jpnn.com - BANDUNG - Sepanjang mata memandang tak tampak reklame produk bir, kondom dan lainnya seperti biasa dijumpai di lokalisasi. Sepintas hanya terlihat hunian rumah tangga. Gambaran itulah yang terlihat di Lokalisasi Saritem Bandung.
Lokalisasi terbesar di Bandung, bahkan kokon terbesar se-Jawa BArat itu memang telah ditutup sejak 2007, namun bukan berarti aktifitas prostitusi telah mati. Sejumlah calo yang nongkrong di Jalan Saritem menjadi bukti jika lokalisasi yang konon ada sejak awal 1906 itu masih menggeliat.
BACA JUGA: Korsleting Jangan Disiram Air
Para calo itu akan menyapa ramah. Mereka memberikan kode dan biasa berkata lirih, "Cari Aa,"? pada setiap pria yang melintas. Seperti halnya sales produk, calo itu akan memberikan informasi lebih detail pada setiap pria yang merespon penawaran.
Informasi soal tarif kencan sudah pasti menjadi kalimat pembuka. Harga yang biasa ditawarkan antara Rp 150 ribu, Rp 300 ribu hingga Rp 500 ribu. Iming-imingnya untuk harga yang terakhir itu ialah pekerja seks yang ditawarkan kaya artis.
BACA JUGA: ABG Otaki Aksi Pencurian Motor
Jika si calo bisa closing, dia akan mengantarkan tamu masuk ke lorong-lorong gang di wilayah Saritem. Kendaraan tamu cukup diparkir di tepi Jalan Saritem.
Kalau menggunakan motor biasanya diarahkan parkir di rumah warga. Pasalnya lorong-lorong gang di Saritem memang sangat sempit. Untuk berpapasan antara orang dan motor saja sulit. Gambarannya persis seperti gang di Jarak dan Putat Jaya.
BACA JUGA: Awas, 8 Perlintasan KA di Bandung Tak Berpalang
Biasanya para calo itu akan memanggil satu-dua pekerja seks komersial (PSK) sebagai sample. Jika cocok dengan perempuan yang dibawa, tamu akan diarahkan ke wisma tempat eksekusi. Kalau tak cocok calo akan membawa kita masuk dari wisma ke wisma.
Seperti guide di tempat wisata yang mengantarkan kita dari satu spot wisata ke spot wisata berikutnya.
Cocok? Ya tinggal bayar ke calo. Mereka sendiri yang akan menyelesaikan pembayaran ke mami atau mucikari. Sekali lagi, gambaran wisma di lorong-lorong Saritem berbeda di gang Dolly, Putat Jaya ataupun Jarak. Tidak ada tulisan nama wisma juga sponsor bir atau kondom.
Ada memang wisma yang memajang pekerja seks di kursi leter L. Tapi itu jumlahnya tidak banyak, 1 sampai 3 orang saja. Kebanyakan justru wisma tampak seperti hunian rumah tangga. Jadi agak sulit membedakan mana wisma atau bukan jika tanpa panduan calo.
Itulah Saritem, sebuah ikhtiar penutupan lokalisasi oleh pemerintah yang tidak tuntas dilakukan. Kegagalan penutupan itu mungkin bisa menjadi pelajaran bagi Pemkot Surabaya dan pihak terkait.
Tidak adanya tindak lanjut dari penutupan dan penegakan aturan yang setengah hati menjadi faktor utama mengapa bisnis esek-esek di sekitar Saritem masih menggeliat.
Penutupan Saritem dilakukan di era Walikota Dada Rosada. Dengan dasar Perda No 11/1995, semua ditargetkan mulai November 2006 semua kompleks lokalisasi ditutup. Dan realisasinya pada 17 April 2007 pukul 24.00 WIB, Saritem resmi stop beroperasi.
Penutupan itu ditandai dengan penyegelan. Seperti pemkot Surabaya, Pemkot Bandung juga melakukan upaya pembelian wisma. Tujuannya agar aktifitas berhenti.
Jawa Pos menjumpai memang ada beberapa lahan kosong bekas seperti rumah diratakan. Di lahan kosong itu ada patok bertuliskan Pemkot Bandung. "Itu rumah-rumah yang dibeli pemkot," kata seorang warga.
Sejak 2007, kabarnya ada sekitar 20an wisma yang sudah dibeli Pemkot. Data dari Polsek Andir yang membawahi wilayah Saritem menyebut wisma tersebar di dua RW. Dengan jumlah wisma sekitar 40-60 rumah dan menampung kurang lebih 200-an PSK.
Mapolsek Andir berada lingkungan Saritem. Namun mereka tidak memiliki jumlah pasti berapa rumah yang masih berstatus wisma. "Yang jelas jumlahnya turun dibanding sebelum penutupan," ujar Kanitbinmas Polsek Andir Aiptu Kurniawan saat ditemui Rabu (18/6).
Melihat kondisi prostitusi di Saritem memang miris. Bahkan jika hari mulai petang, para calo bergerilya mencari tamu hingga depan Mapolsek Andir. Mapolsek itu lokasinya memang persis di pintu masuk Jalan Saritem. Upaya pembiaran tampak sekali terjadi.
Polisi melempar tanggung jawab terkait hal itu. Kapolsek Andur AKP Irwansyah mengatakan, penutupan lokalisasi menjadi tugas utama pemkot. Kepolisian hanya bersifat membackup.
"Tanggungjawab utamanya kan ada di pemkot seperti Dinas Sosial, Satpol PP dan Dinas Kependudukan. Kita hanya backup saja," kata alumnus Akpol 2003 itu.
Tidak adanya program tindak lanjut dari penutupan menjadi alasan polisi hanya wait and see. Namun Irwansyah tidak mau disebut pihaknya tidak ada upaya membendung prostitusi di wilayahnya. Dia mengaku razia juga kerap dilakukan. "Kita juga sering razia narkoba dan miras," kilahnya.
Selain tidak adanya program berkesinambungan dari pemkot, polisi juga tidak berani melakukan penindakan yang bisa memberikan efek jera. Kalaupun ada, penindakan sifatnya hanya tindak pidana ringan. Padahal celah menerapkan hukuman berat ada.
Polsek Krembangan pernah melakukan hal tersebut saat menindak mucikari yang masih nekat beroperasi di eks Lokalisasi Bangunsari dan Kremil Surabaya. Kedua lokalisasi itu memang telah resmi ditutup Pemkot Surabaya.
Untuk menimbulkan efek jera, ketika itu Polsek Krembangan melakukan penangkapan mucikari yang diduga menjalankan praktek prostitusi.
Pasal yang dikenakan pun tidak main-main. Bukan sekedar pengenaan pasal 506 KUHP, melainkan juga dijerat dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) No 21/2007 dengan ancaman hukuman lima tahun penjara. Pengadilan pun akhirnya memutus mucikari bersalah dengan vonis 4 tahun penjara.
Artinya penutupan lokalisasi memang butuh kesungguhan peran semua pihak. Bukan saja program pemberdayaan masyarakat yang berkesinambungan yang perlu dilakukan. Penegakan hukum juga harus dilaksanakan maksimal. Jika tidak maka bisa saja peninggalan Mami Dolly di Surabaya itu akan bernasib sama seperti jejak Nyi Saritem di Bandung. (gun/kim)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Soal Terminal, Duet Bogor Masih Adu Gengsi
Redaktur : Tim Redaksi