Kalau Rugi, Pasti KPK Tidak Tanda Tangan

Rabu, 29 Maret 2017 – 15:12 WIB
Mulfachri Harahap. Foto: dok/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi III DPR, Mulfachri Harahap yakin memorandum of understanding (MoU) atau nota kesepahaman yang ditandatangani Ketua KPK Agus Rahardjo, Jaksa Agung Prasetyo, dan Kapolri Jenderal Tito Karnvian, bukan upaya menghambat pemberantasan rasywah.

Dia yakin, KPK sudah mempertimbangkan isi MoU itu sebelum menandatanganinya bersama KPK dan Polri. Karenanya Mulfachri yakin, KPK yang paling tahu apakah MoU ini bisa menghambat kinerja mereka melakukan pemberantasan korupsi atau tidak.

BACA JUGA: KPK Wajib Izin Pada Polri dan Kejagung

Menurut dia, kalau KPK merasa rugi atau diberatkan, tentu lembaga antikorupsi itu tidak akan menandatanganinya. “Kalau dirasa menghambat tentu tidak ditandatangani MoU ini,” kata dia di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (29/3).

Dia menambahkan, sebelumnya sudah ada beberapa MoU lain yang ditandatangani tiga lembaga penegak hukum itu. Pada intinya, isi MoU itu saling melengkapi, mendukung, membangun kohesivitas di antara semua lembaga penegak hukum termasuk KPK, Polri dan kejaksaan.

BACA JUGA: Fadli Zon: MoU Jangan jadi Upaya Melindungi

“Jadi, saya kira dokumen MoU yang baru pagi tadi ditandatangani adalah bagian dari melengkapi dokumen yang sudah disepakati atau kesepakatan yang sudah sebelumnya,” kata Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) ini.

Seperti diketahui, ada 15 pasal dalam MoU yang ditandatangani Ketua KPK Agus Rahardjo, Jaksa Agung Prasetyo dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian, Rabu (29/3) di Mabes Polri.

BACA JUGA: Usut Andi Narogong, KPK Garap Petinggi Quadra Solution

Salah satu pasal, yakni pasal 3 ayat 5 MoU itu menyatakan, “Dalam hal salah satu pihak melakukan pemanggilan terhadap personel pihak lainnya maka pihak yang melakukan pemanggilan tersebut memberitahukan kepada pimpinan personel yang dipanggil.”

Kemudian, pasal 3 ayat 6 menyatakan, “Dalam hal salah satu pihak melakukan pemeriksaan terhadap personel pihak lainnya maka personil tersebut didampingi oleh fungsi hukum atau bantuan advokat para pihak dan pemeriksaan dapat dilakukan di kantor para pihak.” Sedangkan pasal 3 ayat 7 menyatakan, “Dalam hal salah satu pihak melakukan tindakan penggeledahan penyitaan atau memasuki kantor pihak lainnya maka pihak yang melakukannya memberitahukan kepada pimpinan pihak yang menjadi objek dilakukannya tindakan tersebut kecuali tangkap tangan.”

Mulfachri mengatakan, penggeledahan yang dimaksud berbeda dengan operasi tangkap tangan (OTT) KPK. Menurut dia, OTT tidak memerlukan izin. Namun, penggeledahan memang harus diatur tata caranya. Tidak hanya berlaku bagi aparat kepolisian dan kejaksaan saja.

Tapi, kata dia, jauh sebelum itu Undang-undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), sudah mengatur ketentuan tentang bagaimana proses penggeledahan yang harus berlaku di kompleks parlemen. “Ini saya kira sesuatu yang harus diatur bukan berarti ditafsirkan sesuatu semangat untuk menghalangi upaya KPK memberantas korupsi di negeri ini,” katanya.

Dia tidak sependapat aturan itu sebagai bagian dari upaya menghilangkan barang bukti penggeledahan. Menurut Mulfachri, dalam banyak kasus penggeledahan yang dilakukan lebih kepada melengkapi barang bukti yang sudah ada di tangan penyidik KPK.

“Jadi, tidak melulu bisa ditafsirkan atau ada kekhawatiran atau upaya menghilangkan barang bukti. Jadi, tidak perlu ada yang dikhawatirkan karena semua proses penegakan hukum, pemberantasan korupsi dapat berjalan dengan normal,” ujar Mulfachri. (boy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tak Akan Terjadi Jual Beli Jabatan di Polri


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
KPK   Kejaksaan Agung   Polri  

Terpopuler