Angka yang diminta tersebut jauh lebih tinggi dibanding aturan yang berlaku saat ini sesuai Pasal 14 huruf e dan f UU No 33
BACA JUGA: ICW Kesulitan Minta Informasi Ke MA
Pasal ini menyebutkan bahwa bagi hasil minyak adalah sebesar 84,5 persen untuk pemerintah pusat, dan 15,5 persen untuk pemerintah daerahBACA JUGA: Jamwas Eksaminasi Perkara ATM di Daerah
Isi pasal inilah yang jadi persoalan mendasar hingga masyarakat Kaltim berani menggugat ke MK karena dinilai bertentangan dengan konstitusi, serta keadilan jika dibandingkan sebagai daerah penghasil migas."Angka itu sesuai prosentase bagi hasil migas yang diterima Aceh dan Papua," jelas Muspani, pengacara yang ditunjuk Majelis Rakyat Kalimantan Timur Bersatu (MRKTB) serta 8 pemohon lain saat dihubungi Jumat (4/11)
Aceh kebagian lebih besar karena memiliki UU khusus yakni No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, sementara UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua
BACA JUGA: Greenpeace Diingatkan Jangan jadi Alat Kapitalis
Atau keduanya tak diatur UU No 33, padahal sama dengan Kaltim dan belasan provinsi lain sebagai daerah penghasil migas.Aceh dan Papua dijadikan pembanding, lanjut Muspani, karena berdasar kajian tim tak ada aturan atau UU lain yang bisa dijadikan pembanding dalam soal kenapa kedua daerah tersebut menerima porsi bagi hasil lebih besar, sedangkan provinsi lain harus mengacu Pasal 14 huruf e dan f UU No 33.
"Pembandingnya Aceh dan Papua sebab sampai sekarang belum ada hitungan bagi hasil migas yang jelas secara nasional," tambah mantan anggota DPD pemilihan Bengkulu ini
Permintaan 70 persen, tegas dia, tentu bisa dibuktikan secara yuridis, ekonomi, dan sosialDiantaranya dengan mendatangkan 8 saksi diantaranya ahli lingkungan dan tata negaraTermasuk pula data dari Departemen Keuangan, BPS, sampai Bappeda KaltimData dari ketiga lembaga diharapkan bisa memaparkan dan menjelaskan segala kondisi Kaltim sebenarnya serta berapa besaran dana yang diterima dibanding dengan kebutuhan ideal sebagai daerah yang terus membangun serta berbatasan langsung dengan Malaysia.
Untuk menunjukan adanya ketimpangan pembangunan di perbatasan, kata Muspani, pihaknya menambah satu pemohon yang merupakan masyarakat kecamatan Krayan, NunukanElia Yusuf merupakan petani warga Desa Ba'liku, Krayan SelatanMenurut pemohon, Elia adalah potret ketidakadilan pembangunan di Kaltim sebagai akibat terbatasnya dana pembangunan dari pusat.
Pemohon baru lain adalah JubaidahDia adalah nelayan wanita asal Jl Sungai Buaya RT 10 Desa Bunyu Barat Kecamatan Bunyu, BulunganSejak puluhan tahun, Jubaidah tak merasa diuntungkan dengan keberadaan eksplorasi migas, batubara serta keberadaan kilang methanol di daerahnya.
Secara lengkap, pemohon pertama adalah MRKTB, pemohon selanjutnya Sundy Ingan, Kepala Desa Sungai Bawang, Kecamatan Muara Badak, Kutai Kartanegara (Kukar) dan petani asal Desa Badak Baru, Muara Badak (Kukar) bernama AnduSelanjutnya Elia, Jubaidah sedangkan pemohon keenam sampai kesembilan adalah 4 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI pemilihan Kaltim.
Sesuai saran hakim pada persidangan perdana Rabu (19/10), tim penasihat hukum mengubah redaksional keempatnya menjadi warga Kaltim yang menjabat sebagai anggota DPDSesuai fungsinya mereka tahu dan sering mendapat keluhan dari masyarakat di Kaltim amupun yang datang ke Jakarta terkait persoalan belum dapatnya masyarakat menikmati kekayaan alamnya secara adilDisebutkan Muspani, diperkirakan persidangan JR akan dilanjutkan pertengahan pekan depan. (pra/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Honorer Guru Negeri Dukung Moratorium dari Pelamar Umum
Redaktur : Tim Redaksi