Kakek-Nenek Belajar Membaca, Malu sama Cucu, Tak Mau Ditipu

Minggu, 16 Oktober 2011 – 19:52 WIB
Sutami, seorang nenek, tengah serius belajar membaca dan menulis di PKBM Tunas Bangsa, Desa Tukul, Probolinggo, Jawa Timur. Foto : Nicha/JPNN

Belajar membaca, menulis dan berhitung (calistung) bukanlah suatu kesulitan yang hanya dialami oleh ana-anak usia wajib belajar.Proses pembelajaran calistung ini juga menjadi tantangan tersendiri bagi para lansia di Desa Tukul, Kabupaten Probolinggo (Jawa Timur), dan juga Desa Kubu , Kabupaten Karangasem (Bali).
----------------------------
NICHA RATNASARI-JPNN
----------------------------
Desa Tukul yang terletak di lereng pegunungan Bromo ini jaraknya sekitar 35 kilometer dari pusat kota ProbolinggoUntuk menuju desa Tukul ini, JPNN beserta rombongan sekitar 10 orang dari Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) harus melalui jalanan yang terus menanjak, berkelok-kelok dan dikelilingi oleh hutan pinus.

Tak jarang kendaraan mobil berjenis Travello harus mundur berkali-kali karena tidak kuat menanjak

BACA JUGA: Albertina Ho, Hakim Kritis PN Jakarta Selatan yang Dimutasi ke Daerah

Alhasil, rombongan pun harus turun dari kendaraan dan berjalan kaki menanjak sampai menemukan jalanan yang rata dan bisa kembali naik ke mobil.

"Penderitaan" tak sampai di situ saja
Di kilometer 30 dari pusat kota, yakni di kediaman Supriyadi, pemilik PKBM Tunas Bangsa di Desa Tukul, Probolinggo, Jawa Timur, kami harus turun dari mobil dan melanjutkan perjalanan menggunakan sepeda motor

BACA JUGA: Worro Hery Astuti, Ahli Ramuan Kecantikan di Balik Pesta Pernikahan Putri Raja Jogja

Mengapa? Karena kondisi jalanan yang curam dan berbatu tidak bisa dilalui oleh mobil
Akhirnya, rombongan pun harus menggunakan sepeda motor untuk menuju PKBM Tunas Bangsa tersebut yang berjarak 5 kilometer dari kediaman Supriyadi.

Setiba di PKBM Tunas Bangsa, terlihat Sutami, seorang nenek berusia 57 tahun bersama dengan sekitar  15 orang teman-temannya berjalan kaki dan  melangkah secara perlahan mendatangi sebuah rumah yang dijadikan sebagai tempat kegiatan belajar membaca, menulis dan berhitung

BACA JUGA: Zirgi Ahmad Fabian, Bayi Penderita Kelainan Posisi Usus (Malrotasi)

Tempat yang diberi nama Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) Tunas Bangsa tersebut dikepalai oleh Supriyadi, dan juga dikelola bersama Balai Pengembangan Pendidikan Nonformal dan Informal (BPPNFI) Regional IV.

Sutami yang mengenakan kebaya dan kerudung merah tersebut langsung duduk dan mengeluarkan buku paket dan alat tulis atau sebatang pensil  dari tasnyaSebelum belajar, mereka semua bersama-sama membaca doaBeberapa saat kemudian, dengan lantang terdengar suara yang mengucapkan “I… Be u Bu…Ibu..”.

Sutami dan teman-temannya langsung mengikuti petunjuk sang tutorIa membaca dan mengeja kata demi kata sesuai yang ditunjuk oleh sang tutor, yang merupakan salah seorang warga Desa TukulSutami juga menuliskan kembali kata-kata yang telah diejanya di buku miliknyaHal itu juga turut dilakukan oleh semua teman-temannya.

Menurut nenek yang memiliki 8 orang cucu ini, sudah belajar membaca di tempat tersebut selama 6 hari“Kalau baca Al Quran saya bisa tetapi baca tulisan ini saja belum bisa,” ujarnya kepada JPNN ketika berkunjung ke PKBM Tunas Bangsa di Desa Tukul, Probolinggo, Jawa Timur, pekan lalu.

Sutami mengakui, munculnya keinginan keras untuk bisa belajar membaca , menulis dan berhitung ini setelah salah satu cucunya menyuruh dirinya untuk belajar membaca“Saya malu sama cucu sayaDia bilang saya tidak bisa membaca dan disuruh belajarMaka itu saya belajar membaca di sini,” serunya.

Meskipun dia sedang berusaha keras untuk belajar membaca, Sutami mengatakan jika keempat anaknya sudah lulus sekolah dasar (SD) dan bisa membaca, menulis dan berhitung semuanyaIa pun juga menyesal jika dulu tidak mau belajar membaca, dan sekarang ini ia berjanji akan terus belajar agar bisa membaca, menulis dan behitung dengan lancar.

Hal senada juga dungkapkan oleh kakek berusia 52 tahun, SutopoKakek yang memiliki 3 orang anak ini berkeinginan untuk belajar membaca, menulis dan berhitung agar bisa lancar membaca dan tidak dibohongi orang ketika berdagang ataupun membeli sesuatu.

Begitu juga Nariti, wanita berusia 41 tahunIa mengaku pernah bersekolah hingga kelas 3 SDAkan tetapi, dengan keterbatasan ekonomi dan juga jarak antara ke sekolah dengan rumahnya yang terlampau jauh, akhirnya ia putus sekolahAkibatnya, Nariti lupa bagaimana cara membaca, menulis dan berhitung karena lama tidak bersekolah“Saya dulu pernah sekolah sampai kelas 3 SDTapi saya lupa lagi, tidak bisa baca,” tukasnya.

Kisah serupa juga dialami oleh I Ketut PekakLelaki berusia 40 tahun ini juga berkeinginan keras untuk belajar memebaca, menulis dan berhitungIa rela berjalan kaki sejauh 3 kilometer dari kediamannya untuk menuju PKBM Yayasan Widia Santi Mandiri di Desa Kubu, Kabupaten Karangasem, Bali.

Menurut I Wayan Widiana, selaku pemilik dan pengelola Yayasan Widia Santi Mandiri tersebut, keinginan Ketut untuk belajar membaca, menulis dan berhitung agar tidak ditipu oleh pedagang lainnyaKetut–sapaan akrab I Ketut Pekak- merupakan seorang petaniSebagian besar warga desa Kubu tersebut adalah petani kacang mede dan lontar.

“Pak Ketut itu dia semangat sekali belajarKarena dia tidak mau dibohongiSelama ini, warga di desa ini hanya mengenal uang dengan warna saja, tidak dengan nilai mata uang yang tertera di setiap lembar uang,” ujar Wayan—sapaan akrab I Wayan Widiana- kepada JPNN ketika berkunjung ke desa Kubu, Karangasem, Bali beberapa waktu lalu.

Wayan juga bercerita bagaimana sulitnya mengaja para warga yang menderita buta aksara untuk belajarAkhirnya, Wayan bersama-sama dengan para pengelola yayasan harus membayar setiap peserta pendidikan aksara tersebut sebesar Rp 10 ribu – 20 ribu per orang“Itu cara kami agar mereka mau belajarUang itu sebagai pengganti penghasilan mereka karena mereka terpaksa tidak bisa bekerja karena belajar membaca di tempat ini,” jelasnya.

Menurutnya, hal inilah yang menjadi salah satu kendala bagi yayasan untuk menarik para warga desa Kubu untuk mau belajarMengenai dana, Wayan mengaku mendapatkan bantuan dari Pemerintah Kabupaten yang sebesar Rp 360 ribu – Rp 380 ribu untuk setiap pelaksanaan pembelajaraan.

“Kasihan mereka, yang sering dibohongi oleh pedagang lain yang lebih cerdas dari merekaWarga di sini kerap kali tidak diberi tahu jika harga Mede ataupun lontar sudah naik di pasaranPadahal, harga di pasaran sudah melonjak jauInilah yang menjadi semangat kami untuk membantu mereka, karena ini secara tidak langsung juga akan mengentaskan mereka dari kemiskinan,” keluhnya.

Diketahui, perjalanan menuju Desa Kubu yang terletak di Kabupaten Karangasem ini bisa ditempuh dalam waktu 3 jam dari kota Denpasar, BaliMeskipun desa ini terletak di lereng gunung Agung, kondisinya ternyata sangat tandus dan kering kerontangUntuk air minum saja, para warga di desa Kubu ini harus membeli karena memang sulit untuk mendapatkan air bersih di sana.

Mata pencaharian sebagian besar warga di Desa Kubu merupakan petani Mede dan juga peternak babiKeseharian mereka hanya berkutat di kebun jambu MedeSehubungan dengan terbatasnya bangunan, Yayasan Widia Santi Mandiri ini juga turut meminjam salah satu bangunan pura milik desa Kubu untuk pelaksanaan pendidikan keaksaraan***

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kali Pertama Digelar, Lelang Barang-Barang Eks Gratifikasi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler