jpnn.com - JAKARTA - Wakil Presiden Jusuf Kalla menanggapi perkembangan kasus tuduhan pelanggaran dalam kerja sama antara Indosat-IM2 pada penyelenggaraan 3G di frekuensi 2.1 GHz.
Menurut JK, masalah yang kini terjadi di IM2 seharusnya tidak perlu terjadi, jika regulator sudah menyatakan tidak ada kesalahan, maka hasilnya tidak ada kesalahan.
BACA JUGA: Kader KMP Minta Ical Tak Menuruti Kemauan KIH
"Kasus itu akan dianggap salah kalau melanggar aturan. Kalau yang membuat aturan mengatakan tidak salah, ya tidak ada yang salah," kata JK di Jakarta, Kamis (13/11) malam.
Menurutnya, masalah ini menyangkut penafsiran hukum. "Saya kira ini hanya masalah penafsiran hukum saja. Saya yakin tidak ada maksud Indosat untuk melanggar hukum. IM2 kan anak perusahaan, hanya pisah entitas. Saya yakin tidak ada maksud macam-macam untuk melakukan perbuatan melanggar hukum," tandas JK.
BACA JUGA: KPK Periksa Dirjen Planologi Kemenhut terkait Kasus Riau
Sebelumnya, kemarin Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah meminta agar Kejaksaan Agung menunggu kejelasan hukum atas dua putusan kasasi yang berbeda dari Mahkamah Agung. Kejaksaan harus menghormati keputusan kasasi Nomor 263 K/TUN/2014 tertanggal 21 Juli 2014, yang isinya menolak kasasi yang diajukan Deputi Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Bidang Investigasi atas putusan PTUN perkara IM2.
Dalam putusan PTUN di tingkat pertama dan banding, PTUN memutuskan hasil perhitungan BPKP bahwa ada kerugian negara Rp 1,3 triliun dalam perkara IM2, adalah tidak sah. Dengan penolakan kasasi BPKP oleh MA atas putusan PTUN, maka perhitungan kerugian negara di kasus IM2 versi BPKP tidak sah dan tidak memiliki dasar hukum.
BACA JUGA: Gubernur pun tak Tahu Ada Pulau Susi di Aceh
“Saya tidak tahu kenapa Kejaksaan ngotot untuk menyita aset IM2 – Indosat, padahal kan dari putusan PTUN soal penghitungan BPKP sudah dibatalkan, jadi dasar hukum penyitaan itu apa?” ujar Fahri.
Kejaksaan harus menghormati putusan PTUN perihal tidak ada kerugian negara di kasus IM2. Hal itu sesuai dengan Pasal 72 ayat 1 dan pasal 81 ayat 2 UU tentang Administrasi Pemerintahan, bahwa badan dan/atau pejabat pemerintahan wajib melaksanakan keputusan yang telah dinyatakan tidak sah atau dibatalkan oleh pengadilan.
Apabilla ketentuan tersebut tidak dilaksanakan, maka badan dan/atau pejabat pemerintahan akan dikenakan sanksi administratif.
Hal tersebut juga tertuang dalam Surat Edaran. Nomor 07 tahun 2014 tentang Pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara yang termasuk ditembuskan kepada Jaksa agung.
Anggota Komisi I DPR RI dari raksi Partai Golkar Meutya Hafidz juga meminta agar Kejaksaan Agung menunggu kejelasan hukum atas dua putusan kasasi yang berbeda dari Mahkamah Agung. “Ini demi kepastian hukum, dan demi iklim investasi khususnya di bidang telekomunikasi yang kondusif,” ujar Meutya.
“Kejaksaan Agung sebaiknya bersabar, kasus ini juga sudah masuk dalam RDPU Komisi I dengan Mastel, dan saat ini sedang kita pelajari juga,” ungkap Meutya.
Sebagai informasi, Komisi I DPR RI yang dipimpin oleh Tantowi Yahya telah melakukan RDPU dengan Masyarakat Telekomunikasi (bersama BRTI, APJII dan ATSI) dan sempat membahas masalah penyelesaian kasus ini.
Ketua Umum Mastel Setyanto P. Santosa mengatakan, dengan adanya kasus IM2 membuat iklim usaha di bidang ICT menjadi terganggu karena kasus ini telah menciptakan ketidakpastian hukum bagi investor dan pekerja yang bekerja di sektor ini. Setyanto juga menyampaikan permintaannya kepada Komisi I DPR agar menolak segala bentuk kriminalisasi di bidang TIK.
“Kasus IM2 ini sangat khas. Kawan-kawan dituduh memakai frekuensi padahal yang dipakai adalah jaringan. Pada waktu itu dihadapan hakim dan jaksa sudah kami sampaikan secara detil. Bahkan dengan penjelasan ini pula Menteri Tifatul berani pasang badan karena memang tidak ada pelanggaran yang dilakukan IM2,” ujarnya.
Kekhasan lainnya, lanjut Setyanto terkait perhitungan kerugian negara hasil audit BPKP. Dalam kasus Tipikor, putusan MA menetapkan adanya kerugian negara sebesar Rp 1,3 triliun sehingga Indar divonis 8 tahun penjara dan IM2 dihukum harus membayar ganti rugi sebesar Rp 1,3 triliun.
Namun, dalam ranah TUN, MA justru memperkuat putusan PTUN Jakarta pada tingkat kasasi yang memutuskan bahwa audit BPKP yang menjadi dasar perhitungan kerugian negara sebesar Rp 1,3 triliun tidak sah dan memerintahkan BPKP untuk mencabutnya. (sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Butuh 100 Tahun Sejajarkan Kawasan Timur dengan Wilayah Barat Indonesia
Redaktur : Tim Redaksi