Kasbi Ikut Kejar Tentara Belanda, Meneteskan Air Mata

Selasa, 21 Agustus 2018 – 00:05 WIB
Kasbi, veteran pejuang kemerdekaan, masuk Kompi IV Seksi III Batalyon III Sukowati saat usianya baru 17 tahun. Foto: Asta Yanuar/Radar Ponorogo/JPNN.com

jpnn.com - Kasbi merupakan salah satu veteran pejuang kemerdekaan yang terlibat langsung mengusir penjajah Belanda. Pria yang tinggal di Ponorogo, Jatim itu, bergabung dalam Kompi IV Seksi III Batalyon III Sukowati saat usianya baru 17 tahun. Di bawah komando Mayor Suprapto Sukowati, dia berjibaku memperjuangkan kemerdekaan demi tanah air.

NUR WACHID, Ponorogo

BACA JUGA: Sah! Pak Jokowi Naikkan Tunjangan & Dana Kehormatan Veteran

SEMILIR angin yang berembus menyejukkan pekarangan rumah di Kelurahan Kadipaten, Kecamatan Babadan. Dengan pakaian sederhana, Kasbi memegang sapu lidi membersihkan dedaunan kering di pekarangannya.

Sesekali, topi berwarna hijau yang mulai memudar dilepas untuk menyeka dagunya. Sambil duduk di salah satu pohon jati yang tertanam di pekarangan itu.

BACA JUGA: Tembakan Polisi Jitu, Tepat di Betis Beluk, Dor!

Melihat tubuhnya yang sigap dan segar, seolah tak percaya Kasbi sudah berusia 88. Berbeda dengan sejumlah veteran yang telah ditemui sebelumnya, pendengarannya pun masih baik.

Hanya, untuk mengingat serpihan ingatan di masa silam agak kesulitan. Sesekali potongan peristiwa menghadapi militer Belanda terlintas. Sesekali pula ingatan itu kembali memudar.

BACA JUGA: Balon Udara Bisa Capai Ketinggian 13 KM, Jelas Berbahaya

‘’Tahun lalu, saya masih bisa mengingat siapa-siapa sahabat saya yang ikut berjuang. Bahkan sering diundang di sekolah bercerita tentang perjuangan. Sekarang agak sulit mengingat kembali,’’ kata pasukan Kompi IV Seksi III Batalyon III Sukowati angkatan 1947 itu.

Di bawah komando Mayor Prapto Sukowati, Kasbi mempertaruhkan jiwa raganya demi tanah air tercinta ini. Dia pun rela menggadaikan masa remajanya yang saat itu menginjak usia 17 tahun.

Di ingatannya, dia mengenang warga Ponorogo sempat menjadi tahanan Belanda. Saat Kota Reyog ini dikuasai penjajah, mereka yang dituduh pemberontak dijebloskan ke penjara dekat alun-alun (sekarang gedung DPRD). ‘

’Kami sempat terdesak mundur sampai meninggalkan markas. Menyebar ke setiap penjuru kota ini, mulai timur stasiun Jetis, Sambit, Badegan, dan tempat yang aman untuk bersembunyi,’’ kenangnya.

Kondisi genting itu tidak berlangsung lama. Sebelum 1947, militer Belanda berhasil dipukul mundur. Kompeni melarikan diri dan menggalang kekuatan dengan kesatuannya di Jombang. Meski kondisi di Ponorogo berangsur kondusif, Mayor Suprapto Sukowati -pemimpin tertinggi Batalyon III- tetap memerintahkan sepertiga pasukan batalyon mengejar sampai Jombang.

Kasbi salah satunya. Dia masih ingat harus berangkat mengendarai truk gorga dari markas menuju stasiun (sekarang pasar eks-stasiun). Di Jombang, dia bergabung dengan pasukan dari batalyon daerah lainnya. Pun, warga setempat yang berani diikutkan dalam peperangan.

‘’Tidak ada syarat umur, asalkan berani, bisa ikut perang. Dan banyak yang ikut waktu itu,’’ ungkapnya.

Kasbi masih ingat betul taktik licik Belanda. Pasukan penjajah tak hanya mengandalkan perang fisik. Namun, menghalalkan berbagai cara untuk merebut tanah air tercinta. Salah satunya menjadikan orang Jawa sebagai tumbal.

Pribumi diangkat menjadi angkatan bersenjata di barisan kompeni dengan iming-iming imbalan selangit. Kondisi itulah yang membuat Kasbi sempat meneteskan air mata. Dia merasa diadu domba dengan saudara sebangsa dan setanah air.

Namun, demi kemerdekaan, dia rela berkorban dan tak gentar melawan siapa saja yang berpihak pada penjajah. ‘’Saya hanya ikuti perintah dari komandan. Kalau komandan memerintahkan berangkat, ya harus berangkat. Tidak kenal pagi, siang, malam,’’ tutur kakek 12 cucu dua buyut tersebut.

Tiga teritorial yang menjadi wilayah operasinya mulai Jombang, Mojokerto, hingga Sidoarjo. Tidak genap sebulan, Belanda kewalahan hingga dia dipulangkan ke kampung halaman. Selang satu tahun, kondisi kembali bergejolak.

Mulai terasa memanas tensi pemberontakan PKI hingga meletusnya tragedi G30S/PKI 1965 silam. Dalam perjalanan peristiwa itu dia sering dikirim ke Jember, Probolinggo, dan sekitarnya. ‘’Maaf saya tidak bisa cerita banyak lagi. Soalnya lupa, maklum ya,’’ ucapnya. *** (c1/fin)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dari Rayuan Maut Akhirnya Berujung ke Kamar


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler