jpnn.com - Dalam Fakultas Komunikasi di mana-mana, termasuk di universitas-universitas Indonesia, diajarkan juga public opinion (opini publik) dan opinion surveillance (pengawasan opini).
Banyak orang sering keliru mengartikan opini publik sebagai opini yang dianut oleh banyak orang.
BACA JUGA: Trimedya Minta Pengungkapan Kasus Baku Tembak Polisi Paling Lama Sebulan
Bukan sekadar banyak orang yang berbicara atau membahas isu tersebut, namun; (a) Opini itu dianut komunitas masyarakat yang memiliki minat sama tentang satu isu; (b) Sebagian komunitas itu memiliki profesionalitas atau pengetahuan akademik megenai isu yang sedang ramai dibahas.
Dalam kasus ‘polisi tembak polisi’ misalnya, yang membentuk opini publik, terutama, tanggapan, komentar atau bincang-bincang antara orang-orang yang memiliki pengetahuan, bahkan akademisi di bidang hukum, penasihat hukum, pensiunan polisi, ahli kedokteran forensik.
BACA JUGA: Tagar Tangkap Ferdy Sambo Trending, Begini Kata Pengamat Kepolisian
Keluarga (korban atau dugaan pelaku) langsung atau tidak langsung yang terkait dengan kasus tersebut, tentu berhak dimasukkan dalam komunitas ‘opini publik’, apalagi pihak Polri yang memiliki kewenangan menangani kasus pidana.
Di era informasi sekarang, berbagai media sosial tentu memainkan peran sangat penting bahkan memengaruhi terbentuknya opini publik, meskipun orang-orang dibalik medsos itu, sebetulnya bukan ahli-ahli komunikasi atau yang memiliki profesi yang terkait.
BACA JUGA: CCTV Merekam Kejadian Brigadir J Masuk Kamar Istri Ferdy Sambo? Irjen Dedi Berkata
Justru peran media sosial dewasa ini bisa dikatakan sangat dominan, hanya saja tidak jarang berita atau informasi yang disebar-luaskan oleh media sosial tidak jarang bersifat hoaks atau bohong atau dengan sengaja mengarahkan opini ke satu sudut tertentu.
Oleh sebab itu, tidak salah jika pemerintah, PWI dan Dewan Pers, kerap kali mengimbau media sosial untuk bertanggung jawab setiap kali menyebarluaskan informasi ke publik.
Opinion surveillance, pengawasan opini, di negara-negara seperti Indonesia, biasanya dilakukan oleh pemerintah, khususnhya dalam bentuk peraturan pemerintah atau undang-undang (UU Tentang Pers dan ITE, misalnya) dengan asumsi, opini tidak boleh dilepas secara liar.
Di seantero dunia, termasuk di negara-negara barat, kebebasan menyatakan pendapat–termasuk kebebasan pers–ada batasnya.
Memang batas kebebasan menyatakan pendapat kerapkali menjadi kontroversi dan benturan pendapat antara pelaku media/pers dan pemerintah.
Misalnya, isu tentang penghinaan dan/atau kritik terhadap kepala negara dan pejabat tinggi pemerintah.
Isu ini sampai hari ini masih belum final dan jadi perdebatan panas dalam RKUHP.Dalam kasus ‘polisi tembak polisi’, misalnya, berbagai pihak sudah memberikan peringatan kepada keluarga/penasihat hukum Brigadir Joshua dan pengamat untuk tidak “offside” atau masuk dalam “kubangan” asas praduga tak bersalah.
Namun, di sisi lain masyarakat menolak narasi satu versi dari pihak Kepolisian.
Artinya, versi polisi diyakini bukan the whole truth bahkan makin lama makin terungkap kejanggalan demi kejanggalan dari versi polisi.
Misalnya, kenapa kematian Brigadir J baru diungkap 3 hari kemudian, mengapa CCTV mati, kenapa hasil autopsi dibuka tanpa kehadiran keluarga, kenapa awalnya bahkan keluarga dilarang membuka peti mati korban, kenapa di wajah dan tubuh Brigadir J terdapat sekian banyak luka sayatan, apa betul 6 peluru dari Barada H semua menembus tubuh J sedang 5 peluru Brigadir J tidak satu pun mengenai tubuh H.
Mengapa sampai Rabu 20 Juli 2022 publik belum mengetahui keberadaan Barada H yang menurut narasi polisi menewaskan J.
Bagaimana kaitan antara pelecehan seksual yang “dilakukan” oleh Brigadir J terhadap istri Irjen Sambo, hingga hari ini masih masih gelap.
Sang ibu, juga belum diketahui keberadaannya, apalagi dimintai keterangannya dengan alasan kondisi fisik dan psikisnya masih belum mengizinkan. Yang jelas, dia sudah mengajukan permohonan perlindungan kepada LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban).
Yang juga penuh misteri adalah tindakan Kapolri menonaktifkan Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo, Kapolres Jakarta Selatan, dan sejumlah perwira penting lainnya yang semuanya terkait dengan kasus ‘polisi tembak polisi’.
Namun, narasi yang paling mencurigakan publik, terutama keluarga J, apakah J dianiaya sampai tewas baru ditembak, atau ditembak dulu baru dianiaya.
Semua misteri inilah yang harus dicarikaan kebenarannya. Ketika memberikan pernyataan tentang dibentuknya Tim Khusus Polri untuk menguak kematian Brigadir J, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sudah berjanji Tim Khusus akan bekerja secara transparan, jujur untuk mencapai keadilan bagi semua pihak.
Tujuan ini tepat dan harus didukung oleh semua pihak. Kita sejak awal percaya apa maksud Kapolri membentuk Tim Khusus, oleh sebabnya semua pihak, termasuk keluarga mendukung pembentukan Tim Khusus itu.
Akan tetapi, Tim Khusus yang dipimpin oleh Wakil Kapolri tidak boleh bekerja sendiri, walaupun diikutsertakan juga unsur Kompolnas dan Komnas HAM.
Publik, terutama pihak keluarga Brigadir J dan Tim penasihat hukumnya, harus dilibatkan secara intensif.
Masyarakat luas juga harus aktif mengawasi setiap langah yang diambil oleh Tim Khusus demi objektivitasnya dan tujuan yang hendak dicapai sebagaimana dikatakan berulang-ulang oleh Kapolri. Itulah pentingnya opini publik dan pengawasan publik.
Salah satu kunci tercapainya kebenaran dan keadilan dari proses pengungkapan misteri kematian Brigadir J, menurut hemat kita, adalah otopsi ulang post-mortem yang betul-betul dilaksanakan secara terbuka oleh dokter ahli forensik yang bekerja secara profesional, netral dan jujur.
Jangan lagi autopsi kedua pun dibayang-bayani sejumlah kejanggalan.
Dari hasil post-mortem autopsi mestinya bisa diungkap, (1) Apakah Brigadir J tewas sebelum atau setelah diberondong peluru Baraha D; (2) Apakah memang ada grand design sejak awal untuk menewaskan J karena sebab-sebab tertentu seperti yang dicurigai keluarga. Kenapa ? Ya, itulah pertanyaan paling besar yang tidak mudah diungkap.
Namun, melalui opini publik dan pengawasan opini yang ketat dan jujur, tidak ada yang tidak bisa ditutupi terus, persis seperti yang pernah diucapkan oleh Presiden Abraham Lincoln, salah satu pemimpin Amerika Serikat paling kondang dan paling dihormati oleh rakyat Amerika:
- You can fool all the people some of the time;
- You can fool some of the people all the time;
- But you cannot fool all the people all the time.
- Anda mustahil dapat membohongi seluruh rakyat untuk selamanya…….MUSTAHIL!***
*Penulis adalah Guru Besar Emeritus Ilmu Komunikasi, Dosen Tamu Sespim dan Sespati Polri
Redaktur & Reporter : M. Kusdharmadi