jpnn.com - JAKARTA – Naiknya Joko Widodo (Jokowi) ke kursi presiden menjadi sorotan beberapa intelektual internasional yang selama ini banyak menggeluti isu seputar Indonesia. Seperti, Profesor Gustav Papanek dari Boston University dan Profesor Jeffrey Winters dari Northwestern University, Amerika Serikat (AS).
Gustav menyatakan, saat ini Indonesia berada dalam satu kesempatan dalam 100 tahun untuk memperbaiki taraf hidup seluruh rakyat. Perbaikan itu bisa dilakukan dalam lima tahun pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.
BACA JUGA: JK Rambut Baru, Stelan Jas Lama
"Kuncinya, merealisasikan potensi pertumbuhan ekonomi 10 persen setiap tahun," ujarnya dalam laporan terbaru yang diterbitkan lembaga riset Transformasi.
Profesor yang aktif meneliti Indonesia sejak awal 1960-an ketika menjabat director of Harvard’s Development Advisory Service itu menyebutkan, pertumbuhan ekonomi 10 persen tersebut sangat mungkin diraih. Sebab, Tiongkok yang memiliki kapasitas ekspor USD 1.500 miliar dalam industri padat karya kini mulai kehilangan daya saing.
BACA JUGA: Baru 20 Pemda Serahkan Hasil Lengkap Verifikasi Honorer K2
"Indonesia dapat merebut sebagian pasar tersebut," katanya.
Tentu, hal itu tidak semudah membalik telapak tangan. Menurut profesor kelahiran Wina, Austria, 12 Juli 1926, tersebut, dibutuhkan reformasi tegas di Indonesia. Misalnya, pengurangan subsidi BBM pada awal masa pemerintahan, lalu mengalihkan anggarannya untuk pembangunan infrastruktur.
BACA JUGA: Romi Tegaskan PPP Punya Kader untuk Jadi Menteri Jokowi
"Hal itu akan memicu investasi dan penerimaan pajak," jelasnya.
Langkah lain yang harus dijalankan dengan tegas adalah memperbaiki iklim investasi dengan perbaikan peringkat korupsi. Gustav menyebutkan, Jokowi harus mengurangi diskresi pejabat pemerintah yang berwenang dalam urusan proyek sehingga kesempatan pejabat untuk meminta imbalan sebagai bentuk korupsi semakin kecil.
"Hal semacam itu selama ini menciptakan ekonomi biaya tinggi yang mereduksi daya saing Indonesia," ujarnya.
Profesor Jeffrey Winters menambahkan, transformasi ekonomi seharusnya dilakukan sejak awal 2000 ketika Indonesia memasuki periode bonus demografi, yakni melimpahnya penduduk usia produktif. Namun, hal tersebut belum terlaksana. Dengan demikian, inilah saatnya bagi Indonesia untuk melakukan transformasi ekonomi guna mengoptimalkan potensi bonus demografi yang tinggal 20 tahun lagi.
"Jika dalam lima tahun ke depan tidak dilakukan, Indonesia bisa kehilangan momentum yang muncul 100 tahun sekali," tegasnya.
Jeffrey pun menceritakan pengalamannya pada 2004 ketika bersama beberapa kelompok internasional bertemu para calon presiden saat itu. Dalam pertemuan tertutup tersebut, para intelektual internasional mengutarakan ide bagaimana agar Indonesia bisa mencapai pertumbuhan ekonomi 10–12 persen per tahun.
"Ada satu calon presiden yang sangat tertarik dengan ide-ide kami. Sayangnya, dia kalah dalam pemilihan presiden,’’ ungkapnya.
Dia menyebutkan, presiden yang kemudian terpilih (Susilo Bambang Yudhoyono) dan tim ekonominya memiliki "mentalitas 7 persen". Mentalitas tersebut persis yang muncul pada awal Orde Baru, yakni pertumbuhan ekonomi 7 persen sudah cukup untuk Indonesia serta 7 persen itulah angka yang wajar untuk negara besar dan kompleks seperti Indonesia.
"Jokowi dan tim ekonominya harus mengubah mentalitas 7 persen menjadi mentalitas double digit (10 persen),’’ katanya.
Menurut Jeffrey, Indonesia harus mencontoh Tiongkok. Dia menceritakan, pada 1970-an ketika ekonomi Indonesia melesat karena booming harga minyak, Tiongkok masih tertinggal dari Indonesia. Namun, karena reformasi struktural yang dijalankan dengan tegas, negara besar dan kompleks itu bisa mencapai pertumbuhan ekonomi double digit selama berpuluh-puluh tahun.
"Jika revolusi mental benar-benar dijalankan pemerintahan Jokowi, Indonesia bisa menjadi negara sejahtera,’’ tegasnya. (owi/c5/sof)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Romi Sebut PPP Paling Awal Dukung Jokowi
Redaktur : Tim Redaksi