Polisi, KPK & Nikolai Gogol

Jumat, 18 September 2009 – 17:42 WIB
SAYA terbahak-bahak ketika teringat karya Nikolai Gogol, pengarang besar Rusia yang menulis naskah drama "Inspektur Jenderal"Nikolai telah membuka kedok para pejabat koruptor di sebuah kota kecil di zaman Tsar, di awal abad ke-19

BACA JUGA: Terkenang Upi dan Artidjo

Para pejabat lokal itu adalah Walikota, Kadin Sosial, Kadin Kesehatan, Kadin Pendidikan dan Pengajaran, hakim dan kepala pos daerah.

Tatkala mengetahui sang inspektur menginap di sebuah hotel kumuh, mereka menduga ia sedang menyaru dalam sebuah "sidak" (inspeksi mendadak), tentu saja dengan tugas rahasia membongkar kasus korupsi di kota itu
Tak ayal, mereka menyuap sang inspektur, bahkan dipersilakan menginap di rumah walikota

BACA JUGA: Interupsi bagi Pencari Kekuasan

Berbagai fasilitas terbaik diberikan, termasuk uang berkoper-koper.

Itu sebuah fiksi saja
Kalau di Indonesia, saya kira korupsi mestinya modar

BACA JUGA: Ngomong Kredit Sambil Puasa

Ada polisi, KPK dan jaksa, para penyelidik dan penyidikJaksa dan KPK, dua penuntut pula di meja hijauHakim di pengadilan negeri dan Peradilan Tipikor menyidangkannya, dan vonis pun jatuhYang bersalah masuk bui dan uang negara diselamatkan, jika perlu dengan menyita harta hasil korupsi sang koruptor.

Tapi kok banyak sekali yang menyidik dan menuntut? Kita ingat pelajaran manajemen, bahwa jika untuk membersihkan sebuah meja dilakukan dua, apalagi tiga orang, ada harapan mejanya tidak akan bersih, tetapi tetap saja kotor.

Kita terbayang betapa ketiga tangan si pembersih akan lalu-lalang, dari kanan ke kiri, atau kiri ke kanan di atas mejaBesar kemunkinan bahwa akan ada tangan yang tabrakan alias beradu di meja ituSekali-dua mungkin saling memaafkan.

Tapi jika keseringan, bisa-bisa sesama pembersih mulai keberatanLama-lama bisa saling menyalahkan dan akhirnya berkelahi, sehingga, astaga, meja tetap saja kotor.

Dalam kasus ini ada rivalitasPersainganTentu saja tidak sama dengan kasus ekonomi, bahwa pasar kompetitif akan menimbulkan pelayanan dan produk yang bermutuDalam hal menindak koruptor, sesama penindak tak mustahil beranjak ke medan lain, yakni saling menindak pula.

Penindak dan pembersih memang harus bersihMana mungkin yang kotor bisa membersihkan, bukan? Yang kotor malah sangat mungkin mengotori yang kotor semakin kotor, atau mengotori yang tadinya bersih.

Syahdan, KPK lahir karena para penindak dan pembersih yang ada belum sebagaimana diharapkan - bahkan agak mengecewakanSetidaknya demikian yang tercantum dalam konsiderans UU tentang KPKTapi setelah KPK bereksistensi beberapa tahun terakhir ini, muncullah rivalitas antar-sesama penindak dan pembersih.

Barangkali kata "rivalitas" itu pun masih bisa diperdebatkanTapi ketika KPK membidik oknum jaksa dalam kasus Arthalita dan Jaksa Oerip, dan kini seorang perwira polisi pula, sebetulnya jamak sajaSejamak jika polisi pun menetapkan dua pimpinan KPK menjadi terdakwa penyalahgunaan wewenang yang sekarang ramai didiskusikan.

Harus diverifikasi bahwa kasus ini bukan kasus lembagaTapi personal dari lembaga-lembaga itu, yang jika memang terbukti berbuat pidana, maka wajar saja harus menuai ganjaranSemua orang sama di mata hukum, bukan? Yang penting tidak mengada-adaKuat dasar hukumnya, serta bukan pepesan kosongSebab jika terbukti tak bersalah, di ujung menanti vonis bebas.

Yang menjadi persoalan, jumlah personal di KPK terbatasJika dua pimpinan KPK kini menjadi "tersangka" menyusul status Antasari dalam kasus pembunuhan Nasruddin, sekarang pimpinan KPK tinggal dua orangSebetulnya, tak dapat dikatakan bahwa KPK telah dibonsai jika mekanisme pergantian pimpinan KPK bisa berjalan tanpa ada masa vakum yang berkepanjangan.

Kontinuitas kepemimpinan KPK itu yang harus berjalan tepat waktuToh, musuh bersama antar lembaga itu adalah para koruptor, yang juga didukung seluruh rakyat Indonesia.

