jpnn.com - Royce ulang tahun ke-42 malam itu.
Keesokan harinya, bayi yang ada dalam kandungan istrinya tidak bergerak. Padahal kandungan itu sudah berumur tujuh bulan. Yang kakinya sudah biasa menendang-nendang perut ibunya.
BACA JUGA: Anak Penyanyi Dangdut Rita Sugiarto Ditangkap Polisi di Kamar Hotel
Hari itu tidak ada tendangan sama sekali. Pun yang terlemah. Aneh. Mencurigakan. Sang istri memberi tahu Royce. Mereka langsung ke dokter terdekat.
Hari sudah malam. Sang dokter melakukan USG: benar, bayi tidak bergerak. Itu pertanda si bayi sudah meninggal.
BACA JUGA: Mobil Berpelat Dinas Polisi Disetop di Pos Penyekatan, Setelah Diperiksa, Alamak
Sang istri tidak merasakan apa-apa. Sehat-sehat saja. Tiap bulan Royce rajin membawa istri ke dokter kandungan. Selalu dinyatakan sehat. Tidak kekurangan apa pun. Jenis kelaminnya pun jelas diketahui: laki-laki.
Anda sudah kenal siapa Royce. Yang nama itu diambil dari nama belakang mobil termahal: Rolls Royce.
BACA JUGA: Oknum Guru Mengaji Ditangkap di Masjid, Ya Ampun, Perbuatannya...
Ya. Ia adalah anak yang lagi bertengkar hebat dengan bapaknya itu. Soal rebutan aset dealer dan bengkel mobil di Surabaya yang terkenal itu: Liek Motor.
Keesokan harinya, Royce membawa istrinya ke dokter kandungan lain. Yang sejak awal menangani sang istri. Hasil pemeriksaannya sama: bayi itu telah meninggal dunia di kandungan.
Harus diapakan?
Harus dioperasi. Tapi jangan dioperasi hari itu. Di layar USG masih terlihat ari-arinya belum ikut mati. Masih bergerak-gerak. Demikian juga air ketubannya, masih cukup banyak.
"Harus ditunggu satu minggu lagi. Baru boleh dioperasi," ujar dokter seperti yang ditirukan Royce.
Selama seminggu menunggu itu Royce banyak merenung: kenapa itu terjadi. Apa hubungannya dengan pertengkarannya –ia menyebut bukan pertengkaran, tetapi rebutan– dengan bapaknya. Mengapa pula terjadi hanya sehari setelah ia berulang tahun.
Royce pun ambil sikap: yang utama menenangkan sang istri dulu. Yang hari-hari berikutnya sulit tidur. "Saya dampingi terus istri," katanya.
"Kami berdua sudah berusaha maksimal. Termasuk disiplin ke dokter," ujar Royce kepada sang istri.
"Ini sama sekali bukan salah kita. Berarti ini kehendak bayi itu sendiri," ujar Royce lagi.
Yang kedua, kata Royce, bayi itu anak yang baik dan sopan. Ia meninggal setelah pesta ulang tahun bapaknya selesai.
"Anak itu tidak mau memberi hadiah ulang tahun yang menyedihkan buat papanya. Ia pilih meninggal sehari kemudian," katanya.
Yang ketiga, ujar Royce, anak itu pandai: memilih meninggal di bulan suci Ramadan.
Seminggu kemudian, Royce kembali ke dokter langganannya. Benar. Ari-arinya sudah tidak bergerak. Air ketubannya juga sudah tidak ada. Berat badan sang istri juga sudah turun 2 kg.
Saatnya operasi pengambilan mayat bayi itu dilakukan. Berhasil. Sang ibu baik-baik saja.
Royce terus merenung. Mengapa semua itu terjadi. Saat perut sang istri dibuka, tidak ada kecurigaan apa pun yang menyebabkan si bayi mati. Tali pusarnya pun masih terhubung sempurna dengan si ari-ari.
"Ini benar-benar karma," kata Royce.
Ia pun ingat orang tuanya suka adu jago. "Harusnya tidak boleh bisnis berdarah-darah," katanya.
Ternyata, simpul Royce, kepintaran saja tidak bisa menyelamatkan nyawa. Padahal dokter itu kurang pintar apa.
Demikian juga kekayaan. Biar pun ayahnya begitu kaya ternyata tidak bisa menyelamatkan cucunya.
Maka Royce seperti menimpakan semua itu sebagai karma yang dilakukan ayahnya. Namun, kali ini Royce tidak hanya menyalahkan ayah. Royce bilang memang sudah begitu watak sang ayah.
Maka Royce pindah menengok ke ibunya. "Harusnya mama yang bisa mendamaikan semua ini. Wanita harus bisa meredam emosi dan kemarahan," kata Royce.
Maka Royce pun menemui mamanya. Ia menyampaikan pemikirannya itu. Secara langsung dan terang-terangan. Termasuk ketika sang ayah juga ada bersama sang mama.
"Apakah ayah Anda tidak marah saat itu?" tanya saya.
"Tidak. Ayah itu orang pintar," jawab Royce.
"Apakah mama memenuhi keinginan Anda itu?"
"Belum. Mama kan bingung. Mau memihak anak atau suami," jawab Royce.
Namun, ia sudah sampaikan ke mamanya. Juga papanya. Bahwa moral lebih penting daripada modal. "Kalau mau kehidupan maka moral yang harus ditingkatkan, bukan modal," katanya berfilsafat.
"Sekarang tinggal mama memilih modal (papa) atau memilih moral (keturunan)," ujar Royce.
Kalau untuk mencapai modal dengan mengorbankan moral, katanya, itu yang akan mengakibatkan hilangnya kehidupan.
Bayinya yang mati dalam kandungan, kata Royce, adalah contoh akibat memilih modal daripada moral. Dan contoh itu ia alamatkan kepada papanya. Bukan pada dirinya sendiri.
"Hobi papa itu adu ayam (olah raga berdarah), ngambil haknya orang (bisnis berdarah). Ternyata itu bisa nyambung secara hukum karma ke anak cucu," kata Royce.
"Dulu Royce beranggapan karma itu ditanggung sendiri. Ternyata salah perhitungan. Bisa tembus ke anak cucu," tambahnya.
Kembali lagi Royce tidak menganggap karma itu berhubungan dengan dirinya sendiri.
Malam ketika dokter menyatakan bayi di dalam kandungan meninggal, Royce menelepon mama dan papanya. Ketika bayi dikuburkan, mama Royce dan papanya juga ikut ke pemakaman.
Royce mengatakan kepada papa-mamanya bahwa semua itu sebagai karma.
Royce mengatakan begitu sambil menatapkan matanya ke ayahnya. Bukan ke dirinya sendiri.
"Royce, soal karma itu, kelihatannya Anda selalu menunjukkan itu ke papa. Pernahkah Anda merenung bahwa itu akibat dosa Anda sendiri karena melawan papa?" tanya saya.
"Pertanyaannya, kenapa Royce melawan Papa?" Royce balik bertanya.
"Bukan begitu. Mengapa Roy berpikir karma itu terkait papa? Bukan terkait, misalnya, dosa Anda kepada orang tua?" tanya saya lagi.
"Karena orang tua selama ini enggak jelas maunya bagaimana, buktinya apakah mereka berani tampil di publik," jawabnya.
Papa Royce, Liek Moeljanto, memang tidak mau bicara ke publik. Termasuk ke Disway.
Royce tidak menyadari bahwa sikap bapaknya seperti itu justru baik. Agar pertengkaran tidak meruncing.
Yang jelas bapaknya tidak sampai memutus hubungan kekeluargaan. Termasuk tetap bersama-sama mengantar mayat sang bayi ke pemakaman. (*)
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi