Kampung-Kampung yang Penduduknya Banyak Menikah Siri (1)

Jadi 'Pelaku', Pak RT Tak Takut Masuk Penjara

Rabu, 24 Februari 2010 – 00:41 WIB
KONSULTASI : Amir (kiri), yang menikah empat kali tanpa buku nikah, sedang berkonsultasi mengenai pengurusan pembuatan buku nikah kepada Somadi, Kaur Kesra Desa Setupatok, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon. Foto : JUNAEDI/RADAR CIREBON/JPNN

Ada beberapa kampung atau desa yang sebagian besar penduduknya menikah siri hingga bertahun-tahun dan beranak-pinakBagaimana kelak jika RUU yang menghukum secara pidana pelaku nikah siri itu benar-benar menjadi undang-undang?
 
---------------------------------
 M

BACA JUGA: Mahathir Sumbang Tiga Kapal, Berharap Satu Lagi dari Indonesia

JUNAEDI, Cirebon
---------------------------------
 
SALAH satu desa yang mayoritas penduduknya menikah secara siri alias tak tercatat di instansi resmi adalah Desa Sinarancang, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat
Desa yang tergolong miskin itu terletak di kawasan pegunungan

BACA JUGA: Tanya Lokasi Pertemuan di Perjalanan, Komunikasi Tiba-Tiba Terputus

Mata pencaharian penduduk di sana beragam
Ada petani, buruh, dan ada yang bekerja sebagai perajin cobek dari batu

BACA JUGA: Anak Pergi Kerja, Ibu Ditaruh di Plafon

Bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi adalah Jawa Cerbonan dan SundaSebab, desa tersebut merupakan daerah transisi antardua suku di Cirebon.
 
Menuju Desa Sinarancang hanya butuh waktu sekitar 30 menit dari pusat Kota CirebonDi desa tersebut terdapat sekitar 2.000 pasangan suami-istriMenariknya, 1.200 pasangan di antaranya tak mencatatkan pernikahannya ke instansi resmiBerarti, sekitar 60 persen penduduk di desa tersebut boleh dibilang menjadi pelaku nikah siriUmurnya kebanyakan lebih dari 35 tahun"Saya tidak takut dipenjara gara-gara tidak punya buku nikah," kata Kaya, ketua RT 07/RW 03, Desa Sinarancang.
 
Pria 45 tahun tersebut tidak takut karena yang tidak punya buku nikah di wilayah RT-nya mencapai ratusan"Kalau nanti dipenjara, kami akan membentuk desa sendiri di dalam penjara," kelakarnya lantas tertawa lepasDi Desa Sinarancang, menikah tanpa dicatatkan di instansi resmi seakan menjadi budayaJadi, hal itu sudah dianggap biasa
 
Bagi warga desa di sana, menikah adalah ibadahYang penting ada niat untuk membangun keluarga sakinah, mawadah, dan warahmahItu saja sudah cukupKarena itu, banyak yang merasa tak perlu lagi akta nikahSuhendi, 35, warga RT 05/RW 02, mengungkapkan, sejak menikah dengan istrinya, Kuniah, 32, hingga mempunyai tiga anak, dirinya tidak punya buku nikahBagi dia, punya atau tidak punya buku nikah tak ada pengaruhnya
 
"Saya tidak ingat kapan persisnya saya menikahYang saya ingat ketika itu bayar penghulunya Rp 60 ribuYang menjadi penghulu seorang kiaiSekarang sudah almarhum," ceritanyaSaat itu, lanjut dia, tidak ada pikiran bahwa menikah itu harus dicatat di catatan sipil"Yang penting saya menikah dengan sahGitu aja," ujarnya enteng.
 
Lain halnya dengan Kaya, sang ketua RTSebenarnya saat menikah dirinya ingin dicatat di catatan sipil"Saya menikah pada 1981 ketika berumur 26 tahunSaat itu, saya kira langsung dicatat di catatan sipil karena yang menikahkan saya adalah kiaiTernyata tidak," ungkapnya
 
Karena tidak mengerti bagaimana harus mengurus persyaratan administrasi setelah menikah, Kaya tak mengurus lagi"Akhirnya saya biarkan begitu saja sampai sekarang," katanya.
 
Berdasar pengamatan Radar Cirebon (gurp JPNN), kebanyakan warga yang menikah siri bukan untuk beristri lebih dari satuTapi, rata-rata mereka tidak tahu akan hukum negaraMenurut Kepala Desa Sinarancang Caca Efendi, banyak faktor yang membuat 60 persen warganya menikah siriDi antaranya, faktor jarak dari desa dengan pusat administrasi di tingkat kecamatanDia menceritakan, sebelum menjadi desa sendiri, Sinarancang merupakan bagian dari Desa Nanggela, Kecamatan BeberBaru pada 1983 Sinarancang resmi menjadi desa sendiri.
 
Ketika belum menjadi desa sendiri, jika ingin ke ibu kota kecamatan di Beber, warga Sinarancang harus menempuh jarak 3?5 kilometerBukan hanya itu, warga harus melewati jalan yang berbukit-bukit karena terletak di kawasan pegununganSaat itu, akses masih sangat terbatasItulah yang membuat warga sangat malas mencatatkan pernikahannya di KUA Kecamatan Beber"Selain jarak yang jauh, faktor pendidikan juga berpengaruhWarga kami merasa menikah itu hanya cukup dinikahkan kiai," lanjut dia.
 
Faktor lain yang membuat banyak warga menikah siri di Desa Sinarancang adalah tidak adanya sosialisasi dari pihak terkait mengenai pentingnya menikah secara hukum negara"Anggapan tidak terlalu pentingnya catatan sipil waktu itu sangat tinggiKarena itu, pengurusan buku nikah tidak terlalu dipikirkan mereka," jelas Caca.
 
Dia mengakui, banyak warga yang baru merasakan akibat tidak mencatatkan pernikahannya sekarang"Itu terjadi ketika anak-anak mereka masuk sekolahAda beberapa sekolah yang mensyaratkan harus menyertakan akta kelahiran ketika mendaftarPadahal, akta kelahiran dibuat berdasar buku nikah," paparnya.
 
"Saat ini, banyak anak di Sinarancang yang belum punya akta kelahiran karena pengurusannya terganjal syarat mutlak, yakni buku nikah kedua orang tua," tambahnya
 
Kisah tentang pentingnya akta kelahiran itu juga dituturkan Rusmadi, warga SinarancangDia menceritakan, suatu ketika kakaknya yang bernama Tasma ingin menyekolahkan anaknya ke sebuah SMK di Mundu"Karena syarat masuk ke SMK itu harus menyertakan akta kelahiran, kakak saya sampai harus menikah ulang agar mendapat buku nikahSaat itu, biaya menikah ulang mencapai Rp 600 ribu," ujarnya"Selanjutnya, buku nikah itu digunakan mengurus akta kelahiran anaknya," imbuhnya
 
Caca menambahkan, sebenarnya dirinya pernah mengusulkan kepada KUA di Kecamatan Mundu agar mengadakan nikah masal, khusus bagi warga yang belum mencatatkan pernikahannyaTapi, saat itu dia mendapat jawaban mengecewakanAlasannya, belum ada anggaran"Saya kasihan kepada anak-anak di desa kamiKalau orang tuanya tak punya buku nikah, problemnya bukan hanya tak bisa sekolahTapi, juga tak bisa melamar kerja," katanya.
 
Menanggapi adanya RUU yang akan memidanakan para pelaku nikah siri, Caca mempertanyakan apakah aturan tersebut juga berlaku bagi pelaku nikah siri yang menikah sebelum ada RUU"Kalau menikah siri sebelum UU berlaku, lalu dipidana, itu jelas tidak adil," tegasnya.
 
Selain itu, Caca mengusulkan agar pemerintah memfasilitasi penyelenggaraan nikah masal bagi pasangan yang sudah menikah siriDia yakin masih banyak warga di daerah-daerah di Indonesia yang nikah secara agama

Selain Desa Sinarancang, wilayah Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, yang banyak warganya menikah siri adalah Desa SetupatokBerdasar data dari Kaur Kesra, warga Desa Setupatok yang belum punya buku nikah 140 KK (kepala keluarga)Rata-rata mereka berusia 35 tahun ke atas. 
 
Salah seorang warga Desa Setupatok yang belum punya buku nikah adalah AmirUsianya 60 tahunPria yang sehari-hari bekerja sebagai debt collector di sebuah perusahaan lising motor itu bahkan menikah empat kaliSemua pernikahannya dilakukan secara siri
 
Amir menceritakan, dirinya menikah kali pertama pada 1968, saat usianya 18 tahunSaat itu dia menikahi Turini, 15Umur pernikahan mereka tak terlalu lamaMereka bercerai"Saya ceraikan dia karena masih terlalu kecil," tuturnya
 
Pada 1971, Amir menikah lagiPernikahan yang kedua itu hanya berjalan 8 tahunSelanjutnya, dia menikah kali ketiga hingga dikaruniai dua anakPada 1985, Amir bertemu kembali dengan Turini, istri pertama yang diceraiRupanya, di antara keduanya masih ada benih-benih cintaTak berapa lama setelah bertemu mereka menikah"Waktu itu saya bayar penghulu Rp 10 ribu, tanpa buku nikah," paparnya
 
Rumah tangga Amir dan Turini langgeng hingga sekarangKini Amir mulai sadar bahwa buku nikah itu penting ketika harus mengurus segala administrasi di desaMulai KTP, kartu keluarga, hingga akta kelahiranKarena itu, Amir berencana mengikuti acara nikah masal yang dilaksanakan Agustus mendatang.(bersambung/kum)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sulastri Tak Bisa SMS, Sutarwi Dilempari Pemabuk


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler