jpnn.com, JAKARTA - Sosiolog dari Universitas Indonesia, Dr. Kastorius Sinaga mengatakan kontestasi Pilpres 2019 menjadi titik penting bagi kelanjutan demokratisasi di Indonesia. Hampir semua spektrum elemen demokrasi dan partisipasi politik tertuang ke dalam kontestasi ini. Mulai dari spektrum pertarungan gagasan, pengerahan instrumen teknologi media sosial, pengorganisasian sumber daya politik, overexploitasi politik berbasis identitas agama dan SARA hingga mobilisasi dukungan elektoral yang telah menjurus ke dalam keterbelahan masyarakat pemilih (electoral division).
“Semuanya nyaris sempurna terjadi di Pilpres 2019 yang lalu. Semua ini menyisakan pembelajaran politik yang berharga bagi masa depan demokrasi di Indonesia,” kata Kastorius Sinaga dalam keterangan persnya, Jumat (14/6).
BACA JUGA: MK Resmi Gelar Sidang Perdana Sengketa Hasil Pilpres 2019
BACA JUGA: Sidang PHPU Pilpres Harus Jadi Media Pendidikan Politik Rakyat
Menurut Kastorius, spektrum penggunaan kekerasan lewat jargon “people power” - dengan pola gerakan “from voting to violence” (dari pemilu ke kekerasan)- juga menandai dinamika politik Pilpres 2019 lewat kerusuhan 21-22 Mei 2019 di depan kantor Bawaslu. Untungnya, kata dia, berkat soliditas TNI-Polri, aksi kerusuhan yang hendak membajak dan merusak proses demokratisasi Pilpres 2019 dapat ditangani dengan baik dan cepat di atas koridor hukum.
BACA JUGA: Sidang PHPU Pilpres Harus Jadi Media Pendidikan Politik Rakyat
Lebih lanjut, Kastorius mengatakan pascakerusuhan 21-22 Mei proses demokratisasi Indonesia kembali ke “jalur rel” yang sebenarnya lewat kanalisasi sengketa pemilu ke ranah hukum dan persidangan Mahkamah Konstitusi, lembaga yang menurut konstitusi kita menjadi tempat penyelesaian “electoral disputes”.
Oleh karena itu, sidang MK menjadi katalisator penting untuk melakukan kanalisasi dan mereduksi konflik politik elite berbasis elektoral menjadi sengketa hukum pemilu semata. Pada gilirannya proses sengketa di MK kelak akan memperkukuh proses konsolidasi demokrasi di Indonesia.
BACA JUGA: Menurut Wayan, Langkah Tim Kuasa Hukum 02 tak Sesuai Aturan
Artinya, menurut Kastorius, keputusan MK bersifat final dan mengikat. Siapa pun yang hendak mengganggu dan menolak putusan MK lewat tekanan massa harus dipandang sebagai aksi destruktif dari kelompok “anti demokrasi” yang memang masih marak di Indonesia. Sebaliknya, apapun keputusan MK harus dilihat sebagai bagian yang tak terlepas dari proses konsolidasi demokrasi di Indonesia.
“Konsolidasi demokrasi akan melahirkan stabilitas politik lewat mana tujuan demokrasi yang sesungguhnya, yaitu kemajuan sosial, kesejahteraan masyarakat dan keadilan, dapat dicapai secara bersama-sama,” tegas Kastorius.(fri/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Masyarakat Diminta Hormati Jalannya Sidang Sengketa Pilpres 2019
Redaktur & Reporter : Friederich