jpnn.com - JAKARTA – Proses hukum yang dilakukan Kejaksaan Agung atas kerja sama Indosat dengan Indosat Mega Media (IM2) oleh terus menyisakan perdebatan. Bahkan, protes semakin keras terdengar pasca-eksekusi putusan atas mantan Direktur Utama IM2, Indar Atmanto ke LP Sukamiskin, Bandung.
Tak tanggung-tanggung, surat kabar New York Times termasuk ikut menyoroti kasus itu. Permasalahan IM2 disejajarkan dengan Chevron dan Merpati yang mantan penanggung jawab perusahaannya sama-sama dijebloskan ke Lapas Sukamiskin.
BACA JUGA: Pengacara KPK Ingatkan Hakim Sarpin Tak Merusak Sistem Hukum
Pada 11 Februari 2015, kontributor New York Times untuk Indonesia, Joe Cochrane menulis tentang kasus-kasus itu. “Alih-alih mendapat pujian, justru kasus-kasus tersebut sangat terkesan bahwa para jaksa lebih mementingkan mengejar karir dan para hakim tidak ingin dicap lembek dalam pemberantasan kasus korupsi. Ini kan sangat mengkhawatirkan ,” tulis Joe lewat berita bertajuk "Indonesia’s Graft Fight Strikes Fear Even Among the Honest".
Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Masyarakat Telekomunikasi Indonesia (Mastel), Eddy Thoyib sambil terkikik merespon positif pemberitaan tersebut. Menurutnya, media asing agak sedikit terlambat mengangkat permasalahan kriminalisasi ke permukaan. Pasalnya, kasus-kasus tersebut sudah menjadi perdebatan sejak satu setengah tahun yang lalu.
BACA JUGA: Andai Tak Melantik BG jadi Kapolri, Ini 3 Risiko untuk Jokowi
Bagi Eddy yang memonitor kerjasama Indosat – IM2 secara rutin, permasalahan ini sudah sewajarnya menjadi perhatian. "Itu sudah sejak satu setengah tahun yang lalu, kasus itu bukan saja masalah kepastian hukum, tapi keamanan investasi," ujar Eddy saat dihubungi wartawan, Minggu (15/2).
Mastel sendiri sudah menyuarakan protes kepada penegak hukum sejak lama. Bagi mereka yang berkecimpung di dunia telekomunikasi, kerjasama Indosat – IM2 sudah jamak dilakukan sehingga tidak ada yang menjadi masalah.
BACA JUGA: MA Bisa Batalkan Putusan BG dan Beri Sanksi Hakim
Bahkan menteri komunikasi terdahulu, Tifatul Sembiring sudah secara jelas menyatakan hal itu. Tifatul diketahui mengirim surat pada Jaksa Agung dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait kerjasama Indosat – IM2.
Karenanya, wajar jika kemudian pihak asing merasa terusik dengan diperkarakannya kasus ini. Negara-negara lain rata-rata memiliki saham perusahaan yang bergerak di industri telekomunikasi. Telkom misalnya, perusahaan pelat merah itu terdaftar sebagai emiten di di New York Stock Exchange.
Sedangkan snak perusahaan Telkom, yakni Telkomsel sebagian sahamnya dimiliki perusahaan Singapura, Singtel. Sementara Indosat sendiri juga sebagian sahamnya dimiliki oleh Qatar, sama seperti XL yang sahamnya dimiliki dengan Axiata, perusahaan Malaysia. "Semua perusahaan komunikasi ada saham asing," lanjut Eddy.
Nah, atas nama keamanan berinvestasi dan kepastian hukum, ia meminta pemerintah berbuat sesuatu agar Indonesia tidak diposisikan di area yang tidak aman untuk investasi asing. Sayangnya, kata Eddy, pemerintah malah bersembunyi dengan dalih eksekutif tak bisa menyampuri urusan yudikatif. "Masalahnya adalah pemerintah selalu bersembunyi di balik kata-kata: semua itu di ranah hukum," ujar Eddy.
Ia menambahkan, saat ini masih ada celah hukum asal ada dukungan dari pemerintah. Momentum peninjauan kembali (PK) harusnya bisa dimanfaatkan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk merebut perhatian dunia internasional.
"Masih ada celah hukum melalui PK. Asal peninjauan kembali itu dapat jaminan bahwa PK diberlakukan dengan baik," tukas Eddy.(indopos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kubu BG Yakin 100 Persen Menang di Prapeââ¬Å½radilan
Redaktur : Tim Redaksi