BACA JUGA: Karma Politik Golkar yang Faksional
Rumah jelas beda dengan hotel, karena para penginap di sebuah hotel adalah raja dan ratu, karena uang punya kuasaWalaupun bukan generalisasi, tetapi banyak rumah keluarga yang berfungsi bagai hotel
BACA JUGA: Merajut yang Terpecah-Belah
Coba saja di musim Lebaran ketika para pembantu mudik pulang kampung, maka seisi rumah kalang-kabut karena tak terbiasa dengan pekerjaan rumah, seperti memasak, membersihkan rumah, hingga cuci pakaianBahkan, ketika para pembantu sudah pulang mudik Lebaran pun, sang ayah sibuk dengan bisnisnya
BACA JUGA: Inspektur Gogol yang Palsu
Apalagi jika sang ibu juga menjadi selebritis, entah perancang mode atau ketua organisasi sosial, pastilah asyik di luar rumah dan kerap pulang larut malam.Anak-anak? Ada yang clubbing di kafe, atau asyik mengendarai motor besar sambil tur ke luar kotaPerkara urusan domestik, toh sudah ada beberapa orang pembantu rumahtangga.
Tak ayal, sang ayah berkeluh kesah"Saya memang kepala keluarga, tetapi seisi rumah sibuk dengan urusan masing-masing yang nyaris saling tak bersentuhan," katanya.
Kasihan keluarga iniPutra-putrinya punya ayah-ibu yang suksesTetapi seperti halnya suami-istri itu, keempat anak-anaknya seakan-akan tak punya rumahSeolah-olah semuanya menginap di sebuah hotel.
Sang ayah rupanya lalai dan alpa pada organisasi yang bernama rumahPadahal, sebagai pebisnis, ia sangat paham ilmu manajemen yang diterapkannya dengan maksimal di perusahaannya.
Rumah bukan sekadar tempat untuk pulangTapi sebuah organisasiSaban anggotanya dibebani tugas dan tanggung-jawab yang terintegrasi satu dengan lainnyaTak pelak, rumah dan penghuninya adalah sebuah miniatur dari organisasi yang bernama negara.
Andaikata si bapak kita yang malang tadi adalah seorang presiden, alangkah malangnya diaBayangkan, ia mempunyai banyak menteri, tetapi bagaimana jika para menteri seakan-akan tidak mempunyai kabinet? Tak ada koordinasi, kerjasama yang terpadu?
***
Dari anekdot rumah kontemporer itu, mari sejenak melayang ke masa-masa awal Orde BaruKala itu, tak dikenal Menteri Koordinator alias MenkoKoordinasi langsung dilakukan oleh Presiden Soeharto.
Di sebuah buku, Frans Seda berkisah bahwa pada era 1966-1968, ada Dewan Stabilisasi, terdiri dari Sub-dewan Moneter diketuai Menteri Keuangan, Sub-dewan Distribusi dipimpin Menteri Perdagangan dan Sub-dewan Produksi diketuai Menteri PertanianPara Ketua Sub-dewan melapor ke presiden sekali semingguMaklum, kala itu rupiah inflasi sampai 600 persen dan harga-harga barang melambung ke langit, sehingga muncullah Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat) dari mahasiswa, yang salah satunya menggugat agar harga-harga barang diturunkan.
Barulah pada 1969, kabinet dibagi dalam delapan bidangSaban menteri berkoordinasi dengan menteri terkaitKomunikasi lancar, termasuk dalam mencari solusiJika seorang menteri melapor ke presiden, dan solusinya menyangkut menteri lain, maka operasionalnya dikomunikasikan dengan menteri terkait tersebut.
Pokoknya, tidak seperti tragedi keluarga yang dideskripsikan tadiMisalkan saja ada kasus busung lapar di sebuah daerah, tak hanya Menteri Kesehatan yang pontang-panting, tapi juga Menteri Perekonomian, Kepala Bappenas, Kepala BPN, sertra Menteri Pertanian, dalam membuat solusi jangka darurat, menengah dan panjang.
Mereduksi masalah bahwa kasus kurang gizi adalah urusan Menteri Kesehatan, jelas cara pandang "berkacamata kuda"Menganggap itu hanya urusan otonomi daerah juga tak tepatBukankah, bencana tsunami di Aceh dan terakhir bencana gempa bumi di Sumatera Barat juga telah mendulang solidaritas nasional dan bahkan dunia?
Menteri adalah sumber informasi presiden terpercaya, meski dulu sempat terdengar istilah ABS (Asal Bapak Senang)Apalagi kini komunikasi sudah sangat canggih, sehingga aliran informasi ke presiden dan antar-menteri seharusnya mengalir dengan efektif dan efisien.
Dulu menteri sekaligus "penasehat" presidenKala bertemu saban Kamis di gedung Bank Indonesia, mereka menanggalkan baju menteriTidak ada ego sektoral departemenanJika antar-menteri berdebat, boleh saja secara internal kabinetTapi tidak sampai masuk ke suratkabar.
Juga saat bertemu presidenSuasana rileks, dan tak (ada) sungkanYang menang, jika pun ada perdebatan, adalah pikiran dan argumentasi, bukan departemennyaLagipula, mengapa harus ada ego? Urusan departemen toh bukan urusan pribadi, dan tak ada kaitannya dengan gengsi pribadi sang menteri.
Urusan satu-satunya adalah kepentingan bangsa, negara dan rakyatMengapa seseorang menjadi presiden, wakil presiden dan menteri, pun tak lepas dari kepentingan bangsa, negara dan rakyat.
Kontrol sosial kala itu pun tajam disuarakan oleh KAMI dan KAPPI, kaum mahasiswa, pemuda dan pelajar yang ikut mendirikan Orde BaruNamun presiden tak marah, juga saat mendengar kritik dari parlemen dan persSayang, belakangan Orde Baru menjadi sangat represif, dan muncullah stigma anti-pembangunan terhadap kekuatan berbau oposisi.
Eh, masih ada satu lagiDi awal Orde Baru, peranan tokoh berwibawa, berilmu, konsisten, tekun, jujur dan berdedikasi tinggi, juga sangat pentingKala itu, Menteri/Ketua Bappenas Wijoyo Nitisastro sangat disegani oleh para menteri, bahkan juga oleh presiden.
Wijoyo bukan pemimpin partai politikIa tak punya basis massa, seperti politikus yang kini tampaknya berduyun-duyun merapat ke duet SBY-BoedionoTapi dedikasi dan komitmennya telah menjalar ke segenap menteri di tubuh kabinet.
Yang repot, jika para menteri memanfaatkan kabinet untuk kepentingan parpol dari mana ia berasalJadilah kabinet bagaikan "pasar" dan para menteri "berbelanja" untuk kebutuhan partainya.
Anekdot yang diungkapkan ini, mungkin berguna bagi penyusunan kabinet yang ditunggu-tunggu publik dengan hati berdebar-debar(*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Polisi, KPK & Nikolai Gogol
Redaktur : Tim Redaksi