Karma Politik Golkar yang Faksional

Selasa, 13 Oktober 2009 – 10:29 WIB
SATU "penyakit" partai politik di Indonesia adalah berkecamuknya faksionalSikap kultural bangsa Indonesia, yang katanya penuh ramah-tamah dan cenderung guyup, tampaknya hanya pelajaran sosiologi yang tak lagi laku dalam praktek, apalagi di panggung politik

BACA JUGA: Merajut yang Terpecah-Belah

"Penyakit" ini bukan khas Golkar, tetapi setidaknya paling anyar kembali diperlihatkan partai yang pernah berkuasa selama lebih 30 tahun di Indonesia itu.

Menyusul usainya Munas Golkar di Pekanbaru, dan tersusunnya pengurus DPP Partai Golkar untuk lima tahun ke depan, mantan kandidat Ketua Umum Partai Golkar Yuddy Chrisnandi mengaku sedang mempertimbangkan untuk keluar dari partai berlambang beringin yang kini dipimpin oleh Aburizal Bakrie tersebut
Bahkan, ia menyebut akan bergabung dengan partai yang lebih punya prospek ke depan

BACA JUGA: Inspektur Gogol yang Palsu

Begitulah kata Yuddy, seperti ditulis JPNN.com, Senin (12/10).

Apa yang sangat dia sesalkan karena Munas tersebut, adalah bahwa ternyata telah menjadi ajang balas dendam Akbar Tandjung terhadap Jusuf Kalla
Mana pula (Munas) tak diawali dengan penyampian visi dan misi para kandidat, suatu hal yang penting untuk mengetahui hendak dibawa kemana Golkar ini ke depan

BACA JUGA: Polisi, KPK & Nikolai Gogol

"Akhirnya Munas terjebak dengan arena balas dendam Akbar Tandjung terhadap Jusuf Kalla," tegas Yuddy.

Apa sebenarnya yang terjadi di tubuh Golkar? Apakah ini semacam "karma politik" yang berulang berkali-kali di tubuh partai beringin ini? "Karma" di sini dalam tanda petik dan tentu tak ada hubungannya dengan karma, maaf, dalam pengertian religi tertentu.

Kita ingat, bahkan Akbar Tandjung pun "dikeroyok" habis-habisan dalam Munaslub Golkar 2004 di DenpasarKelompok Pembaruan Golkar, kala itu, yang dimotori oleh Fahmi Idris, Muladi dan Burhanudin Napitupulu, rupanya telah "merapat" ke kandidat Ketua Umum Jusuf "JK" Kalla yang berpredikat sebagai WapresTak ayal, Akbar terjegal dan JK melaju ke kursi nomor wahid Golkar.

Padahal saat itu, pidato petanggungan-jawab Akbar disambut dengan tepuk tangan gegap-gempitaMaklum, Akbar telah membawa Golkar menjadi pemenang Pemilu 2004Akbar kalah karena, syahdan, orang-orang Golkar sudah terbiasa duduk dalam pemerintahan selama 30 tahun lebih era Orde Baru, dan hal itu hanya dimungkinkan jika mendukung JK yang Wapres.

Jika Akbar kemudian juga menggusur rivalnya, Edi Sudrajat cs di Munaslub 1998, maka JK pun menggeser orang-orang Akbar dalam susunan DPP periode 2004-2009Sejarah berulang lagiJika Edi Sudrajat mendirikan partai baru, yakni PKP, maka kini Yuddy Chrisnandi hendak hengkang ke partai lain, yang intinya sama, yakni membonsai Golkar.

Gusur-mengusur kompetitor kandidat ketua umum, tampaknya juga dilakukan oleh Aburizal, Ketua Umum terpilih dalam Munas Pekanbaru terhadap Surya Paloh dan pendukungnyaBelum diketahui, apakah Surya Paloh akan mengikuti jejak langkah Yuddy untuk hengkang dari Golkar, mendirikan partai baru atau bergabung dengan partai lain.

Perbedaan kubu Aburizal dan Surya juga mengulangi perbedaan kubu Akbar dan lawan-lawannya pada Munaslub DenpasarJika Akbar bertahan dengan gagasannya tentang Koalisi Kebangsaan (bersama PDIP) hendak beroposisi dengan pemerintahan SBY-JK, lawan-lawannya malah merapat ke tubuh kekuasaan.

***
Dari beberapa peristiwa monumental itu, yakni Munaslub 1998, Munaslub Denpasar 2004 dan Munas Pekanbaru 2009, rasanya klop-lah untuk mengatakan "karma politik" Golkar yang faksional tersebut.

Jika ditilik-tilik kultur faksional yang tak lagi guyup tersebut, bermula dari konflik elit Golkar yang berniat menjadi ketua umumSekaligus juga perbedaan dalam cara memandang masa depan Golkar.

Jika satu pihak ingin merapat ke tubuh kekuasaan, lainnya berseberangan pulaKonflik elit ini yang kemudian disosialisasikan ke DPD I dan II, dengan cara-cara yang unikHatta beredar kabar adanya "money politics", meski sulit membuktikannya.

AnehHanya karena berseberangan pemikiran, kubu-kubu itu berkelanjutan setelah Munas berakhirJika faksi-faksi itu hanya sekadar dinamika partai menjelang Munas, sebetulnya bisa dipahamiSebutlah, sebagai ikhtiar maksimal dari masing-masing kandidat untuk merebut posisi puncakNamun mengapa faksi-faksi itu seolah menjadi tujuan, dan bukan sekadar alat untuk mencapai tujuan?

Tak pelak, inilah "karma politik" Golkar yang berbenih dan akhirnya subur setelah era reformasi 1998 silam.

Seperti diketahui, meskipun Golkar tidak ikut "tumbang" bersama rezim Orde Baru yang dipimpin Soeharto, tetapi partai ini telah kehilangan "taji"-nyaApa yang disebut jalur ABG (ABRI, Birokrasi dan Golkar) telah hancur berderai dengan datangnya era reformasi.

Tak heran jika Golkar yang tiba-tiba bebas, tak lagi punya pelindung, sehingga dengan mudah terombang-ambing dan terserah kepada siapa yang diuntungkan oleh iklim dan kepentingan politik yang berkembang.

Mungkin, itu sebabnya Golkar setelah era reformasi mencoba merapat ke dalam pemerintahanSetidaknya bisa bergantung kepada "bapak angkat", sebutlah Presiden Yudhoyono, yang justru punya partai sendiri yakni Partai Demokrat.

Tapi sayangnya JK hanya seorang Wapres, dan Aburizal hanya seorang Menko Kesra yang belum tentu duduk di kabinet baruKedudukan JK dan Aburizal tentu saja tak sekokoh kekuasaan Soeharto sebagai presiden, yang bahkan di-back up oleh semua departemen dan ABRIYudhoyono pun tentu lebih mementingkan Partai Demokrat dibanding Golkar.

Repotnya, karma faksional tersebut akan merembes ke berbagai DPD I dan DPD IIDi Sumatera Utara misalnya, kepemimpinan Ali Umri sebagai Ketua Umum DPD Partai Golkar Sumatera Utara mulai didongkel, karena ia adalah pendukung Surya Paloh, rival AburizalGejala yang sama menjalar ke berbagai DPD II kabupaten dan kota di Sumatera Utara.

Jangan-jangan gejala serupa akan bergaung di seantero tanah airHal ini mengingatkan kita, untuk apa sebenarnya orang mendirikan partai politik? Untuk kepentingan elit tertentu dan para pendukungnya, atau untuk kepentingan kedaulatan rakyat yang terjelma dalam partai, dan akhirnya ke eksekutif dan legislatif?

Apa boleh buat, sejak masa 1908, berdirinya berbagai organisasi dan partai di Indonesia memang gemar pecah-belahSerikat Islam (SI) terbelah menjadi SI Merah dan PutihPNI juga pecah menjadi PNI dan PNI (Pendidikan Nasional Indonesia)Partai Sosialis juga terbelah dua.

Sikap faksional itu juga menimpa Masyumi dengan keluarnya NUBahkan menular ke PPP di saat sebagian tokohnya mendirikan PBR (Partai Bintang Reformasi)Beberapa partai nasionalis juga berdiri dan keluar dari PDIPPKB juga pecahAda PKNU atau juga pengikut Gus Dur yang tak mendukung kepemimpinan Muhaimin Iskandar.

Inikah karma politik? EntahlahTetapi, nasib sebuah partai politik sudah pasti lebih ditentukan para tokoh, kader dan massanyaBarangkali, ego kelompok dan paradigma yang perlu diredakan, dan melihat kepentingan partai yang lebih besar.

Cobalah "berdamai" dengan diri sendiri, seraya menegosiasikan berbagai pemikiran dan kehendak dengan sesama teman separtai politikMusuh kita bersama, Belanda, sudah jauh! (*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Terkenang Upi dan Artidjo


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler