jpnn.com, JAKARTA - Direktur Politik Hukum Wain Advisory Indonesia Sulthan Muhammad Yus mengingatkan bahwa persaingan sengit antarcalon ketua umum merupakan ciri khas Golkar dalam setiap musyawarah nasional (munas).
"Sebagai partai modern pascareformasi, Golkar dikenal selalu dinamis dalam setiap penyelenggaraan munas sebagai forum tertinggi partai dan pemilihan ketua umum. Persaingan sengit para calon ketua umum merupakan ciri khasnya," kata Sulthan.
BACA JUGA: Ketua Golkar Papua Yakin Munas Berlangsung Mulus
Nah, menurut dia, jika dalam Munas Golkar pada Desember mendatang ada pihak-pihak yang ingin meredam persaingan tersebut dengan memaksakan aklamasi, hal tersebut berbahaya bagi eksistensi Partai Golkar.
"Ancamannya adalah Golkar berpotensi terjerumus dalam lubang yang sama. Sejarah mencatat, pemilihan Ketum Partai Golkar lewat aklamasi selalu membawa permasalahan di kemudian hari. Misalnya saja, terpilihnya Aburizal Bakrie secara aklamasi di Munas Bali 2014, yang kemudian memicu Munas tandingan di Ancol yang juga memilih Agung Laksono secara aklamasi dan akhirnya Golkar terbelah," katanya.
BACA JUGA: Jadi Ketum Golkar Maupun Menteri, Airlangga Hartarto Masih Minim Prestasi
Sulthan melanjutkan, saat Munaslub Partai Golkar 2016 yang memilih Setya Novanto secara aklamasi. Suara-suara kader yang kritis melihat Setnov sebagai sosok bermasalah menjadi terpinggirkan, sampai KPK sendiri yang mengungkapkannya.
"Akhirnya perjalanan ketum yang korup itu justru membawa citra buruk bagi partai," katanya.
BACA JUGA: Dukung Aklamasi, Golkar Sulteng: Jangan Sampai Munas Memecah Partai
Bagaimana dengan terpilihnya Airlangga secara aklamasi dalam Munas tahun 2017? "Hal itu bisa dikecualikan. Mengingat kondisi Golkar masa itu dalam keadaan darurat usai terungkapnya kasus Setya Novanto, sehingga seluruh kader bersepakat meredam persaingan dan gejolak demi menyelamatkan partai guna menghadapi kontestasi Pemilu 2019," tutur Sulthan.
Seturutnya, saat ini Golkar dalam keadaan normal. Sehingga jika Munas Golkar hendak dipaksakan berlangsung secara aklamasi, sementara di sisi lain ada kandidat ketua umum lebih dari dua orang, maka tinggal menunggu waktu saja masalah-masalah yang sebelumnya pernah menimpa partai Golkar terulang kembali.
Perpecahan partai di 2014 dan kasus yang menimpa Setya Novanto harusnya menjadi pengingat bagi seluruh kader yang tetap menghendaki eksistensi Partai Golkar terjaga dengan baik.
"Aklamasi tidaklah salah. Justru itu menjadi ciri khas bangsa yang mengedepankan musyawarah mufakat. Namun, ketika aklamasi dipaksakan untuk membungkam suara-suara yang berbeda, di situlah sikap antidemokrasi pihak yang memaksakan tersebut justru sangat terlihat," pungkas Sulthan. (*/adk/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adek