Kakek 82 Tahun Dijemput Reserse Polres Tanjungpinang, Pengacaranya Lapor ke Propam Mabes Polri

Kamis, 22 April 2021 – 21:31 WIB
Kuasa hukum Nguan Seng alias Henky saat melapor ke Divisi Propam Mabes Polri. Foto: dok pribadi for JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Nguan Seng alias Henky (82) melalui tim kuasa hukumnya melaporkan oknum di Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Tanjungpinang ke Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pelaporan ini terkait penjemputan yang dilakukan pihak terlapor terhadap Henky

"Karena pada tanggal 19 dan 21 April 2021 terjadi upaya penjemputan paksa terhadap klien kami Nguan Seng, penjemputan paksa dengan alasan bahwa akan ada pelimpahan tahap dua," kata Herdika Sukma Negara, kuasa hukum Henky, di Propam Mabes Polri, Jaksel, Kamis (22/4).

BACA JUGA: Kapolri Minta Divisi Propam Betul-Betul Mendata Polisi Nakal

Upaya penjemputan tanggal 19 itu tak terealisasi lantaran Henky sakit. Herdika pun mempersoalkan tidak adanya pemberitahuan mengenai upaya paksa tersebut.

Pada 21 April, lanjut Herdika, personel Polres Tanjungpinang akhirnya benar-benar membawa Henky pergi. 

BACA JUGA: Jefri Suprayudi Kembali Penuhi Panggilan Propam Polda Sumut

Herdika dan rekan-rekannya menyayangkan upaya paksa tersebut. Mengingat kliennya yang sakit dan sudah lanjut usia ini kooperatif dan tak mungkin melarikan diri serta menghilangkan barang bukti.

"Klien kami ini umur 82 tahun, sebelah matanya buta, sebelahnya lagi (penglihatan) 50 persen, klien kami juga ada penyakit prostat, ia tinggal di rumah berdua dengan istrinya umur 80 tahun," tambah Herdika.

BACA JUGA: Propam Polri Siapkan Sanksi Tegas untuk Polisi Mabuk dan Sering ke Tempat Hiburan

Tim kuasa hukum Hengky pun berharap laporan itu diproses oleh Div Propam Mabes Polri. "Kami minta Propam Mabes Polri untuk menindak oknum-oknum Sat Reskrim Polres Tanjung Pinang agar dapat dibina lebih baik," tegas Herdika.

Sebelum pristiwa itu, tim kuasa hukum juga menduga terjadi penyalahgunaan kewenangan oknum Sat Reskrim Polres Tanjung Pinang terkait penetapan tersangka Henky. Apalagi, ihwal kasus ini adalah keperdataan terkait jual beli lahan.

"Ini murni perdata, karena yang disengketakan itu lahan, terkait jual beli lahan," tegas Herdika.

Diceritakan Herdika, berawal saat kliennya melakukan kesepakatan menjual tanah seluas 9 Ha kepada Laurence M. Takke dengan mekanisme 2 tahap, yaitu penjualan atas bidang tanah seluas 3 Ha dengan harga yang disepakati adalah sebesar Rp 6.750.000.000 dan tahap kedua atas bidang tanah seluas 6 Ha.

"Terhadap penjualan tahap pertama tersebut maka telah dilakukan jual beli secara tunai menurut hukum tanah nasional dalam hal mana klien kami (selaku pemilik bidang tanah dan pihak Penjual) telah menyerahkan hak kepemilikan bidang tanah tersebut kepada Sdr. Laurence M. Takke sebagai pihak Pembeli dan sebaliknya Sdr. Laurence M. Takke telah memberikan uang pembelian sebesar Rp 6.750.000.000 kepada Klien kami sebagai pihak pemilik bidang tanah dan juga sebagai pihak Penjual," terang Herdika.

Dikatakan Herdika, peristiwa peralihan hak kepemilikan atas bidang tanah dalam proses penjualan tahap pertama dari kliennya selaku sebagai pemilik bidang tanah dan juga sebagai pihak penjual kepada Laurence M. Takke itu dibuktikan dengan adanya bukti Akta Pengoperan dan Pelepasan Hak Nomor 23 dan Akta Pengoperan Dan Pelepasan Hak Nomor 24 tertanggal 29 Mei 2019 yang dibuat dan dikeluarkan oleh Notaris Kota Tanjung Pinang, Robbi Purba, S.H., M.Kn., dan juga telah dilakukan pemeriksaan bahwa bidang tanah tersebut telah terdaftar dan tercatat.

Sementara terkait proses penjualan tahap kedua atas bidang tanah seluas 6 Ha tersebut telah disepakati belum dapat dilakukan atau direaliasikan antara Henky dengan Laurence M. Takke dikarenakan alasan bahwa masih ada permasalahan yang harus diselesaikan oleh Henky dengan Dahlan yang mengaku sebagai pemilik asal. Terkait persoalan Dahlan itu, kata Herdika, klienny telah mengadukannya ke Polres Tanjung Pinang pada 10 Desember 2019.

"Klien kami berjanji akan menyelesaikan masalah surat tanah tersebut dengan tepat waktu (vide Pasal 2 Kesepakatan Bersama Nomor 08/Leg/Not.RP/V/2019 tertanggal 29 Mei 2019)," ujar dia.

Terhadap permasalahan terkait lahan 6 Ha itu, kata Herdika, kliennya dan Laurence telah sepakat untuk membuat dan menandatangani suatu kesepakatan bersama secara tertulis dalam Akta Kesepakatan Bersama yang pada pokoknya menjelaskan bahwa Laurence sebagai pihak kedua atau pihak pembeli sepakat dan sudah mengetahui bahwa surat atas bidang tanah tersebut masih dalam proses penyelesaian masalah. Dikatakan Herdika, berdasarkan Kesepakatan Bersama Nomor 08/Leg/Not.RP/V/2019 tertanggal 29 Mei 2019 tersebut maka belum pernah ada perbuatan penyerahan uang pembelian dari Laurence kepada kliennya untuk penjualan bidang tanah tahap dua seluas 6 Ha, sehingga belum timbul adanya kerugian materiil yang diderita oleh Laurence M. Takke.

Akan tetapi, ungkap Herdika, Laurence justru melaporkan kliennya ke Kepolisian Resor Tanjung Pinang pada tanggal 20 Agustus 2019, atas dugaan tindak pidana penipuan.
Laporan itu kemudian diproses pihak Kepolisian Resor Tanjung Pinang dengan melakukan serangkaian proses pemeriksaan kepada Henky. Pasca pelaporan itu, kata Herdika, pihaknya menduga telah terjadi penyalahgunaan wewenang oleh tim penyidik Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Tanjung Pinang.

"Telah melakukan serangkaian proses pemeriksaan kepada Klien kami yang diduga terdapat adanya beberapa tindakan penyalahgunaan wewenang yang bertentangan dan tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku," ujar dia.

Tak berselang lama, ungkap Herdika, kliennya justru dijerat jadi tersangka. "Bahwa Tim Penyidik Sat Reskrim Polres Tanjung dalam jangka waku yang sangat singkat, yaitu 3 hari terhitung sejak adanya SPrint Dik Nomor Sp.Sidik/15/II/2021/Reskrim sampai dengan adanya Surat Ketetapan Tersangka Nomor S.Tap/15.a/II/2021/Reskrim tertanggal 20 Februari 2021 telah menetapkan Klien kami sebagai tersangka tanpa melalui adanya proses gelar perkara pra penyidikan," ujar dia.

"Bahwa dalam peristiwa yang dilaporkan oleh Laurence M. Takke tersebut tidak didasarkan pada adanya 2 alat bukti minimum yang didukung dengan barang bukti untuk membuktikan secara permulaan mengenai adanya perbuatan pidana dalam peristiwa jual beli bidang tanah antara Klien kami dengan Laurence M. Takke, yang secara yuridis perbuatan jual beli antara Klien kami dengan Laurence M. Takke tersebut adalah murni perbuatan hukum keperdataan dan bukan perbuatan tindak pidana karena tidak pernah didasarkan pada adanya penggunaan nama palsu atau martabat palsu dan juga tidak pernah didasarkan pada adanya tipu muslihat ataupun rangkaian kebohongan dengan tujuan untuk menggerakkan Lawrence M. Takke untuk menyerahkan uang atas bidang tanah seluas 6 Ha tersebut," ungkap Herdika.

Keanehan semakin menjadi lanataran Tim Penyidik Sat Reskrim Polres Tanjung Pinang tidak pernah memberikan dokumen Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada pihak kliennya. Selain itu, ungkap Herdika, Tim Penyidik Sat Reskrim Polres Tanjung Pinang memerintahkan secara sepihak kepada kliennya yang saat ini sedang sakit untuk melakukan wajib lapor.

"Terhitung sejak ditetapkannya sebagai Tersangka, Tim Penyidik Sat Reskrim Polres Tanjung Pinang memerintahkan secara sepihak kepada Klien kami untuk melakukan wajib lapor tanpa didasarkan pada adanya dokumen surat perintah wajib lapor secara tertulis yang ditujukan kepada Klien kami dan juga tidak disertai dengan Surat Perintah Penahanan atau Surat Permohonan Penangguhan Penahan atau Pengalihan Jenis Penahanan. Ini sangat aneh," ucap Herdika.

Hingga berita ini diturunkan belum ada keterangan resmi dari kepolisian, terutama Polres Tanjung Pinang terkait dugaan kriminaliasi dan penyalahgunaan wewenang tersebut. (ant/dil/jpnn)


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler