jpnn.com, JAKARTA - Peneliti ASA Indonesia Institute Reza Indragiri Amriel menyampaikan analisis soal kasus anggota Brimob Polda Riau dimintai setoran Rp 650 juta oleh komandannya, Kompol Petrus Hottiner Simamora.
Konon Kapolda Riau Irjen Mohammad Iqbal sudah mencopot Kompol Petrus dari jabatan Komandan Batalyon Detasemen B Brimob Manggala Junction Polda Riau.
BACA JUGA: Komjen Gatot Sudah Terima Laporan dari Irjen Iqbal Kasus Kompol Petrus, Oh Ternyata
Pencopotan jabatan oknum polisi di Satuan Brimob itu berkaitan dengan anak buahnya Bripka Andry Darma Irawan yang mengaku dimintai setoran total Rp 650 juta oleh Kompol Petrus.
Belakangan juga viral tangkapan layar WhatsApp berupa bukti Chat permintaan setoran dari Kompol Petrus dengan Bripka Andry.
BACA JUGA: MK Disarankan Menunda Putusan Jika Sistem Pemilu Diubah jadi Proporsional Tertutup
"Bukti chat ini mengingatkan saya pada bukti chat antara Teddy Minahasa (TM) dan Dody Prawiranegara (DP)," kata Reza dihubungi JPNN.com, Kamis (8/6).
Reza menjelaskan dalam chat-nya, TM menulis; tukar sabu dengan trawas, bonus buat anggota (emoji tertawa). Lalu DP merespons: Siap, tidak berani.
BACA JUGA: Polda Riau Didesak Usut Pidana Pemerasan Kompol Petrus Terhadap Bripka Andry
Dalam pemaknaan pria yang juga pakar psikologi forensik itu, TM memakai emoji tertawa, sedangkan para pihak di chat Andry-Petrus tidak memakai emoji.
Artinya, kata dia, pesan TM tidak cukup dimaknai berdasarkan kata yang tercantum di dalam WA-nya. Emoji juga harus diperhatikan, karena itu memberikan emosi dan konteks yang bertolak belakang dengan kata.
"Gaya bahasa menjadi penting dipahami. Alhasil, pesan TM bukan merupakan perintah, melainkan bernuansa senda gurau, sindiran, dan sejenisnya," jelasnya.
Sementara, pada chat Andry-Petrus, pemaknaan terhadap kata sudah mencukupi karena tidak ada emoji, apalagi emoji yang menghadirkan emosi dan konteks yang bertentangan.
"Jadi, komunikasi Andry-Petrus dapat dipahami sepenuhnya sebagai perintah dan kepatuhan," lanjutnya.
Sarjana psikologi dari UGM itu mengatakan pada chat TM-DP, DP merespons dengan penolakan, sehingga, pasca-WA DP tersebut, makin tegas pemaknaannya bahwa tidak terjadi penukaran sabu dengan trawas.
Sebaliknya, Andry dan Petrus berkomunikasi secara linear. Yang satu memberikan instruksi, yang lain mematuhi.
Karena linear, katanya, maka ditafsirkan bahwa selanjutnya terjadi perbuatan pidana sebagaimana yang diinstruksikan.
Karena diklaim sudah terjadi penyetoran dana, maka perlu dicek seluk-beluk penyerahan dana tersebut. "Cek bagaimana serah terima uang itu dilakukan. Buktikan," ujarnya.
Lalu, pada kasus TM-DP, lanjutnya, DP disebut-sebut menjual sabu sebagai cara untuk memperoleh modal dalam rangka "menembak Mabes" (suap) agar kariernya bisa terjamin.
Sementara, kasus Andry-Petrus terungkap setelah bawahan dimutasi betapapun sudah setor uang ke atasan.
Reza menilai ulah DP dan kasus Andry-Petrus mengindikasikan adanya sistem mutasi dan pengembangan karir (manajemen SDM) pada institusi Polri yang tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Merit system terkesan dikesampingkan. Justru faktor-faktor X yang tidak bisa dipertanggungjawabkan lebih memengaruhi perjalanan karier personel.
"Wajarlah jika personel merasa diperlakukan tidak secara profesional," ucap pria yang pernah mengajar di STIK/PTIK itu.
Di sisi lain, Reza menyebut pada dimensi individu, patut ditelaah alasan-alasan personel kepolisian sampai mengait-ngaitkan kariernya dengan pelicin.
Pertama, corruption by greed. Personel tidak sabar, sehingga dia manfaatkan uang untuk mengintevensi sistem guna mempercepat kariernya. Kedua, corruption by system. Personel menyogok karena tidak tersedia jalan lain guna mengamankan kariernya.
"Sistem lembagalah, bukan si personel, titik awal terjadinya korupsi," kata penyandang gelar MCrim dari University of Melbourne Australia itu.(fat/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam