Jok-Pro

Oleh Dhimam Abror Djuraid

Minggu, 20 Juni 2021 – 20:12 WIB
Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto. Foto: arsip JPNN.com

jpnn.com - Kampanye Joko Widodo menjadi presiden tiga periode resmi di-kick off dengan berdirinya sekretaris nasional (seknas) di Jakarta.

Selama ini ide tiga periode masih menjadi wacana yang memantik banyak kontroversi. Dengan berdirinya seknas, setidaknya para pendukung tiga periode menunjukkan bahwa mereka serius.

BACA JUGA: Brutus

Melihat nama yang berada di jajaran kepengurusan seknas, kampanye itu tidak main-main. Bukan sekadar gerakan untuk cari perhatian, tetapi sebuah gerakan yang didesain cukup rapi dengan persiapan yang terorganisasi, dan -yang paling penting- ada duit untuk menjalankan kampanye.

Penggagas gerakan ini menyebut sebagai Komunitas Jokowi- Prabowo. Kampanye yang diluncurkan adalah 'Jok-Pro 2024' untuk menjadikan pasangan Jokowi-Prabowo sebagai calon presiden dan wakil presiden pada Pilpres 2024.

BACA JUGA: Prof. Mega

Sebagai sebuah gimik marketing politik, gerakan itu boleh-boleh saja. Dalam sebuah sistem demokrasi, gagasan macam apa pun dibolehkan sebagai bagian dari jaminan kebebasan berpendapat dan berserikat.

Akan tetapi, kalau gagasan itu bertentangan dengan undang-undang, tentu persoalannya berbeda.

BACA JUGA: Mahfud

Masa jabatan presiden tiga periode adalah bentuk pelanggaran terhadap pembatasan kekuasaan. Pembatasan kekuasaan dua periode ini adalah anak kandung sah dari gerakan Reformasi 1998 yang mengoreksi kepemimpinan Orde Baru di bawah Soeharto.

Pada era otoritarianisme Soeharto, masa jabatan kepresidenan tidak dibatasi. Soeharto bablas menjadi presiden sampai 32 tahun.

Namun, akhirnya Soeharto ikut bablas dari kekuasaan setelah diturunkan dengan paksa oleh gerakan reformasi.

Absennya pembatasan kekuasaan melahirkan seorang Sokarno yang membangun kultusnya sendiri. Dia menahbiskan diri sebagai Paduka Yang Mulia Pemimpin Revolusi Indonesia, kemudian mengangkat diri menjadi presiden seumur hidup.

Akhir kepemimpinan Soekarno ditandai dengan ontran-ontran politik yang mengerikan yang membawa korban ratusan ribu atau malah jutaan nyawa rakyat yang tidak berdosa. Kenangan buruk dari dua masa kepemimpinan otoriter itu sampai sekarang masih membekas dalam psyche masyarakat dan menjadi trauma sejarah berkepanjangan.

Dalam dunia demokrasi moderen ada konvensi-konvensi yang menjadi consensus nasional yang disepakati bersama. Salah satu yang paling esensial adalah penguasa eksekutif hanya boleh dipilih maksimal dua kali saja.

Pembatasan itu mengacu pada moral dasar demokrasi bahwa kekuasaan tidak boleh berada di satu tangan, tetapi harus menyebar seluas mungkin. Kesepakatan itu kemudian ditegaskan menjadi Pasal 7 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang membatasi masa jabatan presiden dan wakil presiden maksimal dua periode.

Oleh sebab itu, dalam pengelolaan negara dibuat mekanisme sirkulasi rutin. Misalnya, melalui pemilihan kepala negara dan kepala daerah secara berkala.

Mekanisme itu  bukan sekadar memenuhi kewajiban dan menjadi semacam demokrasi prosedural, tetapi harus benar-benar mencerminkan demokrasi esensial.

Dalam praktik demokrasi ada dua jenis pembatasan kekuasaan, yaitu pembatasan legal dan pembatasan etik. Pembatasan legal dilakukan dengan aturan resmi seperti regulasi dan konstitusi, yaitu dengan pemilihan kepala negara dan kepala daerah maksimal dua kali.

Pembatasan etik merupakan bentuk pembatasan yang tidak tertulis dalam hukum. Kendati demikian, pembatasan tersebut harus menjadi kesepakatan bersama yang menjadi bagian dari tradisi demokrasi yang sehat.

Pada masa-masa awal kemerdekaan Amerika Serikat di abad-18 tidak ada pembatasan masa kepresidenan. Para founding fathers Amerika, seperti, George Washington, Thomas Jefferson, dan kawan-kawan bisa saja menjadi presiden lebih dari dua periode, atau malah seumur hidup. Mereka mempunyai legitimasi yang sangat kuat untuk melakukannya.

Negara Amerika masih muda dan membutuhkan kepemimpinan yang stabil. Para pendiri bangsa itu telah menunjukkan kepemimpinan yang kukuh dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kebangsaan paling mendasar.

Mereka terjun ke arena peperangan dan kemudian berhasil menyatukan bangsa. Dengan legitimasi seperti itu seorang presiden seperti Washington sangat mudah untuk meminta jabatan lebih dari dua periode.

Namun, Washington tidak melakukannya. Dia seorang pemimpin visioner yang mampu melihat jauh sampai berartus-ratus tahun ke depan.

Oleh karena itu, meskipun tidak ada undang-undang yang melarang, Washington hanya mau menjadi presiden dua periode.

Pada masa genting selama Perang Dunia Kedua, Franklin Delano Rosevelt mengubah tradisi itu dan berhasil menjadi presiden selama empat periode. Rosevelt meninggal beberapa bulan setelah menjalani periode keempat.

Sepeninggalan Rosevelt pada 1947, Kongres Amerika melakukan amendemen ke-22 atas konstitusi untuk membatasi kekuasaan presiden maksimal dua periode dan setiap periode berlangsung selama empat tahun.

Selain batasan legal ada juga batasan etika dan noral. Seorang penguasa aktif diharapkan tidak mendorong keluarga dekat untuk meneruskan kekuasaannya.

Meski hal itu tidak dilarang dan dibatasi secara hukum, ada batasan etika dan moral politik. Pembatasan periode diperlukan untuk mencegah terjadinya pemusatan kekuasaan yang ditabukan dalam demokrasi dan disepakati dalam demokrasi modern.

Makin lama seseorang berkuasa, makin besar resource dan sumber daya yang dikumpulkannya untuk melanggengkan kekuasaannya. Dengan begitu, kekuasan menjadi lebih absolut.

Masyarakat demokratis harus menghindari pantangan ini dengan mencegah orang atau kekuatan politik yang di tangannya terkumpul sumber daya yang berlebihan. Pemusatan kekuatan dan kekuasaan seperti ini akan menghilangkan kompetisi yang adil dan hanya melahirkan oligarki yang merusak demokrasi. 

Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam How Democracies Die (2018) sudah memberi warning keras kepada kita bahwa demokrasi bisa mati setiap saat.

Keduanya adalah profesor ilmu pemerintahan Universitas Harvard yang melakukan penelitian bertahun-tahun untuk melihat faktor apa saja yang membuat demokrasi bisa sehat dan kuat, dan faktor apa saja yang bisa membunuh demokrasi.

Menurut Levitsky dan Ziblatt, kemunduran demokrasi hari ini dimulai dari kotak suara. Artinya, demokrasi tetap akan mati meskipun ada pemilihan umum yang terlihat demokratis tapi sebenarnya hanya prosedural.

Kematian demokrasi ditandai dengan beberapa indikator utama, yaitu penolakan atau komitmen yang lemah terhadap aturan main yang demokratis. Indikasi kedua ialah penolakan terhadap legitimasi lawan politik, tidak ada kerelaan untuk memberi kesempatan dalam kompetisi yang adil kepada lawan politik.

Indikasi ketiga ialah munculnya toleransi atau dorongan kekerasan terhadap oposisi politik. pembunuhan terhadap pengawal Habib Rizieq Shihab menunjukkan bahwa ada toleransi terhadap kekerasan politik, dan tidak ada komitmen hukum yang cukup serius untuk mengungkap kasus itu.

Indikasi keempat ialah sikap yang membatasi kebebasan sipil lawan, termasuk mengendalikan media. Pelarang sejumlah ormas, seperti, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan FPI (Front Pembela Islam) menunjukkan adanya pembatasan kebebasan sipil itu.

Empat indikator kematian demokrasi itu ada di depan mata kita. Gerakan Jok-Pro akan menjadi paku untuk peti mati demokrasi Indonesia.(***)

Simak! Video Pilihan Redaksi:

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pak Harto


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler