jpnn.com - JAKARTA – Rupiah terus menunjukkan keperkasaannya.
Kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), Selasa (6/12) kemarin menunjukkan, rupiah naik 111 poin atau 0,82 persen menjadi Rp 13.405 per USD.
BACA JUGA: Underpass Manggarai Diharapkan Beroperasi Sebelum Tahun Baru
Penguatan rupiah terjadi sejak beberapa hari terakhir. Dana asing yang sempat keluar pun kembali masuk ke Indonesia.
Pasar surat utang kembali bergairah. Sebab, yield obligasi di Indonesia termasuk tinggi di Asia.
BACA JUGA: Izin Investasi Sektor Pariwisata Bakal Dipermudah
Sebelumnya, yield surat utang Indonesia jatuh 68,2 basis points (bps).
Direktur Eksekutif Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia (BI) Juda Agung menyatakan, sebenarnya sepanjang 2016 ini rupiah mengalami apresiasi yang cukup tinggi.
BACA JUGA: Kadin Minta Regulasi Penguat untuk e-Commerce
Di sisi lain, ekspor Indonesia justru tumbuh 18 persen sejak Januari hingga Oktober.
Penguatan rupiah tidak lantas melemahkan ekspor.
’’Bukan hanya karena faktor harga yang meningkat, tapi jumlah riilnya juga naik,’’ katanya di sela-sela Sarasehan 100 Ekonom Indonesia di Jakarta kemarin (6/12).
Sejak akhir Oktober 2016 lalu, rupiah memang sempat terpukul karena ekspektasi kenaikan suku bunga Bank Sentral AS (The Fed).
Ditambah, pilpres AS memenangkan Trump sebagai presiden.
Capital outflow pun mencapai sekitar USD 2,3 miliar.
Namun, ketika pelaku asing melarikan dana ke luar, domestik justru menyuplai valuta asing (valas).
Pasar kini berekspektasi bahwa rupiah menguat seiring penambahan likuiditas di akhir tahun.
Sebab, banyak dana repatriasi yang kembali ke Indonesia pada bulan ini.
BI memprediksi pada Desember ada dana repatriasi Rp 100 triliun yang masuk ke Indonesia.
Presiden Joko Widodo meminta agar rupiah tidak hanya dibandingkan dengan USD.
Menurut mantan pengusaha mebel itu, rupiah juga perlu dibandingkan dengan mata uang kompetitor dalam hubungan dagang.
Sebab, AS bukan mitra dagang terbesar Indonesia.
Nilai ekspor Indonesia ke AS hanya 9–10 persen dari total perdagangan kedua negara tersebut.
Sementara itu, nilai ekspor negara-negara mitra dagang utama seperti Tiongkok mencapai 15,5 persen, Eropa (11,4 persen), dan Jepang (10,7 persen).
’’Kalau kita masih membawa pemahaman tersebut, bisa berbahaya. Sementara itu, kalau kita ukur ekonomi pakai euro, yuan, Korean won, pound sterling, akan berbeda. Mitra dagang kita, Tiongkok yang terbesar, ya kursnya rupiah dan renminbi yang relevan. Mestinya seperti itu,’’ papar Jokowi.
Indonesia juga harus mulai mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS.
Jokowi menguraikan, setelah Donald Trump mulai memimpin AS, diprediksi segala kebijakan yang diambil sangat mengutamakan kepentingan ekonomi domestik.
Karena itu, kurs dolar AS tak lagi menjadi patokan utama bagi Indonesia.
Sebab, dengan terpilihnya Trump, sangat mungkin nilai ekspor Indonesia menurun.
’’Artinya, Amerika nanti relatif tidak peduli dengan konsekuensi aksinya terhadap negara lain. Hal itu yang saya tangkap. Kelihatannya Trump akan menerapkan kebijakan ekonomi reflasi. Kurs dolar semakin mencerminkan antisipasi pasar bahwa pertumbuhan ekonomi AS menguat lagi dan inflasi dolar akan melonjak,’’ ujarnya. (rin/ken/dee/c22/sof)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jelang Tahun Baru, Okupansi Hotel Berbintang Turun
Redaktur : Tim Redaksi