jpnn.com, LOMBOK TENGAH - Gerakan Peduli Anti Narkotika (GPAN) Kabupaten Lombok Tengah, NTB menemukan sejumlah kejanggalan pada Balai Rehabilitasi Yayasan 789 Besinar.
Rumah rehabilitasi yang berada di Desa Aik Mual, Kecamatan Praya, Lombok Tengah tersebut diduga dijadikan sebagai alat memeras korban penyalahgunaan narkotika oleh pihak kepolisian.
BACA JUGA: BPK Ungkap Pembayaran PPJ Tak Sesuai Ketentuan di Lombok Tengah
Hal itu terungkap setelah pihak GPAN Lombok Tengah melihat stuktur pengelolanya yang didominasi oleh Kapolres Lombok Tengah AKBP Irfan Nurmasyah.
Dalam struktur tersebut, GPAN melihat Kapolres Lombok Tengah menjabat sebagai pendiri dan ketua pengawas yayasan.
BACA JUGA: Cegah Stunting, Baznas NTB Salurkan 294 Tray Telur di Desa Aik Berik Lombok Tengah
Selain itu, jabatan lainnya diduduki oleh Bupati Lombok Tengah Lalu Pathul Bahri selaku pembina yayasan.
Ketua GPAN Lombok Tengah Lalu Subadri mengatakan, pihaknya mulai mendalami yayasan tersebut setelah mendapatkan laporan dari beberapa korban.
BACA JUGA: Pemkab Lombok Tengah Menghambur-hamburkan APBD, Ketua DPRD Sebut Temuan Biasa
Dari keterangan korban kata dia, mereka diminta sejumlah uang untuk bisa rehabilitasi di yayasan tersebut.
"Kami mendapatkan informasi dari korban. Karena korban kan diminta uang untuk bisa rehab di yayasan itu (Rumah Rehabilitasi Yayasan 789 Besinar)," katanya, Senin (10/7) di Praya.
Anehnya lagi, para korban ini rupanya bukan mendapatkan pelayanan yang maksimal.
Melainkan hanya sebagai modus bagi anggota kepolisian untuk meminta tebusan kepada korban.
"Mereka hanya dirawat dua tiga hari saja setelah itu langsung keluar. Padahal sudah bayar," ungkapnya.
Setelah mendapat informasi tersebut, pihaknya pun langsung mencoba untuk mendapatkan informasi terkait yayasan itu.
"Dan kemarin saya turun ke sana, dan di sana saya ditemui langsung oleh direksinya atas nama Pak Johan dari Aceh," sebutnya.
Menurut Badri sapaannya, pihaknya pun saat itu kaget karena melihat struktur organisasi dari yayasan tersebut dipimpin oleh kapolres.
"Dan di situ kami melihat agak janggal strukturnya," ucapnya.
Badri menyebut, dalam aturan seorang kapolres tidak bisa mendirikan rumah rehabilitasi apalagi menjabat sebagai pendiri dan pengawas.
Menurut Badri, seorang kapolres bisa saja menekan bawahannya untuk menangkap penyalahgunaan narkotika sebanyak-banyaknya untuk direhab di sana.
"Itu makanya kami menduga kalau yayasan itu hanya sebagai modus pemerasan berkedok rumah rehab," jelasnya.
Selain itu, Badri juga menyebut bahwa sejauh ini pihak kepolisian jika telah melakukan penangkapan kepada penyalahgunaan narkotika, pasti akan memasukkan korban ke yayasan tersebut.
"Padahal kalau mau merehab korban itu harus ada MoU (Memorandum of Understanding) dari pihak yayasan dan kepolisian," tegasnya.
Menurut Badri, tempat rehabilitasi itu hanya bisa dijalankan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) atau rumah sakit milik pemerintah.
"Jadi Kapolres itu tidak bisa membuat yayasan untuk tempat rehab," katanya.
Di sisi lain, dia juga menyayangkan sikap Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah yang telah memberikan fasilitas kepada yayasan tersebut.
"Perlu juga kami tanyakan dari mana dana mereka membuat rehabilitasi ini?" tandasnya.
Sementara itu, Kapolres Lombok Tengah AKBP Irfan Nurmasyah yang dikonfirmasi mengenai dugaan tersebut belum bisa memberikan keterangannya kendati telah dihubungi beberapa kali. (mcr38/jpnn)
Redaktur : M. Adil Syarif
Reporter : Edi Suryansyah