jpnn.com - JAKARTA - Kasus Din Minimi bisa jadi pintu masuk bagi pemerintah pusat untuk mengevaluasi pemerintahan di daerah yang mendapat status otonomi khusus (otsus), yakni Aceh dan Papua.
Sebab menurut Ketua Komisi I DPR RI, Mahfudz Siddiq, otonomi khusus membawa konsekuensi penggelontoran anggaran yang cukup besar ke Aceh dan Papua.
BACA JUGA: KPK Ungkap Strategi Khusus Menggarap RJ Lino
"Ada indikasi kelompok Din Minimi dan OPM di Papua hanya sebagai reaksi atas ketidakpuasan mereka terhadap penyelenggaraan pemerintah di daerah. Ini harus jadi pintu masuk bagi pemerintah untuk mengevaluasi efektifitas penyelenggaraan pemerintahah daerah berstatus otonomi khusus," kata Mahfudz, di Jakarta, Senin (4/1).
Din Minimi, menurut Mahfudz, adalah bagian dari eks kombatan GAM. Jadi bukan kelompok baru.
"Mereka angkat senjata karena terkait efektifitas penyelenggaraan Pemda, yang semuanya ada dalam kerangka MoU Helsinki. Karena itu selain pendekatan hukum, pendekatan politik bisa dipakai," sarannya.
BACA JUGA: Kejagung Harus Usut Semua Yang Terlibat Kasus Mobil 8
Penyebab yang sama, lanjut politikus PKS ini, juga terjadi di Papua. "Saya yakin untuk kasus Papua, orang terlibat OPM bisa jadi mereka kecewa dengan proses pembangunan di Papua. Anggaran sudah besar, otonomi khusus, tapi pemerintah pusat tidak pernah evaluasi sejauhmana efektifitasnya," tegasnya.
Padahal imbuhnya, otonomi sudah diberikan dan diperkuat dengan anggaran cukup besar. "Jangan sampai semuanya jadi bagian (tanggung jawab) pemerintah pusat padahal masalahnya sesungguhnya ada di Pemda," pungkasnya.(fas/jpnn)
BACA JUGA: Inilah Langkah Lanjutan Bang Yos Rangkul Din Minimi
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dianggap Tak Paham Asset Recovery, Komnas HAM Panggil Jaksa Agung
Redaktur : Tim Redaksi