Serial Gerakan Tata Ruang dan Ekonomi Hijau

Kabupaten Bogor dan Tantangan Kualitas Rencana Tata Ruang

Oleh: Anton Doni Dihen

Selasa, 05 Oktober 2021 – 08:05 WIB
Direktur Teras Hijau Indonesia sekaligus Penggagas Gerakan Tata Ruang dan Ekonomi Hijau Anton Doni Dihen. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com - Kabupaten Bogor adalah contoh yang baik dalam proses pembelajaran dan peningkatan kapasitas ketataruangan.

Letaknya yang langsung berdampingan dengan ibu kota negara, DKI Jakarta, sudah merupakan comparative advantage tersendiri, setara Kota Depok, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, dan Kota Tangerang. Lokasi, yang berdekatan dengan pasar besar, tidak dimiliki oleh banyak daerah.

BACA JUGA: Rencana Tata Ruang, Instrumen Strategis Cipta Kerja

Pasar Jakarta yang luas, dengan jumlah penduduk 10,56 juta jiwa (BPS, Sensus Penduduk 2020), ditambah pasar lokal Kabupaten Bogor sendiri, dengan jumlah penduduk 5.427.068 jiwa (BPS, Sensus Penduduk 2020), yang merupakan kabupaten dengan jumlah penduduk terbanyak se-Provinsi Jawa Barat dan se-Indonesia, tentu sangat menantang produktivitas daerah ini. Berbagai produk barang dan jasa dapat ditawarkan tanpa ada hambatan jarak yang berarti.

Apalagi dengan sistem jaringan transportasi yang makin tertata di bawah payung Kawasan Strategis Nasional Jabodetabekpunjur. Ada tantangan untuk melengkapi dan mengembangkan sistem jaringan transportasi dan jaringan prasarana lainnya dalam tata ruang provinsi dan kabupaten, tetapi setidaknya struktur-struktur skala besar sudah dibangun untuk disambungkan dengan struktur-struktur pada skala yang lebih kecil.

BACA JUGA: NDC, SDGs, dan Paradigma Baru Tata Ruang

Selain lokasi, pasar, dan konektivitas ke pasar, potensi alam yang menyediakan jasa kepariwisataan juga merupakan potensi besar yang sudah terbukti dan dapat terus dioptimalkan kemanfaatannya. Pendayagunaan potensi ini bahkan sudah dimaterialkan dalam pertumbuhan ekonomi sektor perdagangan dan jasa yang menyediakan lapangan kerja terbanyak di Kabupaten Bogor (sektor perdagangan dan jasa 61%, sektor industri 29%, dan sektor pertanian dan ekstraktif lain 10%).

Namun demikian, hampir sebanding dengan berbagai comparative advantages tersebut, tidak kurang pula persoalan yang dihadapi. Kerawanan alam berbentuk banjir dan longsor, demikian pula potensi bencana alam geologis seperti letusan gunung berapi dan pergeseran tanah, membatasi ruang manuver dalam meningkatkan secara signifikan produktivitas daerah ini.

BACA JUGA: Ditjen Pengadaan Tanah Lahirkan Terobosan Baru Pengelolaan Tata Ruang

Potensi longsor dan banjir meliputi wilayah yang cukup luas. Demikian pula potensi pergeseran tanah. Dengan lanskap topografi yang curam di beberapa wilayah, yang diliputi oleh 6 gunung, ada tantangan tersendiri untuk mengelola secara maksimal aspek lingkungan dalam rencana dan perwujudan rencana tata ruang. Apalagi Kabupaten Bogor adalah wilayah hulu dan wilayah tengah beberapa daerah aliran sungai (DAS), termasuk DAS Ciliwung, yang sangat signifikan menentukan nasib Jakarta.

Tantangannya adalah, tentu saja, memaksimalkan dua aspek kepentingan dalam rencana tata ruang: produktivitas dan sustainabilitas secara bersamaan, secara kreatif, tanpa trade-off yang terlalu besar.

Kepentingan lingkungan adalah keharusan dalam terang beberapa persoalan di atas. Dan produktivitas adalah kepentingan yang tidak kurang kedudukan serta arti pentingnya.

Kabupaten Bogor, sebagaimana banyak kabupaten lain di Jawa Barat, di Jawa, dan banyak daerah di Indonesia, masih diliputi persoalan kemiskinan dan pengangguran. Tingkat kemiskinan pada Tahun 2020 yang mencapai 9,26%, yang setara dengan sekitar 500 ribu orang, bukan angka yang sedikit. Demikian pula angka pengangguran, yang mencapai 12,96 persen di Tahun 2020, atau setara dengan 320.000 orang.  Rencana Tata Ruang harus mampu berdialog dan memberi jawaban terhadap persoalan-persoalan ini.

Apakah RTRW yang sudah ada, yang tertuang dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 11 Tahun 2016 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor Tahun 2016-2036, sudah menjawab dua kepentingan ini (produktivitas dan sustainabilitas) secara maksimal dan seimbang? Bagaimana memastikan bahwa turunannya dalam RDTR (yang belum tersedia) mampu menyediakan jawaban tata ruang yang berkualitas, informatif, jelas, dan directive untuk berbagai kepentingan terkait, termasuk di dalamnya mobilisasi investasi dan kemudahan perizinan?

Pertama, pada tingkat tujuan, sebagaimana arahan yang bersumber dari regulasi di tingkat atas mengenai cakupan RTRW, terlihat bahwa RTRW Kabupaten Bogor 2016-2036 sudah merumuskan tujuan, kebijakan, dan strategi dengan baik. Dan rumusan tujuan, kebijakan, dan strategi yang dirumuskan, secara standar relatif menyentuh kepentingan produktivitas dan keberlanjutan.

Tujuan yang dirumuskan dalam RTRW Kabupaten Bogor 2016-2036 adalah “mewujudkan tata ruang wilayah yang berkualitas, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan yang bertumpu pada kegiatan pariwisata, permukiman, industri dan pertanian dalam rangka mendorong perkembangan wilayah yang merata dan berdaya saing menuju Kabupaten Bogor termaju dan sejahtera.” Kemudian tujuan ini diturunkan dalam 7 poin kebijakan, dan setiap poin kebijakan diturunkan dalam sejumlah poin strategi.

Sebagaimana kriteria yang biasa digunakan dalam menilai derivasi rumusan tujuan ke dalam rumusan kebijakan dan strategi adalah konsistensi, sepintas kita melihat bahwa rumusan kebijakan dan strategi cukup konsisten dengan rumusan tujuan.

Persoalan yang dapat dikemukakan adalah absennya arahan dari kebijakan penataan ruang di tingkat atas untuk memasukkan rumusan tujuan yang lebih terkuantifikasi dan terukur, terutama berkaitan dengan produktivitas dan keberlanjutan. Ketiadaan arahan yang terkuantifikasi dan terukur ini, membuat produk kebijakan RTRW menjadi kurang fokus dan bergereget. Jika target-target terkuantifikasi dan terukur sudah dirumuskan di tingkat tujuan, maka kemudian kita akan lebih mudah membawanya ke dalam target-target di tingkat kebijakan dan strategi.

Di tengah ketiadaan arahan yang terkuantifikasi dan terukur tersebut, dalam kerangka revisi RTRW yang mungkin akan dilakukan, ada baiknya diambil inisiatif untuk memasukkan target-target produktivitas dan keberlanjutan yang relevan dengan target-target NDC (nationally determined commitment) dalam Perjanjian Paris -dan target-target SDGs (sustainable development goals).

