Arif adalah seorang pekerja di Jakarta yang saat ini sedang menjalani isolasi mandiri di rumahnya, setelah salah satu rekan kerjanya dinyatakan tertular virus corona.

"Ayah …, ayah …," seru bocah berusia tiga tahun setiap mendengar pintu pagar rumah dibuka, sambil berlari memeriksa apakah itu benar ayahnya yang pulang dari kantor, cerita Arif.

BACA JUGA: ABC Evakuasi Wartawannya dari Tiongkok

Padahal Arif berada di dalam rumah, "bersembunyi" di lantai dua karena sedang menjalankan isolasi mandiri.

"Tiap mendengar dia berteriak 'ayah.. ayah' hati ini rasanya jadi sedih. Miris aja rasanya, bisa mendengar suaranya tapi nggak bisa menjawab dan nggak bisa melihat," tutur Arief.

BACA JUGA: Anggota DPRD Sumbar Meninggal Dunia Karena Covid-19, Kami Turut Berduka

Arief dan istrinya memutuskan untuk mengatakan jika ayahnya pergi bekerja, karena merasa anaknya masih terlalu kecil untuk bisa mengerti soal isolasi mandiri.

"Kalau dia tahu saya ada di atas, nanti dia minta ikut naik dan main," tambah Arief.

BACA JUGA: Tenaga Kesehatan Apresiasi Insentif dari Pemerintah

Arief memutuskan melakukan isolasi mandiri setelah teman sekantornya terdiagnosa positif COVID-19 dan saat ini ia masih menunggu hasil tes PCR mandiri yang sudah dilakukannya Kamis pekan lalu. Photo: Sejak masa pandemi, kantor tempat Arief bekerja sudah membuat kebijakan 50 persen karyawan bekerja dari rumah/ foto ilustrasi (ANTARA FOTO/MUHAMMAD ADIMAJA/HP)

 

Kantor tempatnya bekerja sebenarnya telah menerapkan aturan wajib memakai masker dengan penjadwalan kerja 50-50, yang artinya hanya 50 persen dari total karyawan yang bekerja di kantor, sementara sisanya bekerja dari rumah.

Saat berada di kantor sebelum isolasi mandiri, Arif mengatakan sejumlah protokol telah diberlakukan di tempat kerjanya.

"Satpam setiap hari mengecek suhu tubuh dengan thermogun. Tapi kalau sudah di ruangan tidak ada yang mengawasi, jadi banyak yang lepas masker juga," jelas Arief yang juga mengatakan ruangan kantornya hanya boleh berisi 15 orang atau setengah dari jumlah normal.

Arief juga mengaku sudah membatasi kontak dengan orang lain saat berada di kantornya.

"Kalau kondisinya normal, saya bisa bertemu seratus orang lah saat jam istirahat, tapi sebulan terakhir saya batasi hanya [berinteraksi dengan] sepuluh orang yang itu-itu saja," kata karyawan salah satu BUMD di Jakarta itu.

Kepada Hellena Souisa dari ABC Indonesia, Arif mengatakan salah satu teman kantornya tertular istrinya, setelah hasil tes swab dari orang tersebut diumumkan Selasa pekan kemarin.

"Hari Rabu [keesokan harinya] saya langsung isolasi mandiri, karena kalau mengikuti prosedur kantor, harus di-rapid test dulu semua [orang], kalau non-reaktif baru di-swab. Itupun rapid-nya baru dilakukan hari Jumat, kelamaan untuk saya," jelasnya. Photo: Jurnal sederhana yang dibuat oleh salah satu pasien COVID-19 yang melakukan isolasi mandiri. (Foto: istimewa)

 

Di kantor Arief saat ini diketahui sudah ada tujuh orang yang positif dinyatakan tertular virus corona, termasuk teman kerjanya tersebut.

Selama berada di rumah, Arif bukan saja harus menahan perasaannya karena tidak bisa merespon panggilan anaknya, tapi juga cara ia berinteraksi dengan anggota keluarganya

"Makanan diletakkan di tangga, menggunakan peralatan makan sekali pakai yang bisa langsung buang," ujarnya.

"Saya khawatir banget karena ada anak kecil di rumah, mudah-mudahan hasilnya besok negatif. Tetapi kalau positif, berarti anak dan istri saya juga harus langsung di-swab," pungkas Arief. Waspada klaster keluarga

Pengalaman Arief adalah contoh bagaimana usaha isolasi mandiri dilakukan akibat penularan di tempat kerja yang berasal dari keluarga para pekerjanya.

Klaster keluarga ini menjadi perhatian Presiden Joko Widodo saat membuka Sidang Kabinet Paripurna untuk Penanganan Kesehatan dan Pemulihan Ekonomi tahun 2021 pada Senin hari ini (07/09).

"Hati-hati di klaster keluarga. Sampai di rumah merasa aman, justru di situ harus hati-hati. Sampai kantor merasa aman, kita lupa bahwa di dalam kantor pun harus menerapkan protokol kesehatan," kata Jokowi yang disiarkan langsung di kanal Youtube Sekretariat Presiden.

Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia, Pandu Riono pernah mengatakan jika klaster keluarga sebagai salah satu penyumbang kasus COVID-19 terbanyak di DKI Jakarta.

Selain mencontohkan penularan kasus positif penyidik senior KPK Novel Baswedan, Pandu juga mengingatkan kasus pasien pertama di Indonesia enam bulan yang lalu sebagai contoh klaster keluarga. External Link: TWITTER NB

 

"Sejak dilaporkan kasus COVID-19 nomor 1, 2, dan 3, itu contoh klasik klaster Rumah Tangga," kata Pandu.

Selain di DKI Jakarta, maraknya klaster keluarga juga sudah lebih dulu disampaikan oleh Wali Kota Bogor, Bima Arya Sugiarto dalam diskusi online yang digelar ABC Indonesia dua pekan lalu.

Saat itu Bima yang juga penyintas COVID-19 mengakui adanya peningkatan trend kasus COVID-19 di kota Bogor yang berasal dari klaster keluarga, yang menurutnya "mengkhawatirkan".

Minggu kemarin (06/09), Bima mengatakan ada 48 keluarga menjadi klaster dengan jumlah anggota keluarga terkonfirmasi positif COVID-19 ada 189 orang.

"Akumulasi kasus positif COVID-19 di Kota Bogor seluruhnya ada 553 orang, sehingga persentase kasus positif COVID-19 di klaster keluarga ada 34,17 persen," kata Bima. Isolasi mandiri cenderung tak efektif

Pandu menduga jumlah rumah tangga yang terinfeksi di masyarakat jauh lebih besar dari yang resmi tercatat dan isolasi mandiri jadi salah satu penyebabnya.

"Di masyarakat itu mungkin ratusan rumah tangga sudah terinfeksi. Kenapa? Karena isolasinya mandiri," ujar Pandu kepada Hellena Souisa dari ABC Indonesia.

Pandu menilai banyak keterbatasan dalam isolasi mandiri yang menyebabkan rentannya penularan.

"Isolasi mandiri kan isolasi di rumah. Di rumah sakit saja untuk ruang isolasi terbatas, apalagi di rumah," kata Pandu.

"Mana ada ruang di rumah yang benar-benar memisahkan ruang yang terinfeksi dengan yang tidak terinfeksi? Mereka yang hidup bersama dalam satu rumah, pasti banyak yang terinfeksi."

Menurutnya Pemerintah sudah seharusnya menyediakan tempat isolasi bagi warga yang dinyatakan tertular COVID-19, karena isolasi dengan pengawasan petugas kesehatan lebih baik daripada menjalani sendiri di rumah.

Pandu menduga Pemerintah tidak memiliki kemampuan menyediakan tempat khusus saat Kementerian Kesehatan mengeluarkan pedoman isolasi mandiri di rumah.

Tetapi saat ini, menurut Pandu, Pemerintah sebenarnya punya banyak gedung pemerintah yang kosong yang bisa dialihfungsikan menjadi tempat isolasi mandiri.

"Banyak tempat-tempat sekarang yang nggak terpakai di puncak, tempat-tempat training dari kementerian ini dan itu, pakai saja itu semua," usul Pandu.

"Ini kan punya kementerian juga. Kalau [pendemi ini] direspon oleh negara, presiden bisa bilang ke kementerian 'itu kan aset negara, [biarkan] dipakai,'" tambahnya. Photo: Setelah klaster perkantoran, Indonesia kini waspada klaster keluarga yang sudah marak di beberapa provinsi. (ANTARA/Yulius Satria)

 

Sementara itu merespon masalah isolasi mandiri dalam kaitannya dengan klaster keluarga, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana meniadakan isolasi mandiri bagi pasien positif COVID-19 dengan gejala ringan.

Sebagai gantinya, pasien positif COVID-19 dengan gejala ringan akan diisolasi di Wisma Atlet Kemayoran.

Jumat pekan lalu, Gubernur Anies Baswedan mengatakan mereka yang tertular harus melakukan isolasi di tempat-tempat yang sudah disediakan Pemerintah.

"Sehingga kita bisa memastikan mata rantai itu putus karena banyak dari kita yang belum tentu bisa melakukan isolasi dengan baik dan efeknya keluarga terpapar, tetangga terpapar," kata Anies Baswedan, Jumat lalu (03/09).

Anies menambahkan Pemprov DKI Jakarta saat ini tengah menyusun regulasi terkait kewajiban pasien COVID-19 untuk mengikuti isolasi yang dijalankan oleh pemerintah.

Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?

BACA ARTIKEL LAINNYA... Nelayan Aceh Kembali Temukan Ratusan Pengungsi Rohingya

Berita Terkait