jpnn.com, JAKARTA - Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) M. S. Karliansyah menegaskan bahwa udara Ibu Kota Jakarta tergolong masih baik dibandingkan kota-kota lain di dunia yang disergap polusi udara.
“Kami punya alat pemantau kualitas udara dan hasil pemantauan alat kami memperlihatkan kualitas udara Jakarta cukup baik. Karena itu laporan Greenpeace yang menyebut kualitas udara Jakarta terburuk se-Asia Tenggara, tidak tepat,” tegas Karliansyah dalam keterangan pers di Kantornya, Ditjen PPKL Kementerian LHK, Jalan DI Panjaitan Kav 24, Kebon Nanas, Jakarta Timur, Selasa (12/3) siang.
BACA JUGA: Iriana Jokowi Pimpin Penanaman Mangrove di 10 Provinsi
Didampingi Direktur Pengendalian Pencemaran Air, Luckmi Purwandari dan Sekretaris Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Sigit Reliantoro, Dirjen Karliansyah menunjukkan sejumlah data untuk meng-counter laporan Greenpeace tersebut.
BACA JUGA: So Ji Sub Tampil Cantik demi Fans Jakarta
Belum lama ini, Greenpeace berdasarkan laporan dari World Air Quality Report merilis data kualitas udara Jakarta yang disebutnya terburuk se-Asia Tenggara. Disebutkan, konsentrasi PM 2,5 tahun 2018 tingkat polusinya mencapai 45,3 g/m3. Artinya konsentrasi PM 2,5 di Jakarta sampai empat kali lipat dari batas aman tahunan menurut standar WHO yakni 10 g/m3.
Untuk meluruskan laporan Greenpeace tersebut, Dirjen PPKL Karliansyah menegaskan bahwa kualias udara Jakarta masih cukup baik, tidak seperti diungkap Greenpeace.
BACA JUGA: Menjaga Benteng Terakhir Jilatan Kepala Api
"Memang kami merekam pada 2018, ada hari yang tidak baik. Dari 365 hari, ada 196 hari kualitas udara buruk dan 34 hari kualitas udara baik. Sisanya kualitas udara sedang. Ada tapi kalau dikatakan terburuk, terjelek di Asia Tenggara tidak. Begitu juga kualitas udara rata-rata harian di Jakarta masih baik, tidak seperti yang dipaparkan Greenpeace,” papar Karliansyah sambil menyatakan Kementerian LHK punya alat ukurnya.
Sambil memperlihatkan data melalui proyektor, Karliansyah menjelaskan dari data harian Jakarta itu 57, kalau WHO itu 25 mikogram. Standart nasional kita masih baik mutu.
Karena itu, Karliansyah mempertanyakan alat ukur yang dipakai oleh Greenpeace. Pasalnya, berdasarkan alat yang dipakai untuk pemantauan kondisi udara dengan PM 2,5 tidak seburuk itu.
“Saya dan teman-teman di sini bertanya Greenpeace pakai data apa, metode dan instrumen apa, karena Kami yakin beliau-beliau pernah ke sini dan kami ajak ke lantai tiga di AQMS Center atau jaringan pemantau kualitas udara," katanya.
Namun ketika didesak wartawan apa dan mengapa Greenpeace merilis data yang demikian itu, Karliansyah hanya tersenyum dan hanya mengatakan, “Kalau soal itu, saya gak tahu. Yang jelas, kami punya alat pemantau udara.
Setelah acara konferensi pers, wartawan diajak ke lantai 3 Gedung Ditjen PPKL KLHK itu untuk melihat bagaimana alat pemantau udara itu beroperasi.
Perbaikan Kualitas Udara
Lebih lanjut, Dirjen Karliansyah menyebutkan KLHK sudah memiliki 14 Stasiun Pemantau Udara yang ditempatkan di Banda Aceh, Pekanbaru, Batam, Padang, Jambi, Palembang, Pontianak, Palangkaraya, Banjarmasin, Kalimantan Utara, Jakarta Pusat, Makassar, Manado, dan Mataram.
“Tahun 2019 ini kami akan memasang 13 alat pemantau udara lagi yang akan kami sebar di sejumlah kota,” katanya.
Diakui Karliansyah, sumber utama polusi udara adalah dari kendaraan bermotor yang pembakaranya kurang baik. Tetapi, jika sumber polusi dari pembangkit listrik tidak ada karena, PLTU di Muara Tawar dan Muara Karang sudah menggunakan gas sehingga tidak menimbulkan polusi.
“Dalam kaitan initudingan bahwa Jakarta dikepung polusi dampak pembangkit juga tidak benar, karena arah anginnya buka ke Jakarta,” tambahnya.
Namun demikian, Dirjen Karliansyah mengungkapkan, upaya untuk meningkatkan kualitas udara terus dilakukan, mislanya dengan pemberlakuan bahan bakar setara EURO4, lalu uji emisi kendaraan bermotor regular, pengawasan ketaatan emisi industri, penggunaan bahan bakar ramah lingkungan untuk, penghijauan/taman kota/hutan kota, pengembangan transportasi massal (MRT, LRT, Trans Jakarta dan Trans Jabodetabek) pemantauan kualitas udara regular, penerapan eco-driving (Hiba Utama, Blue Bird dan lain-lain).
“Yang perlu disebutkan juga kebijakan penerapan Car Free Day atau Hari Tanpa Kendaraan Bermotor yang setiap pekan dilakukan di sejumlah kota, ikut mendukung kualitas udara yang bersih,” tambahnya.(jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bikin Masyarakat Mandiri, KLHK Resmikan Program E-Mas Bayu dan E-Mbak Mina
Redaktur & Reporter : Friederich