Apa yang dilakukan sebagian warga Selandia Baru di hari pertama pelonggaran 'lockdown' berkenaan dengan virus corona? Selandia Baru menurunkan status lockdown dari level 4 ke level 3 Terjadi antrian di restoran makana cepat saji di hari pertama pelonggaran Binis warga Indonesia di Selandia Baru terganggu karena COVID-19

 

BACA JUGA: Tak Hanya Mencabut Hukuman Cambuk, Arab Saudi Juga Mengubah Aturan Hukuman Mati

Mereka berbondong-bondong mendatangai restoran cepat saji di berbagai kota, yang sebelumnya ditutup karena karantina ketat yang diberlakukan pemerintah.

Sekarang, Selandia Baru mulai menurunkan tingkat 'lockdown' dari sebelumya level 4 menjadi level 3, setelah angka penularan virus corona sangat menurun.

BACA JUGA: PMI di Malaysia Kelaparan, Tidak Punya Uang Beli Makan, Bisa Bikin Lingkaran Setan

Sejauh ini negara yang memiliki penduduk 4,8 juta tersebut terdapat 1.122 kasus COVID-19 dengan 19 kematian.

Dengan mencatat hanya sedikit kasus positif dalam beberapa hari terakhir, PM Selandia Baru Jacinda Ardern mengatakan negaranya 'telah memenangkan pertempuran' melawan penularan virus corona.

BACA JUGA: Belum Sehari, Aplikasi COVID-19 Australia Sudah Diunduh Jutaan Kali

"Tidak ada penularan warga yang tidak terdeteksi di Selandia Baru, kita telah memenangkan pertempuran. Namun kita tetap harus waspada bila kita ingin tetap seperti ini," katanya.

Mulai hari Senin tengah malam, Selandia Baru melonggarkan aturan dengan membuka kembali beberapa bisnis yang sebelumnya dianggap tidak penting, seperti restoran cepat saji yang sebelumnya tidak diperbolehkan buka sama sekali.

Hari Selasa (28/04) antrian terjadi di berbagai restoran cepat saja, seperti McDonald's dan KFC.

Salah seorang yang ikut antrian membeli makanan adalah warga asal Indonesia Zacharia Najoan. Photo: Antrian panjang mobil di restoran makanan cepat saji di Christchurh, Selandia Baru di hari pertama pelonggaran lockdown. (AP: Mark Baker)

  'Warga nurut' jadi kunci keberhasilan

Ririe, panggilan Zacharia, sudah tinggal di kota terbesar di Selandia Baru, Auckland, sejak tahun 2000. Ia bekerja di Rumah Sakit utama, yakni Auckland Hospital, di bidang logistik.

"Saya juga ikut antrian hari ini pas jam makan siang, saya harus antri selama 25 menit sebelum dilayani," kata Ririe dalam percakapan dengan wartawan ABC Indonesia Sastra Wijaya lewat telepon.

Menurutnya, antrian untuk membeli makanan ini terlihat panjang dimana-mana.

"Saya lihat antrian rata-rata 30-40 mobil dan memang ada teman saya yang mengatakan kalau lockdown dilonggarkan, maka yang pertama kali akan dilakukannya adalah makan KFC," kata Ririe sambil tertawa. Photo: Zacharia Najoan (dua dari kanan) bersama keluarganya sudah tinggal di Auckland (Selandia Baru) sejak tahun 2000. (Koleksi pribadi)

 

Bagi Ririe,'lockdown' selama beberapa pekan tidaklah mengubah kehidupannya. Ia masih bekerja setiap hari di rumah sakit, karena jenis pekerjaanya termasuk kategori 'essential workers', atau pekerja di sektor penting.

Menurutnya keputusan cepat Selandia Baru untuk menutup negaranya dari kedatangan warga dari luar negeri menjadi kunci sukses keberhasilan menangani virus corona sejauh ini.

"Di rumah sakit juga sudah mempersiapkan diri dengan baik sebelum lockdown, dan tidak ada kepanikan. Kebanyakan yang kena virus juga dikarantina di rumah masing-masing," tambah Ririe.

Lantas apa yang dilihat Ririe sebagai keberhasilan Selandia Baru dalam menangani virus corona dibandingkan dengan Indonesia?

"Menurut saya dari jauh, kalau semua warga disiplin dan nurut, pasti akan berhasil. Namun kalau melihat berita, seperti misalnya soal pulang kampung, dimana warga malah berusaha melakukan dengan diam-diam."

Ririe mengatakan di Selandia Baru warganya saling menjaga jarak dengan baik, ketika di jalan maupun saat belanja di supermarket.

"Di supermarket misalnya kalau ada yang mau beli buah, dan kemudian ada yang mendekat, orang itu akan memalingkan muka seperti meminta kita menjaga jarak. Kalau kita bergeser, dia akan mengucapkan terima kasih."

"Ada tindakan saling menghormati dan menjaga jarak masing-masing." Berharap ekonomi segera pulih

Satu keluarga asal Indonesia yang juga tinggal di Auckland adalah keluarga Henri dan Novy Christiaan yang sudah tinggal selama 12 tahun, bersama dua anaknya.

Mereka mengatakan pelonggaran 'lockdown' belum berpengaruh pada mereka.

Alasannya karena Novy bekerja di bidang distribusi barang yang masih merupakan bisnis 'essential', sementara suaminya kuliah S2 dan dua anak mereka yang ada di universitas juga belajar online

Novy mengatakan 'lockdown' ketat yang diberlakukan di Selandia Baru tersebut tidak mengganggu irama kehidupan selama ini, namun ia berharap pelonggaran akan terus dilakukan di masa depan, agar semuanya bisa kembali ke kehidupan normal.

"Kami masih bisa exercise, seperti jogging atau bersepeda sejauh kurang lebih 4 KM dr rumah, selama kami menjaga social distancing 2 meter dan tetap di kawasan pemukiman masing-masing," katanya.

"Mudah-mudahan semua bisa bekerja lagi, supaya bisa membantu roda perekonomian segera bergerak," katanya. Keluarga Indonesia alami gangguan bisnis Photo: Tedy Sutedja dan Monica Danubroto tinggal di Palmerston North di Selandia Baru. (Koleksi pribadi)

 

Di kota keempat terbesar di Selandia Baru setelah Auckland, Wellington, Christchurch, yakni kota Palmerston North, keluarga asal Indonesia Tedy Sutedja dan istrinya Monica Danubroto mengelola sebuah rumah bersejarah bernama 'Kaingahou Estate'.

Rumah bersejarah ini memiliki restoran, penginapan dan juga ruang pertemuan, baik di dalam maupun di luar ruangan, yang kadang digunakan untuk pesta pernikahan.

Sejak adanya 'lockdown' virus corona, Tedy Sutedja mengatakan bisnis mereka terhenti sama sekali selama beberapa pekan terakhir.

"Padahal kita untuk bnb [penginapan], misalnya sudah dipesan penuh sampai akhir tahun. Juga kita kadang menjadi tempat pertemuan bagi universitas maupun kegiatan bandara Palmerston, sekarang semuanya tidak ada lagi," kata Tedy kepada Sastra Wijaya dari ABC Indonesia.

Namun beruntungnya, menurut Tedy, sebelum 'lockdown', dua kamar penginapan milik mereka sudah ditempati oleh mahasiswa asal Papua yang sedang bersekolah, dan kemungkinan mahasiswa tersebut akan tinggal lama di sana.

"Saya belum tahu kapan keadaan bisa kembali normal lagi, karena mungkin kamar penginapan tidak akan terisi sampai 12-18 bulan ke depan," katanya lagi.

Tedy dan keluarganya mengelola rumah bersejarah tersebut sejak tahun 2016, enam tahun setelah mereka pindah dari Jakarta untuk tinggal di Selandia Baru.

Dengan adanya pelonggaran di Selandia Baru, apakah Tedy merasa lega?

"Masih belum lega, karena bagi kami tidak ada perubahan apa-apa. Restoran yang menyediakan makanan Indonesia belum bisa menerima tamu," kata Teddy yang mengaku belum ada pemasukan.

Sejak 'lockdown' tanggal 26 Maret lalu, pemerintah Selandia Baru memberikan bantuan ekonomi bagi bisnis yang terkena dampak corona tersebut, termasuk kepada Tedy.

"Pemerintah sudah menetapkan bisnis yang mengalami penurunan bisnis 30 persen boleh mengajukan diri. Saya sudah isi form online dan hari senin, uang sudah masuk ke rekening saya," kata Tedy.

Bantuan dari pemerintah akan berlangsung selama 3 bulan dan Tedy, yang masih bekerja sebagai 'support worker' bagi warga difabel, merasa optimistis bisa bertahan hidup.

"Kami sedang mencari usaha yang tidak ada hubungannya dengan layanan terhadap orang. Tapi nanti kalau sudah kepepet, mungkin kami harus pake uang tabungan dulu, bila keadaan belum membaik."

Simak berita-berita lainnya dari ABC Indonesia

BACA ARTIKEL LAINNYA... Warga Indonesia Korban Kekejaman Belanda Dapat Ganti Rugi Rp 168 juta

Berita Terkait