Kedua, dalam kerangka mendorong agar rencana tata ruang mempunyai watak produktivitas dan keberlanjutan yang kuat, dengan target-target yang terkuantifikasi dan terukur, maka ada keperluan untuk koordinasi lintas sektor dan lintas tingkatan pemerintahan yang baik.

Kita tahu bahwa kehutanan mempunyai dunia otoritasnya sendiri yang relatif terpisah dari dunia otoritas pemerintah daerah kabupaten. Dengan keterpisahan seperti itu, dan dalam situasi tanpa koordinasi yang baik, sulit bagi pemerintah daerah, dalam hal ini Pemda Kabupaten Bogor, untuk menetapkan dengan cermat target-target sustainabilitas aspek lingkungan: berapa target emisi dan pengurangan emisi Kabupaten Bogor, berapa sumbangsih kawasan lindung terhadap target pengurangan emisi overall Kabupaten Bogor, berapa sumbangsih kawasan peruntukan industri terhadap target pengurangan emisi overall Kabupaten Bogor, dan seterusnya.

Target-target sustainabilitas overall Kabupaten yang ditetapkan dalam koordinasi yang baik seperti itu akan dapat menjadi dasar yang kuat bagi berbagai keputusan strategis tata ruang lain. Antara lain kebijakan alih fungsi lahan: berapa porsi alih fungsi lahan yang dapat dialokasikan untuk peruntukan industri, berapa porsi alih fungsi lahan yang dapat dialokasikan untuk perumahan, dan seterusnya. Atau kebijakan arahan pengendalian: seberapa ketat pengendalian sektor industri, seberapa ketat pengendalian sektor perumahan, seberapa ketat pengendalian sektor pariwisata, dan seterusnya.

Ketiga, berkaitan dengan gagasan penargetan secara terkuantifikasi dan terukur, harus dikatakan bahwa hal ini bukan sesuatu yang terbiasa dalam dunia kebijakan di tingkat bawah. Pada tingkat atas, berbagai target sering ditetapkan, tanpa usaha serius untuk dialog iteratif dan deployment ke tingkat lebih bawah, sehingga target-target yang ditetapkan sering melayang-layang. Deployment sektoral dilakukan pada tingkat tertentu, tetapi jarang ada deployment kewilayahan. Sebaiknya, ada terobosan untuk memulai melakukan hal ini, dan Kabupaten Bogor mempunyai peluang untuk melakukan terobosan, baik karena kesempatan revisi lima tahunan yang bertepatan dengan waktu sekarang maupun karena perubahan regulasi di tingkat atas yang menuntut penyesuaian RTRW Kabupaten Bogor 2016-2036 yang sementara ini berlaku.

Strategic planning dan logical framework adalah ilmu dan metodologi dalam dunia manajemen yang sangat menekankan arti penting penargetan yang terkuantifikasi dan terukur, dengan jargon SMART (specific, measurable, achievable, relevant, time-based). Strategic planning dan logical framework juga mengajarkan kita untuk tekun menjaga konsistensi, tidak hanya di tingkat target tetapi juga di tingkat aksi.

Birokrasi Indonesia tentu sudah menerapkan ilmu dan metode ini, untuk perencanaan dalam rentang waktu 5 tahunan atau perencanaan jangka menengah. Dengan basis data dan kemampuan estimasi di atas dasar analisis yang lebih baik, cara kerja strategic planning dan logical framework bukan tidak mungkin kita terapkan untuk jangka waktu 20 tahun sebagai cakupan jangka waktu RTRW.

Keempat, dalam kerangka paradigma baru tata ruang yang menjaga keseimbangan sekaligus mengoptimalkan capaian pada masing-masing aras yakni aras produktivitas dan aras keberlanjutan, maka penetapan satuan-satuan wilayah perencanaan yang diprioritaskan penyusunan RDTR-nya perlu mempertimbangkan aspek produktivitas dan keberlanjutan.

Menjadi wajar dan normal jika sebagai pusat pemerintahan, SWP Cibinong yang meliputi Kecamatan Cibinong, Kecamatan Citeureup, Kecamatan Sukaraja, Kecamatan Bojong Gede, Kecamatan Babakan Madang, dan Kecamatan Tajur Halang menjadi prioritas dalam penyusunan RDTR. Kecamatan-kecamatan yang menjadi bagian dari Wilayah Pengembangan Tengah ini, sebagaimana arahan fungsinya, akan dikembangkan sebagai pusat pemerintahan dan penelitian, pemukiman perkotaan, perdagangan dan jasa, pelayanan umum dan sosial,dan industri ramah lingkungan. 

SWP Ciawi yang meliputi Kecamatan Ciawi, Kecamatan Cisarua, dan Kecamatan Megamendung tentu pula wajar untuk mendapat prioritas. Sebagai kabupaten yang mengandalkan pariwisata sebagai salah satu prime mover perekonomian, satuan wilayah perencanaan ini sangat strategis. Perkembangannya yang dikuatirkan melampui daya dukung lingkungan hidup tentu membuat SWP ini penting untuk diprioritaskan penanganan RDTR-nya.

Selain 2 SWP di atas, yang tampaknya sedang menjadi prioritas Pemda Kabupaten Bogor, SWP Cileungsi yang meliputi Kecamatan Cileungsi, Kecamatan Gunung Putri, dan Kecamatan Klapanunggal perlu dipertimbangkan sebagai bagian dari prioritas. Perkembangan aglomerasi industri di wilayah ini tentu perlu diselaraskan dengan pola penggunaan lahan lain dan dipastikan keberlanjutannya.

Demikian pula SWP Cigudeg yang meliputi Kecamatan Cigudeg, Kecamatan Nanggung, dan Kecamatan Leuwisadeng, dan SWP Jasinga yang meliputi Kecamatan Jasinga dan Kecamatan Sukaraja. Kedua SWP ini adalah bagian dari wilayah Barat yang padat kerawanan: rawan banjir, rawan longsor, rawan gerakan tanah tinggi; dengan keberadaan hutan lindung dan hutan konservasi, dan tingkat kemiskinan tinggi; dan karena itu membutuhkan penanganan secara tata ruang. Kualitas keberlanjutan rencana tata ruang semestinya ditentukan pula oleh perhatian terhadap wilayah-wilayah kerawanan tinggi seperti ini.

Dan terakhir, kelima, wahana pemastian kualitas keberlanjutan. Adalah baik jika proses penyusunan RDTR dilengkapi dengan KLHS yang berkualitas dengan partisipasi publik tinggi. Kabupaten Bogor berdekatan dengan sumber daya intelektual yang luar biasa, yang memungkinkan berlangsungnya proses penyusunan RDTR dan penyelenggaraan KLHS yang berkualitas. Lembaga-lembaga pendidikan dan penelitian terbaik berada dalam jarak yang sangat dekat. Kita berharap, di atas prinsip tata kelola yang baik, partisipasi lembaga-lembaga di luar pemerintahan ini dapat dioptimalkan.

Akhirnya, sebagai daerah dengan posisi yang sangat strategis, dan dengan kelimpahan sumber daya manusia yang tersedia, Kabupaten Bogor kita harapkan dapat mendemonstrasikan kecepatan dan kualitas yang mumpuni dalam menyediakan RTRW dan RDTR, sekaligus menjadi contoh terobosan dalam menghasilkan produk rencana tata ruang dengan bobot keberlanjutan yang tinggi. Dengan capaian seperti itu, barulah kita boleh berharap atas percepatan penanganan kebutuhan RDTR secara nasional, yang meliputi daerah-daerah lain yang lebih miskin sumber daya untuk pengerjaannya.(***)

 

Penulis adalah Direktur Teras Hijau Indonesia sekaligus Penggagas Gerakan Tata Ruang dan Ekonomi Hijau


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler