AJDABIYA - Pertanyaan besar kini pantas diajukan kepada pasukan koalisi: Apa sebenarnya prioritas mereka, melindungi warga sipil atau menjatuhkan rezim Muammar KadhafiItu muncul setelah kemarin (28/3) pasukan yang dimotori Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis tersebut memutuskan untuk mengambil langkah kontroversial: menggempur Sirte
BACA JUGA: Abbas dan Hamas Bahas Persatuan
Langkah itu kontroversial karena sejak Revolusi Libya mulai meletus 15 Februari lalu, tak pernah ada gerakan anti-Kadhafi di sana
BACA JUGA: Evakuasi Korban Gempa Myanmar Terkendala
Otomatis pula, tak ada pembantaian warga sipil di kota yang pernah diusulkan oleh Kadhafi sebagai ibu kota Libya tersebut
BACA JUGA: Demonstran Bakar Gedung Pemerintah
Dari perspektif tersebut, koalisi tak punya alasan untuk menyerang kota berpenduduk sekitar 140 ribu jiwa ituNamun, koalisi di bawah kendali NATO toh tetap menggempur.
Seperti dilaporkan oleh BBC, berdasar kesaksian sejumlah jurnalis dari berbagai negara di Sirte, seharian kemarin jet tempur NATO bermanuver di langit kota pelabuhan yang terletak di antara ibu kota Tripoli di barat dan "ibu kota" pemberontak Benghazi di timur itu.
Setidaknya, sembilan ledakan besar terdengarKlaim pemerintah Libya, serangan tersebut mengakibatkan tiga warga sipil di Sirte tewasNamun, sulit mengonfirmasi kabar itu secara independen
Serangan dari udara tersebut jelas mempermudah gerak pasukan pemberontak yang selama dua hari sebelumnya merebut empat kota di wilayah timur Libya, yaitu Ajdabiya, Uqayla, Ras Lanuf, dan Brega"Sirte sudah jatuh ke tangan kami," klaim seorang juru bicara pemberontak kepada BBC
Namun, klaim itu diragukanSebab, kesaksian sejumlah jurnalis, sebagaimana dilansir BBC, Reuters, dan The Guardian, mengatakan bahwa Sirte masih dikontrol rezim KadhafiKabarnya, gerak pasukan pemberontak terhenti di kota kecil Bin Jawad, 140 kilometer di sebelah timur Sirte, yang kemarin mereka kuasai
Meski demikian, kalau koalisi -dalam hal ini lewat NATO- tetap meneruskan serangan udara ke Sirte, kota yang terletak 450 kilometer ke arah timur dari Tripoli itu tinggal menunggu waktu untuk lepas dari genggaman Kadhafi
Jika itu benar terjadi, praktis Kadhafi semakin tersudut di TripoliSebab, kota berikutnya dari Sirte, Misrata, juga sejak lama dikuasai pemberontak kendati pasukan pemerintah tetap memberikan perlawanan sengit
Bahkan, versi pemberontak, dalam serbuan terakhir pasukan pemerintah ke Misrata kemarin, delapan orang tewas dan 26 lainnya terlukaTelevisi pemerintah juga menyatakan bahwa Misrata telah "aman" dan kehidupan di kota terbesar ketiga di Libya itu telah kembali normal
"Pasukan pemerintah telah menangkapi geng-geng teroris," tutur seorang juru bicara pasukan Kadhafi, seperti dikutip Reuters dari televisi pemerintah
Ada pula analisis dari New York Times yang menyebutkan bahwa Kadhafi memang memilih mengonsentrasikan pasukan untuk mati-matian mempertahankan diriTripoli dan kota-kota kecil di sekitarnya di wilayah barat, seperti Zuwarah, Zuwaiyah, dan Nalut, memang masih dikontrol pasukan pemerintah
Namun, kalau Sirte jatuh dan serbuan udara berlanjut -katakanlah selama tiga bulan seperti klaim NATO-, Kadhafi sulit bertahanKarena itu, Qatar kemarin menjadi negara pertama yang mengakui kubu pemberontak resminya bernama Dewan Transisi Nasional sebagai wakil resmi Libya
Qatar juga siap menjadi perantara penjualan minyak dari Brega dan Ras Lanuf, dua kota penghasil minyak terbesar di Libya, yang produksinya terhenti sejak 15 Februari laluTetapi, proses produksi itu juga masih harus menunggu kembalinya para pekerja pertambangan asing yang meninggalkan Libya seiring dengan meletusnya revolusi(c11/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ubah Waktu, Moskow Lebih Cepat dari GMT
Redaktur : Tim Redaksi