Kasus Tewasnya Bripda IDF Harus Diusut Secara Transparan

Minggu, 30 Juli 2023 – 23:09 WIB
Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan (kedua kiri) didampingi Kabagops Densus 88 Antiteror Polri Kombes Christ R. Pusung (kedua kanan), Kapolres Bogor AKBP Rio Wahyu Anggoro (kanan), dan Dir Reskrimum Polda Jabar Kombes Surawan (kiri) memberikan keterangan pers terkait kasus polisi tertembak polisi di Gedung Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Jumat (28/7/2023). FOTO: ANTARA/Indrianto Eko Suwarso/Spt.

jpnn.com, JAKARTA - Kasus tewasnya Bripda Ignatius Dwi Frisco Sirage atau Bripda IDF yang diduga akibat kelalaian seniornya saat memperlihatkan senjata api rakitan ilegal harus diusut dengan transparan.

Reza yang dihubungi di Jakarta, Minggu, meminta Polri untuk terbuka menjelaskan kelalaian seperti apa yang menyebabkan tewasnya Bripda IDF.

BACA JUGA: Inilah yang Bikin Keluarga Curiga Bripda IDF Dibunuh Secara Terencana

“Kelalaiannya seperti apa? Perlu dibuka. Pertanyaan ini muncul karena di organisasi kepolisian kerap dikenal 'Blue Curtain Code', Kode Tirai Biru,” katanya.

Kode Tirai Biru ini, kata Reza, adalah kecenderungan untuk menutup-nutupi kesalahan korps.

BACA JUGA: Anggota Densus 88 Bripda IDF Tewas Tertembak Senpi Rakitan Ilegal

Menurut dia, temuan tentang adanya ‘kode senyap’ (Kode Tirai Biru) tersebut kontras dengan pernyataan polisi yang akan selalu transparan dan objektif dalam pengungkapan kasus.

Karena, baru setahun yang lalu masyarakat Indonesia dibuat heboh dengan tragedi pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat oleh atasannya sendiri, yakni mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo.

BACA JUGA: Kompolnas Soroti Kasus Anggota Densus 88 Bripda IDF Tewas Tertembak di Rusun Polri

Peristiwa itu, kata dia, memperlihatkan potret kekejaman senior terhadap junior yang sempat ditutup-tutupi peristiwa dan faktanya. Hingga akhirnya pihak keluarga Brigadir Josua dan warganet bersuara, barulah transparansi dan objektivitas dilakukan serius, hingga Kode Tirai Biru tersibak.

Kriminolog itu mendorong Polri membentuk tim investigasi yang melibatkan pihak eksternal guna menjawab prasangka pihak keluarga yang menduga Bripda IDF dibunuh secara terencana, ditambah rasa skeptisime masif warganet.

Namun, ia tidak merekomendasikan Polri untuk melibatkan Kompolnas sebagai pihak eksternal dalam tim investigasi tersebut karena catatan sejarah dalam kasus pembunuhan Brigadir Josua, Komisi Kepolisian Nasional mengiyakan “investigasi” Polres Jakarta Selatan bahwa tewasnya Brigadir Josua karena baku tembak.

Pelibatan unsur eksternal di luar Kompolnas dalam investasi adalah harga mahal yang harus dibayar Polri untuk memulihkan kepercayaan masyarakat.

“Ya, apa boleh buat. Ini contoh harga mahal yang terpaksa harus Polri bayar akibat krisis kepercayaan publik," katanya.

Terkait kelalaian yang disampaikan Polri, Reza menyebut pihak keluarga bisa saja melayangkan gugatan kepada Polri. Hal ini ini sudah lazim dilakukan masyarakat di negara-negara Barat.

“Di Barat, sudah sering warga menggugat polisi atas police misconduct. Kelalaian pun bisa menjadi materi gugatan. Demi menghindari proses hukum, polisi biasanya pilih memberikan kompensasi langsung ke keluarga korban,” katanya.

Tetapi, lanjut Reza, untuk mengetahui siapa pihak yang harus digugat apakah personel yang melakukan kelalaian atau institusi, maka untuk itu Polri perlu memperjelas bentuk kelalaian yang menyebabkan Bripda IDF tewas tertembak.

“Siapa yang digugat? Oknum yang melakukan kelalaian atau institusi kepolisian? Tergantung bentuk kelalaiannya. Karena itulah saya tadi berpesan: jelaskan bagaimana bentuk kelalaiannya,” kata Reza.

Sebelumnya, Bripda IDF tewas tertembak akibat kelalaian rekan kerjanya yang memperlihatkan senjata api rakitan ilegal pada Minggu (23/7) di Rusun Polri, Cikeas, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Dua anggota Polri dari Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri ditetapkan sebagai tersangka, yakni Bripda IMS dan Bripka IG. Keduanya dinyatakan melanggar kode etik kategori pelanggaran berat serta tindak pidana Pasal 338.

Bripda IMS dikenakan Pasal 338 atau Pasal 359 KUHP dan atau Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1951. Sedangkan untuk tersangka Bripka IG dikenakan Pasal 338 juncto Pasal 56 dan atau Pasal 359 KUHP juncto Pasal 56 KUHP dan atau Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951.

Keduanya terancam pidana hukuman mati, atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya 20 tahun.(antara/jpnn)


Redaktur & Reporter : Budianto Hutahaean

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler