Terkenang Upi dan Artidjo

Jumat, 11 September 2009 – 19:21 WIB
ENAM tahun saya tak bersua Agus Nur AmalAlumnus IKJ itu masih tetap satir tapi menghibur

BACA JUGA: Interupsi bagi Pencari Kekuasan

Petang itu, Rabu 9 September 2009, si penghikayat asal Aceh yang mewarisi gaya trubadur PM Toh, membuka pentas lakonnya tentang kebebasan bereskpresi versus pencemaran nama baik di ruang Puri Ratna, Grand Sahid Hotel Jakarta
Saya terpaku dan terkesiap.

Agus mengimaginasikan "wajah dewi keadilan" berupa boneka bocah yang, maaf, matanya dililit oleh les hitam

BACA JUGA: Ngomong Kredit Sambil Puasa

"Lihat, ia tak melihat," kata Agus
Hadirin tertawa

BACA JUGA: Minke Baru Antitesis Neoliberal

Di antaranya ada mantan Ketua Dewan Pers Atmakusumah AstraatmadjaJuga ada hakim agung Artidjo Alkostar dan Komisioner Komnas HAM Joseph Adi Prasetyo.

Agus tak hendak melucuIa serius membentangkan wajah kebebasan berekspresi dan kebebasan pers di negeri iniTatkala melihat Upi Asmaradhana, Koordinator Tolak Kriminalisasi Pers di Makassar, yang ikut hadir petang itu, Agus berseru, "Moga engkau dibebaskan, kawanku!"

Sore Rabu itu, LBH Pers merayakan HUT ke-6 di Grand Sahid Hotel Jakarta, seraya menggelar diskusi publik bertajuk "Memangkas Pembungkaman, Memupuk Kebebasan".

Sebelum acara dimulai, saya sempat berbincang dengan Upi"Kasus pencemaran nama baik kian merajalela di Makassar, Bang," kata UpiBahkan, seseorang yang ber-SMS kepada seseorang dan menulis agar yang bersangkutan bertobat di bulan Ramadhan ini, malah diadukan karena dituduh mencemarkan nama baik"Masih ada tiga kasus sejenis," kata Upi, yang berambut dikuncir itu.

Upi yang dituntut setahun penjara itu akan divonis pada 14 September 2009 ini oleh PN MakassarIa diadukan mantan Kapolda Sulsel Barat, Irjen Sisno Adiwinoto, sehubungan pernyataannya di depan para bupati dan walikota se-Sulsel pada 19 Mei 2008 laluAstaga, ia kembali digugat perdata dengan ganti kerugian immateril Rp 10 miliar.

Khoe Seng Seng, 44 tahun, divonis PN Jakarta Timur dengan hukuman pidana enam bulan penjara dalam masa percobaan setahun, pada 15 Juli 2009 silamTapi ia juga digugat perdata senilai Rp 17 miliar, walau PN mengkortingnya menjadi Rp 1 miliarUntunglah vonis itu dibatalkan PT DKI Jakarta, dan untuk perkara pidananya, Seng Seng naik banding.

Padahal Seng Seng hanya menulis surat pembaca di media terbitan Jakarta yang berjudul "Duta Pertiwi Bohong" dan "Jeritan Pemilik Kios ITC Mangga Dua", yang menurut Atmakusumah dan Yoseph Adi Prasetyo dalam diskusi publik sore itu, adalah untuk membela dirinyaLagipula, bukankah kebebasan berekspresi dijamin oleh UUD 1945?

Sore itu, teman-teman yang tersandung dengan Pasal 310 dan 311 KUHP hadir di Hotel SahidAda Iwan Piliang, Kwee Men Luang, Ahmad Taufik dan saya sendiriPrita Mulya Sari dan Risang Bima Jaya juga diundangTapi tak saya lihat sore ituWah, ini komunitas 310 & 311.

Sudah barang tentu perbuatan pencemaran nama baik tidak terpujiNamun, haruslah diverfikasi apakah kasus itu terjadi karena kepentingan publik atau sekadar kegagahan untuk mencemarkan nama baik seseorang belaka?

Artidjo Alkostar yang tampil sebagai pembicara mengklarifkasi, haruslah dilihat apakah si pengadu sudah menempuh hak jawab dan hak koreksi sebagaimana diatur oleh UU Pers? "Kok kata dibalas dengan pidana penjara," kata Hendrayana, Direktur LBH Pers, tuan rumah sore itu.

Hadiah Lebaran
Saya merasa ada something wrong, bahwa seolah-olah UU Pers yang terbit dalam gemuruh era reformasi itu hanya sekadar demi kepentingan para jurnalis sajaTidak! UU itu justru dimaksudkan juga untuk melindungi masyarakat, termasuk pengusaha dan pejabat, agar pers tak semena-mena menulis.

Dewan pers sebagai lembaga yang dibentuk pemerintah tidak akan pernah membela oknum wartawan, yang misalnya memeras sumber beritaBahkan, tak mustahil menghukum media yang menulis berita, jika tak sesuai dengan standar UU PersMisalnya, tak berimbang, tak cek-ricek dan tidak akuratDewan Pers tidak akan pernah membela media yang keblinger.

Namun kendatipun UU Pers telah berusia sembilan tahun, kasus-kasus pencemaran nama baik yang melibatkan profesi wartawan karena tulisannya, kian mekar saja"Memang, perjuangan untuk kebebasan bereskpresi dan kebebasan pers adalah perjuangan yang kesepian," kata Artidjo Alkostar.

Astaga, ada apa ini? Bukankah, UU adalah UU yang disahkan oleh DPR dan kemudian masuk ke lembaran negara dan ikut ditandatangani oleh presiden?

Menuruti asal-usul kelahiran UU Pers itu, dan jika UU itu macet atawa tak berlaku, katakanlah lebih mengutamakan KUHP ketimbang UU Pers dalam kasus pemberitaaan, semestinya pembuat UU yakni DPR dan presiden adalah pihak yang keberatanLogikanya, bahkan sebuah unjuk rasa atas "macetnya" UU Pers, haruslah dipimpin oleh Ketua DPR dan presiden.

Joseph Adi Prasetyo lebih menukik lagiIa bilang dalam diskusi publik sore itu, bahwa kebebasan pers dan kebebasan berekspresi dijamin oleh konstitusi sebagai hak asasi manusia, dan karenanya negara harus melindungi setiap warga negara yang menggunakan hak konstitusional itu.

Misalkan, dalam rangka menggunakan hak itu ada warga negara yang melakukan tindak kekerasan, maka ia akan diproses secara hukum karena tindak kekerasan ituBukan karena hak berekspresi atau kebebasan pers itu sendiri.

Lagipula, ini zaman bukanlah zaman Orde Baru yang represifPers dibisukan, bahkan diberedel, seperti nasib Majalah Tempo pada 1994 lampauTokoh demonstran bisa diculikKritik dianggap mbaleloTak ayal, kebebasan berekpresi adalah anugerah reformasi 1998, sehingga demokratisasi mulai mekar, meski belum sempurna.

Mungkin ada yang sinis dan menyindir bahwa kebebasan pers telah kebablasanTunggu, Bung! Pers yang bebas sangat mungkin melahirkan pers yang baik dan burukTapi pers yang ditekan dan dibungkam, percayalah, pasti melahirkan pers yang buruk belaka.

Misalkan, pers dibunuh, baik media cetak dan elektronik serta jaringan informasi melalui internetAduhai, betapa malangnya negeri iniPemerintah tidak tahu apa-apa tentang informasi di masyarakatKita tidak tahu perkembangan kurs rupiah atas valuta asing, bahkan informasi saham di Bursa Efek Jakarta menjadi "gelap" nian.

Janganlah lagiKarena jika sampai malapetaka itu terjadi, terulang lagi, kita serasa ditelan oleh mimpi buruk tentang Indonesia era Orde BaruIronisnya, pers suka dibesar-besarkan sebagai "ratu dunia" serta dianggap sebagai "lembaga keempat" setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Kala pulang ke Medan dalam penerbangan Kamis petang, 10 September 2009, ucapan Artidjo Alkostar terngiang-ngiang di telingaku"Perjuangan kebebasan pers adalah perjuangan yang kesepian," katanya.

Ah, tiba-tiba saya terbayang UpiMudah-mudahan Anda, kawanku, divonis bebas pada Senin 14 September 2009 iniHitung-hitung sebagai hadiah Lebaran untukmu, sehingga perjuangan kita bukanlah perjalanan yang sunyi(*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Gerbong, Suksesi & Rekonsiliasi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler