jpnn.com - Petang menjelang saat tiba di Pulau Rupat. Menggunakan mobil tipe 4WD, butuh waktu lebih dari satu jam, melewati jalan-jalan kampung untuk menuju Desa Pergam, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau, salah satu desa terparah kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).
Mobil harus masuk ke jalan Hikmah, Kelurahan Pergam. Sekitar 2 Km dari jalan desa, sampai ke ujung jalan tanah, mobil terpaksa berhenti.
BACA JUGA: Kisah Perjuangan Manggala Agni I: Tak Lelah Mendinginkan Bara Api di Bawah Kaki
BACA JUGA: Kendalikan Karhutla di Riau, KLHK Pakai Teknologi Modifikasi Cuaca
"Kita hanya bisa sampai di sini. Dari sini harus menggunakan sepeda motor, jaraknya lumayan. Teman-teman Manggala Agni ada di dalam," kata Fauzi, Korlap Manggala Agni regu 2 Daops Dumai, kemarin.
BACA JUGA: Bikin Masyarakat Mandiri, KLHK Resmikan Program E-Mas Bayu dan E-Mbak Mina
Petang mulai berganti malam. Terang berganti gelap. Jauh dari pemukiman, dikelilingi kebun warga yang didominasi sawit, dan hutan. Hanya ada suara alam, sekitar 12 tim Manggala Agni bekerja melakukan pendinginan dengan alat penerangan seadanya, berupa senter yang dilekatkan di kepala masing-masing. Mereka mencari titik asap, melakukan pemadaman bara api di bawahnya, agar tidak ada yang berpotensi menjadi titik api.
"Kami harus pastikan betul tidak ada titik asap dan bara yang tersisa, bahkan bila harus kerja sampai pagi sekalipun. Karena kalau ditinggal dan ternyata terbakar lagi, maka sia-sialah proses pemadaman yang sudah dilakukan selama ini," kata Wadanru Regu II Daops Dumai, Safrudin.
BACA JUGA: Menteri Siti Nurbaya Pimpin Aksi Bersih di Pantai Teluk Penyu Cilacap
Sekitar jam 19.18 WIB, setelah memastikan di lokasi Desa Pergam sudah aman, tim baru memutuskan pulang ke titik yang bisa dijangkau mobil. Setelah meletakkan peralatan di mobil bak terbuka, mereka kemudian membuat lingkaran kecil. Mereka berdoa bersama di tengah kegelapan malam, atas keselamatan kerja hari itu, dan berharap tidak ada titik asap yang berubah menjadi titik api karena faktor angin.
Dari lokasi ini tim Manggala Agni menuju jalan Semoga Jaya, Kelurahan Terkul. Dari jalan utama desa, tim mulai masuk ke jalan tanah. Perlahan tidak ada lagi pemukiman. Hanya tersajikan kesunyian dan kegelapan hutan.
Sekitar jam 21.00 WIB, setelah perjalanan hampir 5 Km, tim baru sampai di barak. Ini bukan barak permanen, melainkan pondok kayu seadanya yang merupakan bekas milik warga. Tidak ada listrik. Penerangan dibantu dengan alat genset yang dibawa khusus. Hanya ada beberapa lampu menyala, dan dianggap benar-benar perlu.
Hanya Andalkan Senter
Tidak ada tersedia kamar mandi. Hanya ada parit kecil mengalir di depan barak, yang dimanfaatkan tim Manggala Agni untuk aktivitas bersih-bersih setelah pulang dari memadamkan api. Untuk penerangan hanya mengandalkan senter seadanya.
“Kami biasanya berpindah-pindah mendirikan tenda di lokasi terdepan titik api. Kebetulan saat kebakaran hebat di desa Terkul, inilah lokasi paling terdekat, hanya berjarak 100 meter dari lokasi,” jelas Safrudin.
Udara memang bikin sesak. Aroma lahan terbakar sangat menyeruak. Asap masih dimana-mana. Namun bagi tim Manggala Agni, kondisi ini sudah biasa. Memang resikonya besar, mereka terpaksa harus berjaga-jaga. Jangan sampai semuanya tertidur karena lelah kerja seharian, lalu angin mendadak menghidupkan titik asap menjadi titik api, dan mengepung barak kayu mereka.
“100 meter dari sini adalah kepala api, tepatnya di Kelurahan Terkul. Disinilah awal mula kebakaran besar di Rupat. Masih banyak titik asap yang harus diwaspadai menjadi titik api,” ungkap Safrudin.
Sejak akhir Januari, sudah ada empat desa terbakar, yakni Desa Kebumen, Teluk Lecah, Sri Tanjung, dan Sukarjo Mesim. Titik api juga menyasar lahan di Kelurahan Pergam, dan Kelurahan Terkul.
“Lokasi ini adalah benteng terakhir yang kami jaga. Jangan sampai titik api loncat ke Kelurahan Batu Panjang dan Desa Darul Aman. Jika dua desa ini ikut terbakar, artinya Rupat Selatan keseluruhan terbakar. Itulah yang kami jaga dengan berpindah-pindah selama sebulan terakhir,” jelas Safrudin.
Dengan luasan terbakar yang mencapai radius puluhan hektare, tim mereka yang terdiri 14 orang hampir tidak mungkin melakukan pemadaman ke tengah titik api. Mereka berjibaku hampir 24 jam, menjaga batas-batas titik api agar tidak meluas. Lokasi titik api yang tak bisa dijangkau tim darat, baru dilakukan dengan pemadaman lewat udara.
“Hal yang paling sulit adalah angin yang berputar-putar, dan asap yang menutupi area. Saat Rupat terbakar hebat kemarin, kami benar-benar bekerja dengan dikepung asap,'' kata Safrudin.
Iapun bersyukur, meski Karhutla di Rupat cukup hebat, namun titik api berhasil dipadamkan. Kini tugas merekalah di darat untuk melakukan proses pendinginan, dan ini artinya mereka membutuhkan waktu yang lebih lama lagi untuk tinggal seadanya di dalam hutan. Untuk konsumsi, mereka telah membuat jadwal piket. Ada dua orang yang bertugas jaga barak dan masak untuk konsumsi teman-temannya yang bertugas.
"Silakan istirahat sebentar, sambil bersih-bersih. Beberapa jam ke depan, kita akan lakukan patroli rutin di lokasi lahan Karhutla,” kata Safrudin mengingatkan rekan-rekannya.
Tidak ada sahutan nada protes, padahal mereka baru saja seharian pulang memadamkan titik api dan proses pendinginan yang penuh resiko. "Meski kerjanya sulit, tidak pulang-pulang ke rumah, dan bertaruh nyawa, kami bangga menjadi Manggala Agni, karena yang kami selamatkan adalah tanah kami sendiri," kata Safrudin, sambil duduk beristirahat dengan anggota timnya.(jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Presiden Didesak Eksekusi Putusan Hukum Terhadap 11 Perusahaan Pembakar Lahan
Redaktur : Tim Redaksi