jpnn.com - JAKARTA - Wacana mengembalikan pemilihan kepala daerah lewat DPRD dalam RUU Pilkada seharusnya tak perlu disikapi secara negatif.
Apalagi dituding sebagai upaya balas dendam kubu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa atas kekalahan Pilpres 2014.
Jurubicara Koalisi Merah Putih dari Partai Amanat Nasional, A. Riski Sadig menegaskan, RUU Pilkada tak ujug-ujug muncul di akhir masa bakti DPR periode 2009-2014.
BACA JUGA: PPATK Pastikan Kasus Jero Terkait Uang Besar
"Salah jika dibilang diujung. RUU Pilkada sudah dibahas sejak lama, jauh sebelum Pemilu, lebih kurang dua tahun lalu," ujar Risky kepada Rakyat Merdeka Online (Grup JPNN), Selasa (9/9).
Bahkan, beber dia mengingatkan, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang paling awal mewacanakan agar Pilkada kembali ke DPRD. Namun pada perjalanannya terjadi tarik ulur karena ada prioritas legislasi lain yang mesti segera dituntaskan. Salah satunya revisi UU Pemilu.
BACA JUGA: Pemerintah Ngotot Pilkada Langsung, Terus Lobi Koalisi Merah Putih
"Sehingga RUU ini tercecer. Karena tak bisa dilanjutkan periode setelah ini maka harus selesai periode ini, kita harus mengambil sebuah keputusan," imbuhnya.
Alhasil, mayoritas fraksi di DPR, khususnya anggota Pansus cenderung menginginkan gubernur, bupati dan walikota dipilih lewat DPRD. Pilkada langsung oleh rakyat dinilai ongkos politiknya terlalu besar, kemudian dampak lingkungannya.
BACA JUGA: Buka Peluang Kasus Narkoba Oknum Polda Kalbar Diambilalih Mabes
Alat-alat peraga seperti bilboard, baliho, poster maupun spanduk seringkali dibiarkan begitu saja terpasang selepas kampanye, mengotori ruang publik.
"Hari kita dalam setahun cuma 365 hari, bayangin saja satu hari itu bisa dua Pilkada. Konflik horisontal dan ketegangan masyarakat itu efeknya tidak sembuh dengan cepat," ulas salah satu ketua DPP PAN ini.
Pada intinya, terang Risky, Koalisi Merah Putih melihat proses demorasi dengan Pilkada langsung masih menimbulkan banyak pemasalahan yang belum terselesaikan di tingkat lapangan.
Risky juga menekankan, amandemen UUD 1945 mengamanatkan hanya presiden yang dipilih secara langsung. Sedangkan kepala daerah dipilih secara demokratis.
"Kita memberi ruang untuk mengkaji mana yang lebih tepat dan pas secara demokratis. Okelah kemarin kita coba Pilkada langsung oleh rakyat ternyata kita belum cukup siap," bebernya.
Terbukti, kekuatan modal jauh lebih berkuasa dibandingkan nilai-nilai idealisme berdemokrasi itu sendiri. Para founding father pun memahami betul bahwa demokrasi yang paling cocok di Indonesia adalah bermusyarawah di tingkat perwakilan-perwakilan sebagaimana termaktub dalam sila keempat Pancasila.
"Sama seperti ormas dan lain sebagainya yang menentukan pimpinan mereka bukan anggota. Katakanlah Nahdlatul Ulama, bukan seluruh anggota NU atau masyarakat NU yang memilih pemimpin tapi perwakilannya di kepengurusan," tukasnya. (wid)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Panselnas tak Bisa Bantu Pelamar CPNS yang Salah Daftar
Redaktur : Tim Redaksi