABG.
Dalam kondisi seperti ini muncullah Andika Perkasa menyeruak di antara nama-nama yang ada. Ia tentara dengan citra perkasa sebagaimana namanya. Ia juga seorang intelektual yang memperoleh gelar doktoral dari perguruan tinggi terkemuka di Amerika.
Dalam hal intelektualitas Andika mungkin bisa menyamai SBY, meskipun sampai sekarang Andika belum banyak dikenal dengan pemikiran-pemikirannya yang konseptual.
Dalam hal intelektualitas ini Andika juga bisa bersaing dengan Anies Baswedan, yang juga memperoleh gelar doktoral di Amerika.
Andika adalah kuda hitam yang harus diperhitungkan. Meskipun hanya punya waktu setahun untuk naik panggung, tetapi Andika punya cukup modal untuk mengerek popularitasnya dengan cepat.
Dengan profilnya yang ‘’saleable’’, layak jual, tidak sulit untuk mendongkrak popularitas Andika di panggung pencitraan melalui media, apalagi selama ini Andika juga sudah cukup fasih bermain di media sosial.
Dalam waktu setahun Andika harus mampu bermain di panggung depan dan panggung belakang dengan efisien. Di panggung depan dia harus menunjukkan kemampuan leadership-nya. Sedangkan di panggung belakang Andika harus cerdik dan cermat memainkan citra dengan memanfaatkan media mainstream maupun media sosial.
Panggung depan Andika tampaknya terbentang cukup luas. Kepemimpinan militernya sudah terbukti bagus. Agustus lalu Andika menggelar latihan militer gabungan dengan Amerika Serikat yang melibatkan hampir empat ribu personel militer dari kedua pihak.
Ini merupakan latihan militer terbesar dalam sejarah hubungan militer Indonesia dengan Amerika. Latihan ini juga menyiratkan kecerdikan Andika dalam mengirim sinyal kepada China, bahwa Indonesia tetap independen dan konsisten memainkan kebijakan bebas aktif dalam percaturan politik internasional.
Indonesia bersahabat akrab dengan China dalam urusan ekonomi bisnis. Namun, dalam urusan militer Indonesia bebas berhubungan dengan siapa saja, termasuk Amerika. Itulah message yang dikirim oleh Andika dengan latihan gabungan itu.
Andika, Sang Jenderal Sultan, sudah siap masuk di panggung politik nasional. Untuk sementara ini dia menikmati spotlight yang positif dari media nasional.
Publik seolah tersihir dan lupa untuk bertanya dari mana asal kekayaannya yang sampai Rp 180 miliar. Publik juga lupa mempermasalahkan kasus pembunuhan tokoh Papua Theys Eluay pada 2001, yang diduga melibatkan Andika. (*)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror