jpnn.com, JAKARTA - Politikus PKS Mulyanto kembali mengingatkan pemerintah untuk bersikap tegas pada pelanggaran kedaulatan oleh kapal China yang masuk ke perairan Natuna.
"Pemerintah jangan diam karena hal tersebut akan membuat wibawa negara tidak dipandang oleh negara lain," ujar Mulyanto dalam keterangan yang diterima, Kamis (16/9).
BACA JUGA: Teror Kapal China di Natuna Usik Eksplorasi Migas, PKS Minta Pemerintah Tegas
Menurut dia, insiden masuknya kapal China ke perairan Natuna kembali terjadi beberapa waktu lalu.
Mulyanto mendesak pemerintah khususnya Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan tidak diam menghadapi kasus pelanggaran kedaulatan oleh China.
BACA JUGA: KSAL Minta Prajuritnya Menjaga Stabilitas Laut Natuna Melalui Diplomasi
Mulyanto menegaskan peristiwa itu adalah pelanggaran serius yang harus segera disikapi. Sebab selain melanggar kedaulan negara, masuknya kapal-kapal China itu sudah mengganggu kegiatan penambangan migas
"Miris kita kalau Menhan dan Menko Marves diam saja. Sebab mereka berdua yang berwenang menentukan sikap resmi atas pelanggaran ini," tegas Mulyanto.
BACA JUGA: 2 Kapal Asing Masuk Perairan Natuna Disikat Ditpolair Baharkam Polri, Mantap
Komisi VII DPR RI itu mempertanyakan peran Menhan Prabowo dan Menko Marves Luhut selama ini terhadap pelanggaran yang terjadi.
Mulyanto mengatakan sebagai Menhan seharusnya Prabowo bersuara atas pelanggaran tersebut. "Jangan malah memuji kehebatan militer negeri tirai bambu," bebernya.
Begitu pula, lanjut Mulyanto, Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan yang dikenal dekat dengan Pemerintah China, seharusnya segera membicarakan masalah ini secara resmi.
Bukan malah membiarkan sambil memberikan berbagai kemudahan datangnya ribuan tenaga kerja asing dari China.
"Ini bahkan sudah bukan provokasi lagi, tetapi melanggar kedaulatan negara dan mengganggu kepentingan nasional (national interest). Jadi Pemerintah melalui Menteri Pertahanan dan Menko Marves harus bersikap," tegas Mulyanto.
Mulyanto menambahkan bagi bangsa Indonesia posisi perairan Natuna sangat strategis. Di sana sedang dilakukan eksplorasi dan eksploitasi migas dalam rangka mengejar target 1 juta barel minyak per hari (bph) pada 2030.
Oleh karena itu, dia menyebut pemerintah harus bisa memberi jaminan keamanan terhadap proses eksplorasi dan eksploitasi itu.
"Kalau tidak maka target 1 juta bph hanya angan-angan belaka. Jadi sudah sepantasnya Pemerintah bertindak tegas mengusir kapal-kapal asing dari perairan kita. Apalagi ini sudah sampai menggangu upaya penambangan migas kita. Kita tidak boleh diam," lanjut Mulyanto.
Badan Keamanan Laut (Bakamla) menyatakan kapal-kapal China di perairan Natuna Utara dekat Laut China Selatan kerap mengganggu aktivitas pertambangan kapal-kapal Indonesia. Bahkan ratusan hingga ribuan kapal China juga memasuki perairan Indonesia tanpa terdeteksi radar.
Kapal coast guard China dikabarkan mengganggu atau membayang-bayangi kerja daripada rig noble yang berbendera Indonesia di bawah Kementerian ESDM.
"Pemerintah harus mendukung kerja pengawasan Bakamla ini. Jangan sampai keterbatasan kemampuan operasional yang ada membuat kita membiarkan berbagai gangguan dari kapal-kapal asing terhadap kedaulatan negara yang bahkan mengancam kepentingan nasional kita," kata Mulyanto.
Blok Tuna merupakan wilayah Kerja migas di lepas pantai Indonesia. Blok ini terletak di Laut Natuna di dekat perbatasan Vietnam, dengan kedalaman air sekitar 110 meter.
Secara signifikan, pengeboran ini didanai oleh Zarubezhneft yang didukung Rusia.
Pengeboran sumur eksplorasi Singa Laut-2 di blok Tuna dilaksanakan oleh Premier Oil Tuna B.V. Tahun 2020 lalu, perusahaan ini telah mendapatkan partner baru yakni Zarubezhneft.
Zarubezhneft adalah perusahaan migas milik pemerintah Rusia yang dilaporkan mengakuisisi 50% hak partisipasinya melalui anak usahanya, ZN Asia Ltd. Akuisisi ini membuat Premier Oil berganti menjadi Harbour Energy. (mcr10/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kapal Asing Makin Merajalela Mencuri Ikan di Laut Natuna, Kerap Mengintimidasi Nelayan LokalÂ
Redaktur & Reporter : Elvi Robia