Pemilu yang Membosankan?

Rabu, 26 Maret 2014 – 00:29 WIB

KETIKA negara demokrasi terbesar ketiga di dunia ini sedang melangsungkan pemilihan umum, mestinya masyarakatnya turut menyambut gembira bukan?

Tapi ternyata tidak demikian​.

BACA JUGA: Indonesia Butuh Teknokrat

Saya tahu, kita semua seharusnya bersuka cita dengan datangnya "Pesta Demokrasi" dan segala atributnya. Namun kali ini saya dikejutkan oleh betapa lesunya antusiasme masyarakat dalam menyambut musim kampanye pemilu tahun ini.

Ancaman terbesar bagi Indonesia bukan masalah persatuan dan kesatuan melainkan kekecewaaan yang tumbuh terhadap demokrasi, dan negeri ini seperti "tertidur" sejenak.

BACA JUGA: Belajar dari Pemimpin Filipina

Tidak perlu disangsikan lagi semua orang sudah tahu politisi seperti Ruhut Sitompul, Sutan Batoegana dan Bambang Soesatyo merupakan politisi vokal yang memengaruhi pandangan masyarakat terhadap demokrasi. Jika DPR ini sebuah sinetron, pasti serial tayangannya sudah dihentikan sejak beberapa tahun yang lalu.

Jadi, inilah saatnya politisi turun ke bawah. Ketika Demokrat melakukan kampanye perdana di Jawa Timur, dan PDI-P yang memulai kampanyenya di Jakarta, pemilih tampaknya telah memutuskan untuk "mengganti channel" mereka.

BACA JUGA: Mengapa Bu Risma Tidak Boleh Mundur

Sebenarnya, calon legislatif (caleg) di seluruh dunia memang memiliki waktu yang sulit. Tidak ada yang suka jika tim sukses caleg menggedor-gedor pintu anda setiap jam untuk meminta suara bukan?

Namun, ada selingan dramatis di tengah-tengah suasana itu yaitu pengangkatan Gubernur DKI Joko Widodo sebagai calon presiden dari PDI-P. Namun sesudah itu, bisakah kita dapatkan kejutan lain lagi dari gempita pesta demokrasi ini?

Pengamat politik seperti saya juga bertanya-tanya bagaimana Golkar akan menang di lumbung suaranya di Banten ketika gubernurnya, Ratu Atut Chosiyah dalam penahanan? Juga, saya begitu penasaran ketika melihat bagaimana gebyarnya iklan Gerindra di televisi, akankah langkah tersebut bisa mendulang suara? Lalu, apakah "perang iklan" di televisi bisa mengubah suara? Lebih lagi yang kontroversial adalah Prabowo Subianto kini menampakkan kemarahannya kepada PDI-P dan Jokowi.

Mengingat betapa pentingnya pemilu 2014 ini –yaitu transisi dari kekuasaan Susilo Bambang Yudhoyono dan Partai Demokrat – namun ada mood menurun dari keingin masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilu.

Beberapa waktu lalu, saya menanyakan masyarakat lapisan bawah untuk mengetahui mood mereka dan hasilnya tidak semuanya menurun. Meski beberapa provinsi tidaklah begitu apatis dibandingkan yang lain.

Saya memulai menelepon dengan responden dari dua provinsi terpadat yaitu Jawa Timur dan Jawa Barat (yang masing-masing berpopulasi 37 juta jiwa dan 43 juta jiwa). Tanggapan dari masyarakat Jawa Timur sungguh mengejutkan. Sebagai markas Nahdlatul Ulama, saya segera menyadari bahwa banyak, sebagian besar pemilih serius mempertimbangkan akan "golput", tetap tinggal di rumah pada hari pemilihan. Mereka juga tidak terpengaruh oleh pencalonan Jokowi menjadi presiden.

Nugroho (57), seorang pekerja di Sidoarjo mengatakan: "Saya akan golput, karena sungguh memalukan bagaimana caleg menjanjikan banyak hal kepada calon pemilih bahkan sebelum kampanye dimulai."

Arief, seorang pengumpul sampah (31) mengatakan kepada saya: "Pemilu legislatif hanya buang-buang waktu saja, karena tidak ada perubahan. Tapi kalau pemilihan presiden masih ada harapan."

Pemilih dari Jawa Timur tampaknya terjebak di antara kekecewaan dan apatisme. Namun sentimen pemilih di Jawa Barat adalah kebalikannya. Masyarakat Sunda menunjukkan semangat yang lebih besar untuk berdemokrasi dan cukup banyak yang pro-Jokowi.

Di Tasikmalaya, Ani Sopia (31) seorang guru bahasa Inggris mengatakan: "Saya antusias untuk pemilu, tapi saya belum memutuskan akan memilih siapa. Kalau Jokowi maju sebagai presiden saya pasti akan pilih dia."

Lain lagi dengan Rini Maria (31) ibu rumah tangga dari Cirebon mengatakan: "Saya tidak begitu antusias untuk pileg dan saya bahkan kurang paham kapan waktu pelaksanaannya. Tapi tentu saya akan dukung Prabowo jadi presiden. Dia punya perawakan dan ketegasan menjadi pemimpin negara."

Jadi, sementara pengusungan Jokowi sebagai capres telah menorehkan drama dalam kampanye pemilu yang sedikit membosankan kali ini, perhatian harus diarahkan kepada pemilik suara dari 186.600.000 orang di Indonesia.

Akhirnya, demokrasi bisa dikatakan berhasil jika paling tidak banyak orang -meski tidak semua- masyarakat berpartisipasi di setiap level.[***]

BACA ARTIKEL LAINNYA... Imlek .


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler