jpnn.com - Di kalangan aktivis lingkungan batu bara disebut sebagai ‘’barang tuhan bagi rata’’. Berkah dari Tuhan itu seharusnya dibagi rata untuk kemakmuan rakyat, tetapi ternyata dibagi rata di kalangan elite-elite politik anggota oligarki saja.
Indonesia adalah salah satu raja batu bara dunia dan ekspornya menjadi sumber pemasukan devisa yang sangat penting. Data International Energy Agency (IEA) menunjukkan bahwa pada 2019 Indonesia mengekspor 455 juta ton ke seluruh dunia, kemudian turun menjadi 400 juta ton pada 2020 imbas pandemi Covid-19.
BACA JUGA: Pengamat Mendukung Larangan Ekspor Batu Bara, Ini Alasannya
Di awal 2022 ini Presiden Jokowi mengeluarkan larangan ekspor batu bara selama sebulan, gegara pasokan batu bara untuk konsumsi listrik tersendat-sendat. Akibat kekurangan pasokan itu, Perusahaan Listrik Negara (PLN) sering biarpet karena pasokan batu bara untuk bahan bakar listrik telat.
Itulah Indonesia. Batu bara berlimpah, tetapi listrik selalu biarpet karena kurang pasokan. Para taipan batu bara itu selalu kucing-kucingan mengakali aturan kewajiban pasokan domestik (DMO—Domestic Market Obligations), dan lebih memilih kirim barang ke luar negeri karena harga yang lebih menguntungkan.
BACA JUGA: Ketua Banggar DPR Sampaikan 6 Pandangan Soal Kebijakan Larangan Ekspor Batu Bara
Jokowi mengambil langkah cepat menghentikan ekspor. Meskipun cuma sebulan, tetapi lumayan untuk memperbaiki suplai dalam negeri. Para taipan batu bara itu dipaksa menjual ke PLN dengan harga di bawah harga ekspor.
Harga yang kurang menguntungkan itulah yang membuat para taipan batu bara melakukan patgulipat menghindari kewajiban pasokan dalam negeri. Jokowi pun—seperti biasanya—mengancam akan mencabut izin usaha perusahaan pertambangan yang tidak mematuhi DMO.
BACA JUGA: Tok! Ekspor Batu Bara Dilarang, Pengusaha Bereaksi
Ancaman itu serius atau sekadar gertak sambal pedas saja? Publik akan menunggu buktinya. Namun, melihat struktur bisnis pertambangan batu bara, dan para pemain elite yang bermain di dalamnya, tampaknya ancaman Jokowi itu hanya sekadar sambal pedas saja.
Bisnis batu bara melibatkan tokoh-tokoh elite di negeri ini dan memberi kontribusi yang sangat besar dalam proses politik nasional di pilpres 2019. Lembaga swadaya masyarakat Jaringan Tambang (Jatam) membuat laporan komprehensif mengenai kaitan bisnis tambang dengan politik dan mengungkap para elite yang bermain di dalamnya.
Dalam buku tipis ‘’Coalruption: Elite Politik dalam Pusaran Bisnis Batu Bara’’ (2018) Jatam mengungkap bahwa bisnis batu bara menjadi salah satu sumber utama pendanaan politik Indonesia, mulai dari level daerah sampai ke level tertinggi nasional.
Pemain kunci di industri batu bara memainkan peranan penting dalam pemilihan presiden 2019. Hal yang sama terjadi di tingkat provinsi dan kabupaten. Para kandidat mencari sumber pendanaan kampanye yang mahal kepada para pengusaha tambang.
KPK dan organisasi masyarakat sipil mencatat adanya kenaikan tajam jumlah izin pertambangan saat kampanye pilkada, atau segera setelah pilkada selesai.
Kebutuhan terhadap modal politik yang besar, keterkaitan erat dengan peraturan pemerintah, adanya royalti dan pajak, serta ketergantungan terhadap infrastuktur pemerintah untuk mengirimkan batu bara ke pasar, menjadikan sektor ini terpapar korupsi politik akut.
Perusahaan pertambangan batu bara harus berurusan dengan pejabat publik, dan hal ini mendorong terjadinya perselingkuhan antara perusahaan, birokrat, dan politisi. Perselingkuhan seperti ini terjadi di level daerah sampai ke level pusat.
Para elite politik itu menyatukan kepentingan bisnis dengan kepentingan politik. Nama-nama elite yang disebut adalah ARB yang mempunyai perusahaan batu bara BR dan menjadi elite parpol anggota koalisi. Ada juga PS yang mempunyai grup bisnis N dan juga menjadi salah satu pemimpin partai anggota koalisi.
Terdapat elite politik dengan konflik kepentingan yang besar di bisnis ini. Mereka disebut sebagai politically-exposed persons (PEP) karena ada konflik kepentingan dan ada kemungkinan melakukan abuse of power dengan cara dagang pengaruh.