Yang mengganjal adalah RUU Peradilan Tipikor yang sedang dibahas di DPRMisalnya, apakah KPK tetap berperan sebagai penuntut, atau dikembalikan sepenuhnya ke pangkuan kejaksaan? Tampaknya suara di parlemen cenderung memilih yang terakhir ini.

Padahal selama ini beberapa prestasi dan kinerja KPK sudah lumayan, meski kita tak boleh puasNyaris tidak ada kasus yang ditangani KPK yang terkena SP3 atau yang bebas di persidanganSekali anda ditangani KPK, boleh dikata bersiaplah masuk buiMungkin, karena setiap perkara yang ditangani KPK benar-benar teruji telah didukung bukti yang sangat kuat akan terjadinya perbuatan korupsi.

Apakah KPK dianggap "mengusik" beberapa anggota DPR, sekaligus oknum tokoh berbagai partai politik dan telah menggiringnya ke meja hijau, dan sudah banyak yang divonis? Apalagi KPK justru lahir dari UU yang disahkan parlemen dan pemerintah, tapi malah mengusik politikus di wilayah kekuasaan, sehingga dinilai "lupa kacang pada kulitnya", atau malah bagai legenda "si Malin Kundang"?

Saya berharap hal itu tak benarKarena yang ditangani KPK justru bukan lembaganya, tetapi personalnyaLembaganya tetap utuh dan berwibawa, dan lagipula, mana mungkin sebuah lembaga melakukan korupsiKoruptor selalu menyangkut orang, bukan institusi!

Memang, di negara-negara yang sedang memantapkan jati diri, hubungan antara oknum dan lembaga kerap biasKritik media massa kepada oknum kadang dimaknai sebagai kritik kepada lembagaPadahal, kritik itu, termasuk penindakan korupsi, sangat diperlukan agar semua lembaga-lembaga yang ada steril dari perbuatan korupsi yang merugikan publik itu.

Dalam kasus terakhir ini, yang oleh banyak berita media menjulukinya sebagai rivalitas antara "cicak dan buaya", hendaklah dipastikan kasusnya murni kasus personalBukan antar lembagaMasing-masing lembaga tak perlu, maaf, kebakaran jenggot jika ada personilnya yang terbukti bersalah.

Kembali ke pokok soal, apakah kemudian hak penuntutan dikembalikan kepada kejaksaan, dan otomatis mencabut hak itu dari KPK? Jawabannya mudah sajaJika konsiderans lahirnya KPK yang menegaskan adanya kekecewaan atau kekurangpuasan terhadap kinerja kejaksaan, sekarang dinilai sudah berubah dan bahkan sudah mantap, well, silakan sajaToh di seluruh dunia, hak menuntut memang berada di tangan kejaksaan.

Tiba masanya jajaran kejaksaan tepo seliroTanya diri sendiriBenarkah tak lagi mengecewakan? Evaluasi juga kinerja kejaksaan di seluruh tanah airJika perlu, lakukan jajak pendapat yang ilmiah, independen, apakah benar-benar kepercayaan publik sudah pulih kepada cita dan kinerja kejaksaan? Jika jawabannya "iya", barangkali KPK pun tak lagi perlu adaKPK bahkan cukup sampai di sini saja.

Supaya komprehensif, perlu pula jajak pendapat yang sama dilakukan terhadap kinerja jajaran kepolisian dan pengadilanJika hasilnya sama memuaskan, tak pelak, KPK memang pantas dibubarkanBukan karena KPK tak berguna, melainkan semata-mata demi untuk menjaga tidak terjadinya overlapping dalam pemberantasan korupsi.

Andaikan semua itu terjadi, maksudnya, kinerja polisi, jaksa dan hakim sudah dipercayai publik, jangan-jangan semua itu tercipta karena keberadaan KPK selama ini yang memotivasi dan melecut lembaga penegak hukum lainnyaTapi, benarkah demikian? Kita memang selalu belajar untuk percaya, walau sejak lama kita sangat sukar untuk percaya.

Adapun tentang sang inspektur di awal tulisan ini, ternyata adalah inspektur palsuKedoknya terbongkar ketika surat yang ditujukan kepada temannya di kota, dibuka oleh kepala kantor pos yang diam-diam merasa curigaDan benarIa bukan inspektur jenderal, melainkan cuma seorang pemuda berandalan biasa.

Kota kecil itu gempar lagiMereka merasa tertipu mentah-mentahDi tengah kegemparan itu, mendadak datang berita lain: inspektur jenderal yang asli, yang mereka tunggu-tunggu itu, kini sudah tibaIa tinggal di penginapan"Gawat, gawat!" seru walikotaNada suaranya panik! (*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Minke Baru Antitesis Neoliberal


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler