JHT

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Kamis, 17 Februari 2022 – 17:06 WIB
Ilustrasi buruh. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Wong cilik atau orang kecil menjadi kosa kata sakral dalam politik Indonesia. Agak susah mencari padanannya dalam istilah bahasa Inggris, tetapi dalam tradisi sosialisme mungkin lebih dekat dengan proletar yang umumnya tediri dari kalangan buruh.

Ada partai yang mengeklaim sebagai partai wong cilik, yang memperjuangkan kepentingan dan hak-hak wong cilik. Respresentasi paling pas dari wong cilik adalah kaum buruh atau kalangan pekerja.

BACA JUGA: Hergun: JHT Itu Uang Buruh, Permenaker 2/2022 Harus Dibatalkan

Namun, pemerintahan yang didukungnya justru tidak membela wong cilik yang diwakili oleh para buruh. Ini kenyataan yang ironis sekaligus lucu.

Ironis karena buruh merasa tidak mendapatkan dukungan politik dari partai wong cilik. Lucu karena lucu saja. Partai wong cilik, tetapi tidak membela wong cilik.

BACA JUGA: Permenaker JHT Kontradiktif dengan Upaya Jokowi Memulihkan Ekonomi

Ribuan buruh melakukan demonstrasi di kantor kementerian tenaga kerja (16/2). Mereka menuntut agar peraturan Jaminan Hari Tua (JHT) yang dikeluarkan oleh menteri tenaga kerja dicabut. Buruh marah karena ada aturan baru bahwa dana JHT baru bisa dicairkan setelah seorang pekerja berusia 56 tahun.

Kalau sekarang seorang pekerja berusia 36 tahun dipecat dari pabrik tempatnya bekerja maka dia harus menunggu 30 tahun untuk bisa mencairkan uang jaminannya. Uang itu bukan uang pemerintah, uang itu milik para pekerja yang dikumpulkan rupiah demi rupiah.

BACA JUGA: Perencana Keuangan: JHT Program Hari Tua, Bukan Jaminan Hari Muda!

Ketika buruh membutuhkannya pada saat paling kritis, dana itu malah tidak tersedia. Menunggu 30 tahun tentu bukan opsi yang menyenangkan. Namun, itulah yang dilakukan pemerintah. Dengan berbagai alasan dana itu ditahan.

Dana JHT jumlahnya sampai Rp 550 triliun, sebuah jumlah yang bikin ngiler ketika kas negara sedang tipis seperti sekarang. Ketika pemerintah sedang berada pada puncak kreativitas untuk mencari sumber dana, maka jumlah sebesar itu sungguh sangat menggoda.

Lucu dan ironis itu beda tipis. Tergantung cara pandang.

Ada satu kejadian yang oleh seseorang dianggap lucu dan mengundang tawa atau senyum simpul, tetapi oleh orang lain dianggap sebagai ironi yang menyesakkan. Buruh menuntut uangnya sendiri untuk dicairkan, tetapi dipersulit. Itu lucu, tetapi juga ironis.

Pemerintah sudah punya jurus jitu untuk menghadapi serangan buruh. Saat buruh turun beramai-ramai mendemo omnibus law, pemerintah mempersilakan menggugat ke Mahkamah Konstitusi. Setelah digugat dan kalah, pemerintah masih bisa kucing-kucingan dua tahun untuk mengebut menjalankan agendanya sendiri.

Karena itu, kali ini pun pemerintah sudah bisa mengukur kekuatan para buruh. Demo beberapa ribu orang dihadapi oleh Menaker, diberi janji tiga bulan, lalu buruh akan menggugat ke PTUN. Kalau buruh menang di PTUN apakah pemerintah akan mencabut peraturan itu? Anda sudah tahu jawabannya.

Itulah lucunya negeri ini. Sejarah berulang kali terjadi dan terjadi lagi, dan dianggap sebagai hal yang biasa dan bahkan dijadikan bahan lelucon. Sejarah yang berulang-ulang memang menjadi lelucon. Begitu kata filsuf Prancis Jean Baudrillard (1929-2007). Namun, Baudrillard mengingatkan, lelucon yang berulang akhirnya membuat sejarah.

Baudrillard kita kenal dengan teori simulasi dan simulacra. Saat ini kita hidup dalam dua dunia itu. Kita berada pada sebuah ruang dalam kebudayaan, di dalamnya sebuah kebohongan--yang dibungkus dalam kemasan yang menarik--dapat berubah menjadi sebuah kebenaran. Sebuah kepalsuan--yang ditampilkan lewat teknik penampakan dan pencitraan yang sempurna--dapat terlihat sebagai keaslian.

Sebuah ilusi yang dikonstruksi lewat kerumitan teknologi artifisial yang mencengangkan dapat diterima sebagai sebuah realitas. Sebuah kejahatan, yang dibungkus lewat rekayasa sosial yang berteknologi tinggi, dapat menjelma menjadi sebuah kemuliaan.

Inilah sebuah dunia yang di dalamnya kebenaran tumpang tindih dengan kedustaan, keaslian silang menyilang dengan kepalsuan, realitas bercampur aduk dengan ilusi, kejahatan melebur dalam kebajikan, sehingga di antara keduanya seakan-akan tidak ada lagi ruang pembatas.