Menteri L tercatat sebagai pemegang saham PT TS. Perusahaan ini memiliki sejumlah anak perusahaan yang terlibat dalam pertambangan batubara dan PLTU. Beberapa elite lain terhubungkan dengan kelompok bisnis ini, termasuk anggota keluarga L, mantan menteri, pejabat tinggi, dan pensiunan jenderal.
Dalam menyatukan bisnis dan politik di sektor batu bara, L menggunakan struktur lama oligarki politik, yaitu istana kepresidenan, militer, dan partai politik. Dia juga menggunakan lanskap baru yaitu desentralisasi dengan bekerja sama dengan elite dan penguasa lokal.
Di partai politik L terkoneksi dengan ARB dan beberapa kadernya. Belakangan ini kader-kader partai itu ditangkap KPK karena kasus korupsi lain. Dia adalah IM yang ditangkap ketika sedang menjabat sebagai menteri sosial, dan AS wakil ketua DPR yang sekarang tengah diadili karena kasus suap anggaran di Lampung.
Selain itu ada nama-nama elite politik daerah yaitu bapak dan anak mendiang Syaukani Hasan Rais, dan Rita Widyasari. Bapak dan anak ini sama-sama terjerat kasus korupsi, dan sang anak sekarang masih mendekam di penjara.
Hukum di Indonesia mewajibkan sebuah perusahaan untuk mengungkapkan pemilik sah perusahaan untuk didaftarkan di Kementerian Hukum dan HAM. Namun, para elite yang masuk dalam kategori ‘’pemilik manfaat’’ atau ‘’benifical owner’’ itu sering tidak dimunculkan namanya, padahal mereka adalah pemain utama di balik bisnis itu.
Sebelum era reformasi 1999, peraturan dan izin pertambangan dikelola oleh pemerintah pusat. Setelah pelaksanaan desentralisasi, politisi di daerah mendapatkan kekuasaan yang lebih besar untuk mengelola sumber daya alam di wilayah mereka.
Elite politik di daerah memiliki kekuasaan untuk menerbitkan izin pertambangan dan hal itu dimanfaatkan sebagai sumber pendanaan politik yang penting.
Indikator jual beli izin tambang itu bisa dilihat dari kenaikan tajam jumlah izin yang dikeluarkan pemerintah daerah. Sejak 1999 sampai 2001 tercatat 750 izin yang dikeluarkan. Dalam tempo sepuluh tahun sampai 2010 terdapat lebih dari sepuluh ribu izin baru yang dikeluarkan.
Ini merupakan kenaikan 13 kali lipat. Separuh di antara izin tambang itu adalah izin tambang batu bara.
Bisnis batu bara sangat menggiurkan. Tingkat keuntungan yang tinggi dan subsidi negara yang besar menarik banyak elite politik atau pengusaha dengan koneksi politik (politically exposed persons) ke dalam industri ini. Hal ini kemudian menyebabkan korupsi politik.
Di awal 2000, beberapa perusahaan asing menjual sahamnya kepada pengusaha Indonesia yang memiliki kekuasaan dan koneksi politik.
Keterlibatan elite politik ini membuat perusahaan batu bara makin berani melakukan pelanggaran aturan lingkungan. Penambangan batu bara sangat berisiko merusak lingkungan, dan karena itu diwajibkan melakukan restorasi untuk menghindari kerusakan lingkungan.
Aturan itu hanya ada di atas kertas, tetapi ompong di lapangan. Kalimantan Timur merupakan salah satu pusat industri batu bara di Indonesia dan terdapat banyak kerusakan lingkungan akibat praktik pertambangan yang tidak bertanggung jawab. Di wilayah itu banyak sekali lubang tambang yang ditelantarkan.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan, lubang-lubang tersebut harus direstorasi dan ditanami kembali jika tidak lagi digunakan. Namun, banyak perusahaan mengabaikannya tanpa konsekuensi hukum karena pemiliknya memiliki kekuasaan dan koneksi politik level tinggi.
Beberapa konflik lahan akibat kerusakan lingkungan yang melibatkan Kutai Energi--salah satu perusahaan di dalam grup PT TS--juga tidak memperoleh penyelesaian, meskipun keputusan pengadilan telah memenangkan masyarakat lokal. Hal ini menyebabkan masyarakat lokal kehilangan akses terhadap penghidupan. Kerusakan lingkungan telah mencemari sungai yang punya fungsi sangat penting bagi masyarakat.
Akibat lingkungan yang tercemar itu, Indonesia mendapatkan julukan “the dirty man of Asia”, manusia dekil Asia. Rencana pemerintah Indonesia untuk mengurangi produksi batu bara belum terbukti.
Coalruption, atau korupsi batu bara ini mencemari lingkungan, mematikan, merusak reputasi, dan melemahkan demokrasi karena praktik korupsi politik. Harus ada political will, niat politik, level tinggi yang serius untuk mengatasi hal ini.
Penghentian ekspor sebulan hanya menyentuh ujung gunung es saja, dan hanya cukup menjadi pertunjukan pencitraan saja. (*)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror