jpnn.com - KHOFIFAH Indar Parawansa menyandang status baru di tengah-tengah hiruk-pikuk politik jelang pemilu presiden (pilpres) saat ini. Mantan kandidat gubernur di Pilkada Jawa Timur itu dipercaya untuk menjadi juru bicara bagi Joko Widodo, calon presiden yang berduet dengan Jusuf Kalla.
Khofifah yang juga menjabat sebagai Ketua Umum PP Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) mengatakan, bukan perkara mudah mengemban tugas sebagai jubir. Mau tak mau, Khofifah menjadi tempat bertanya dan lebih sering berhubungan dengan banyak orang untuk dimintai pendapatnya.
BACA JUGA: Takut Indonesia Dipimpin Orang Otoriter
Mantan Menteri Pemeberdayaan Perempuan itu pun menjadi penangkis berbagai kabar yang meragukan keislaman Jokowi. Bagi Khofifah, sosok Jokowi maupun pendampingnya, Jusuf Kalla punya kesalehan sosial. “Mau diukur apa lagi tingkat keagamaannya?” tutur Khofifah.
Lalu apakah ada deal-deal khusus sehingga Khofifah mau menjadi Jubir Jokowi-JK? Seperti apa sosok Jokowi-JK di matanya? Berikut hasil petikan wawancara Yessy Artada dari JPNN dengan Khofifah baru-baru ini.
BACA JUGA: Agar Atmosfir Olimpiade Biologi Mewabah ke Sekolah
Bagaimana prosesnya hingga bisa menjadi pendukung Jokowi?
Sebelum beliau (Jokowi, red) deklarasi, kebetulan saya sempat mencocokkan pikiran. Dan setelah beliau deklarasi, saya ngajak beberapa teman untuk mencocokkan pikiran terlebih dulu. Saya memang biasa begitu, jadi interpretasi saya harus clear semua, sehingga ketika melangkah enggak ada yang ngabot-ngaboti (membebani). Jadi kita semua sevisi seperjuangan.
Apa karena PKB kebetulan mendukung Jokowi, atau ada proses lain?
Kalau urut-urutan PKB kan belakangan. Pak Jokowi deklarasi dari bulan Maret, sebelum pileg. Jadi belum ketahuan PKB mau ke mana. Kebetulan saya kan bukan pengurus PKB, jadi enggak ada kaitan antara komunikasi saya dengan Pak Jokowi dengan kebetulan PKB ke Pak Jokowi. Karena waktu itu kan ada rapat pleno partai dan keputusan pengurus, saya kan bukan pengurus PKB.
BACA JUGA: Saya Siap Jadi Herder Jokowi
Apa ada konsesi yang ditawarkan kubu Jokowi?
Enggak ada itu. Jadi memang yang Pak Jokowi sebut koalisi tanpa syarat itu betul. Ya memang saya pun juga (berikan dukungan) mengalir saja. Memang ada kesamaan pikiran dengan Pak Jokowi, tapi bukan hanya itu saja, tapi banyak kesamaan seperti untuk melayani masyarakat.
Bagaimana penilaian anda soal Jokowi maupun JK?
Untuk Pak JK, saya kenal jauh lebih lama dengan beliau, karena suami saya dari Makassar. Beliau (JK, red) waktu menkokesra (menteri koordinator kesejahteraan rakyat) zamannya Gus Dur beliau bilang, 'ini (Khofifah) mantu saya'. Jadi memang komunikasinya atas dasar kultur dengan suami saya. Kebetulan beliau juga pengurus NU, jadi nyambung secara ideologis, fisiologis dan kultur.
Kalau Pak Jokowi sejak di Solo saya juga kenal dan beberapa kali ketemu di forum. Saat itu saya enggak lihat kanan kiri, tapi beliau yang menyapa saya duluan. Meskipun kita beda meja, beliau mendatangi saya. 'Mbak Khof lupa? Saya Jokowi'. Saya menangkap bahwa keapaadaannya Pak Jokowi ya begitu, jadi enggak ada kaitannya karena mau nyapres, itu enggak ada. Ya memang begitu bawaannya.
Apakah pernah punya pengalaman pribadi yang menarik dari dua figur itu?
Saya orangnya jarang ikut-ikut berpergian dengan Pak JK ataupun Pak Jokowi. Saya lebih suka menyapa konstituen. Saya bilang saya lebih baik turun menyapa konstituen. Saya sampaikkan itu ke Pak Jokowi, saya ini bukan tipe orang yang setor muka loh, jadi mohon maaf kalau misalnya nanti di sebuah forum saya nggak ikut jejer-jejer rebutan salaman. Karena itu bukan tipe saya.
Nantipun saya belum tentu bisa mengikuti kunjungan Pak JK atau Jokowi, karena waktunya pendek lebih baik kita bagi tugas.
Dan Kayaknya beliau paham banget soal itu. Jadi saya memang lebih merasa bahwa saya harus jadi diri saya sendiri, saya enggak boleh jadi diri orang lain. Khofifah ya Khofifah. Dan itu saya coba bangun sampai sekarang, saya enggak mikir misalnya nanti saya enggak diangap kalau saya enggak keliatan kerja di depan mereka, karena beberapa teman masih begitu sekarang berfikirnya. Ada yang bertanya, 'kalau Mbak Khofifah udah kerja keras dan kalau mereka-mereka pada nggak tahu gimana?'. Saya bilang, ya sudah. Tuhan kan tahu.
Ketemu intens dengan Jokowi-JK kapan?
Awalnya agak sering ketemu mereka sampai proses pendaftaran KPU. Itu lebih sering ketemu karena saya kan harus cocokkan pikiran. Jangan sampai ada sesuatu yang misalnya nanti karena awal beliau minta saya jadi jubir, sehingga saya nanti banyak dijadikan referensi oleh banyak pihak, bukan hanya media saja.
Cuma setelah pendaftaran KPU, jadwal saya sama ruwetnya dengan mereka, saya pun makin jarang di Jakarta dan bagi saya kalau saya di daerah akan lebih efektif, karena saya kan tinggal muter aja ke satu daerah atau komunitas-komunitas lain. Jadi saya lebih banyak menyapa ke bawah. Ya kalaupun di Jakarta, itupun tadi karena ada koordinasi yang besar saja.
Pernah melihat sisi lain dari Jokowi maupun JK sebagai seorang muslim yang tak diketahui banyak orang?
Saya enggak bisa mengukur keislaman seseorang ataupun keagamaan seseorang, karena orang yang rajin puasa Senin-Kamis belum tentu itu menunjukkan kesalehan seseorang. Orang yang pakai jilbab bahkan sampai pakai cadar belum tentu menunjukkan kesalehan. Saya rasa kesolehan orang enggak bisa dilihat secara verbal seperti itu.
Nah kita mungkin bisa melihat dari perilaku-perilaku yang ditunjukkan Pak Jokowi-JK, melakukan penyapaan secara sosial menjadi bagian penting dari indikasi sebuah kesalehan, saya sering menyebutnya kesalehan sosial. Misalnya begini, ayat-ayat di Alquran sangat banyak yang menyandingkan, "al’adzina amanu wa'amilussoliha. Iman, amal saleh, iman amal saleh terus digandeng-gandengkan. Jadi soal amal soleh ini menjadi penting.
Bukankah ketika Pak Jokowi mengubah Waduk Pluit dari tadinya bersampah-sampah menjadi amal sosial? Lantas ketika beliau menata PKL itu juga amal sosial. Bukankah menata pasar yang tadinya kumuh lantas menjadi layak dan ber-AC itu juga kesalehan sosial? Jadi banyak hal yang mungkin bisa kita ukur dari kesolehan sosial seseorang.
Soal Obor Rakyat, mengapa nahdliyin diserbu Obor Rakyat?
Itu Obor Rakyat kita enggak bisa nandingin oplahnya. Ada temen saya di Kediri kemarin bilang pesantrennya dapat satu kiriman mobill boks, jadi dia bilang itu bisa sampai dipakai tidur dan kalau ditumpuk bisa jadi bed, karena saking banyaknya kiriman.
Teman saya di Mojokerto juga cerita. Saya kan selama ini enggak pernah nyangka ngirimnya sampai ribuan. Teman saya yang pengasuh pesantern di Mojokerto itu sekali episode dapatnya sampai 3 ribu. Bayangkan itu diturunkan semobil boks, jadi bayangkan saja itu berapa juta eksemplar disiapkan, itu dari sisi oplahnya aja udah enggak masuk akal.
Kontennya berisi fitnah, jadi disayangkan antara pihak yang disosialisasikan pendidikan karakter dengan apa yang dilakukan, itu jomplang banget. Kalau di sekolah diajarkan pendidikan karakter ternyata enggak cukup adil ketika harus berkompetisi, jadi enggak berimbang. Artinya, politik ini juga menjadi tidak berkarakter. Kalaupun berkarakter itu jadinya karakter preman. Kenapa harus menghalalkan segala cara untuk itu, vulgar banget masuk sampai ke areal-areal yang mengandung sensitivitas yang luar biasa, yaitu soal agama.
Bagaimana peran anda membujuk nahdliyin di Jatim demi Jokowi-JK?
Sebetulnya secara logika gampang sekali, karena Pak JK itu bapaknya (Haji Kalla, red) pendiri NU Sulawesi Selatan. Pak JK sendiri pengurus NU dari dulu, jadi bukan jadi pengurus NU ketika mau jadi wapres atau cawapres, tapi dari dulu memang pengurus NU.
Kemudian amal sosial di NU juga luar biasa. Bapaknya Pak JK ketika itu wakaf Universitas Islam Makassar, dulu namanya Universitas Al-Ghazali. Ketika beliau mau wafat, beliau ke kantor rektorat dan berpesan, 'kalian boleh rehab apa-apa, tapi kalian harus pasang ini', yaitu itu logo NU.
Itu seorang Pak Haji Kalla, Pak JK juga seorang filantropis bagi NU di pusat maupun bagi badan otonominya NU. Jadi banyak hal yang menjadikan masyarakat warga NU mudah membangun kedekatan, maka secara logika frame ketemunya di banyak elemen untuk menjadi rasionalisasi dukungan pada Pak JK.
Apa pandangan Anda soal kapasitas Jokowi maupun JK?
Kalau Pak Jokowi itu kan succes story-nya sebagai wali kota cukup banyak, sebagai gubernur juga sangat mudah diukur. Pak JK saya rasa punya sejarah cukup penting bagi perjalanan rekonsiliasi, apakah di Poso, di Ambon, Aceh. Tidak mudah juga mencari sosok rekonsiliator seperti Pak JK. Jadi selain persoalan manajemen birokrasi pemerintahan yang sudah mereka lakukan sudah teruji dan terbukti.
Tapi ada kelebihan-kelebihan lain, enggak mudah mencari orang yang bisa dipercaya oleh pihak-pihak yang berbeda pendapat sangat tajam karena persoalannya kan bukan hanya orang dihilangkan atau dibom, tapi juga kaitannya konflik dengan agama.
Kemampuan pada saat jadi wapres orang juga melihat, Pak JK kerap bilang lebih cepat lebih baik, itu kan nabrak paradigma birokrasi karena birokrasi biasanya kan ruwet, dan itu Pak JK harus menabrak-nabrak birokrasi. Kalau bisa lama kenapa dipercepat, kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah. Nah Pak JK membalik paradigma itu. Saya rasa kita seharusnya enggak lupa itu.
Bukankah orang berharap ada reformasi birokrasi? Mempercepat apa yang bisa dipercepat dan mempermudah apa yang bisa dipermudah, dan Pak JK sudah membuktikan itu.
Apakah jutaan pendukung Anda akan otomatis juga memberikan dukungannya pada Jokowi-JK?
Saya enggak bisa bilang otomatis, tapi mainstream-nya begitu. Jadi ada seorang kiai sangat tersohor di sebuah kabupaten di Jawa Timur cerita ke saya, ‘kenapa kalau pilihan-pilihan politik pasti ikutnya ke ibu (Khofifah, red)? Nggak bisa dipindah-pindah’. Insyaallah mainstream-nya begitu.
Apa keunggulan Jokowi-JK soal keislaman dibanding Prabowo-Hatta?
Aku enggak mau membandingkan keislaman seseorang. Tapi soal Pak Jokowi, ini kesaksian Pak Adnan dan Kiai Abdul Karim, pimpinan pesantren di Solo bahwa Pak Jokowi itu termasuk pendiri Jamuro, Jamiyah Muji Rosul, berarti itu yang ahli selawatan keliling. Dan kelilingnya sama Ketua NU Surakarta dan Ketua NU Jawa Tengah saat beliau jadi wali kota di Solo.
Kemudian beliau juga tiap bulan menggelar baca Quran, biasa kalau bulan puasa mengundang selawatan dan Quran sampai 30 ribuan orang. Jadi bagi NU dan muslimat NU di Solo, beliau sangat dikenal, baik Pak Jokowi maupun ibunya memiliki tradisi keagaamaan yang kuat.
Kalau Pak JK, ibu-ibu muslimah kemarin sempat gelar rakernas di Makassar dan salat di Masjid Raya Makassar. Sampai kemaren ada ibu-ibu yang bertemu saya di Mojokerto, mereka cerita sampai terkesan, bahwa di Masjid Raya Makassar milik Pak JK, setiap siang disiapkan makanan, jadi mau diukur apa lagi tingkat keagamaannya?
Saya enggak mau membandingkan dengan yang lain soal keagamaan, karena yang tahu ketakwaan itu hanya Tuhan. Cuma saya sempat dapat video dan fotonya Pak Jokowi haji dan umroh bersama putra putrinya.
Kalau ada orang yang bilang, ‘masa orang yang sukanya cuma blusukan masa mau mimpin negara?’. Saya menemukan surat Al-Furqon ayat 7 dan ayat 20, bahwa ternyata tradisi para rasul menurut Alquran, mereka makan makanan dan mereka keliling di pasar-pasar. Jadi tradisi Pak Jokowi blusukan di pasar selama ini sama dengan tradisi blusukan di ayat itu. Itu mengikuti jejak para rasul dan itu ada di Alquran, cuma terus banyak orang yang enggak sempat melakukan telaah.(chi/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Terbiasa Jarak Jauh
Redaktur : Tim Redaksi