Baudrillard menggambarkan kondisi masyarakat pada 1983 ketika ‘’Simulation’’ diterbitkan. Empat puluh tahun kemudian, sekarang ini, kita merasakan bagaimana rasanya hidup dengan simulasi dan simulacra.

Kebudayaan dewasa ini adalah sebuah representasi dari dunia simulasi, yakni dunia yang terbentuk dari hubungan berbagai tanda dan kode secara acak, tanpa referensi relasional yang jelas. Hubungan ini melibatkan tanda real (fakta) yang tercipta melalui proses produksi, serta tanda semu (citra) yang tercipta melalui proses reproduksi.

Apa yang kita saksikan setiap hari adalah pencintraan yang diciptakan secara rapi dan terpeinci melalui sebuah orkestrasi yang dipimpin oleh seorang dirigen. Citra dan fakta menjadi kabur.

Dalam dunia simulasi, keduanya saling menumpuk dan berjalin berkelindan membentuk satu kesatuan.

Tidak dapat lagi dikenali mana yang asli, yang riil, dan mana yang palsu, yang semu. Semuanya menjadi bagian realitas yang dijalani dan dihidupi masyarakat. Simulakra atau simulacrum adalah sebuah dunia yang terbangun dari sengkarut nilai, fakta, tanda, citra dan kode.

Realitas tak lagi punya referensi, kecuali simulacra itu sendiri. Dalam era postmodern, prinsip simulasi menjadi panglima, di mana reproduksi--dengan teknologi informasi, komunikasi dan industri pengetahuan--menggantikan prinsip produksi, sementara permainan tanda dan citra mendominasi hampir seluruh proses komunikasi manusia.

Melalui gerakan yang masif di media sosial, para buzzer mendengungkan berbagai berita yang lebih banyak berdasarkan citra daripada fakta. Orkestrasi yang masif oleh para buzzer memengaruhi opini publik sesuai dengan yang dikehendaki oleh orkestrasi.

Dalam masyarakat simulasi seperti ini, segala sesuatu ditentukan oleh relasi tanda, citra dan kode. Identitas seseorang tidak lagi ditentukan oleh dan dari dalam dirinya sendiri. Identitas kini lebih ditentukan oleh konstruksi silang-sengkarut tanda, citra, dan kode yang membentuk cermin bagaimana seorang pemimpin digambarkan oleh rakyatnya.

Dalam dunia simulasi, bukan realitas yang menjadi cermin kenyataan, melainkan model-model yang ditawarkan melalui media yang tertata dengan rapi. Ada tempat-tempat impian seperti Ibu Kota Negara yang akan menjadi kota impian, indah, gemerlap, dan ramah dengan lingkungan.

Ada waduk-waduk yang dibangun di berbagai daerah yang akan bisa mengairi ribuan hektare sawah dan kebun, yang akan menghasilkan padi dan buah-buahan yang akan menyejahterakan seluruh rakyat. Ada jalan raya bebas hambatan yang mulus, ada pelabuhan, ada bandara, ada rel kereta api cepat. Semuanya dibangun untuk memuluskan hidup rakyat.

Rakyat dihibur oleh perhelatan MotoGP. Rakyat gembira ria mendapatkan hiburan kendati tidak mampu membayar tiket ke Mandalika. Sebagaimana zaman Romawi kuno, pertunjukan gladiator dengan kereta kuda ala Ben Hur dipakai untuk menggeser perhatian rakyat dari berbagai keruwetan politik, para gladiator modern sekarang mengganti kereta kuda dengan motor 500cc.

Di dalam dunia simulasi, manusia mendiami suatu ruang realitas, di mana perbedaan antara yang nyata dan fantasi, yang asli dan yang palsu sangat tipis. Manusia kini hidup dalam ruang khayali, yang nyata sebuah fiksi yang faktual. Realitas-realitas simulasi menjadi ruang kehidupan baru di mana manusia menemukan dan mengaktualisasikan eksistensi dirinya.

Lihatlah dunia digital, di situ dunia simulasi tampil secara sempurna. Inilah ruang yang tak lagi peduli dengan kategori-kategori nyata, semu, benar, salah, referensi, representasi, fakta, citra, produksi, reproduksi, semuanya lebur menjadi satu dalam silang sengkarut tanda.

Dalam media sosial, realitas tidak hanya diproduksi, disebarluaskan atau direproduksi, bahkan juga dimanipulasi. Realitas simulasi seperti ini membentuk sebuah kesadaran baru bagi masyarakat, yang sudah tidak bisa membedakan lagi citra dengan kenyataan, dan bahkan mereka tidak peduli.

Sebuah poster digital menggambarkan separo wajah Jokowi dan separuh wajah Soeharto. Ada humor dan ada ironi di sana. Ada yang menganggapnya tidak serius dan hanya melihatnya sebagai lelucon.

Seperti kata Baudrillard, sejarah yang berulang akan menjadi lelucon. Namun, lelucon yang berulang akan menjadi sejarah. (*)

Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?


Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler