Kasus Warga Nonmuslim Dilarang Tinggal di Dusun Karet, Kemendagri Salahkan Pemda

Jumat, 05 April 2019 – 07:08 WIB
Plt Dirjen Otda Kemendagri Akmal Malik Piliang. Foto: Kemendagri

jpnn.com, JAKARTA - Kemendagri menanggapi kasus pelarangan yang dialami Slamet Jumiarto, warga nonmuslim untuk tinggal di Dusun Karet, Desa Pleret Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Jogjakarta.

Pelaksana Tugas (Plt) Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik Piliang mengatakan, adanya peraturan desa yang bersifat diskriminatif memperlihatkan pemda lalai. Apalagi, peraturan dengan nomor 03/Pokgiat/Krt/Plt/X/2015 itu sudah berlangsung sejak empat tahun lalu.

BACA JUGA: Ada Enam Retakan Tanah di Kompleks Makam Raja – Raja Imogiri

“Kalau lolos berarti kecamatan lalai, kemudian DPRD lalai, Bupati lalai,” ujarnya seperti diberitakan Jawa Pos.

Akmal menuturkan, konstitusi memberikan hak yang setara kepada setiap warga negara untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya. Kemudian sebagaimana UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan, semua aturan yang berdiri wajib mengikuti ketentuan pada konstitusi.

BACA JUGA: Gua Jepang, Saat Itu Warga Digemparkan Kehadiran Orang Asing

BACA JUGA: Surat Pratikno untuk KPU Kasus OSO: Berdasarkan Arahan Bapak Presiden…

“Ketika ada perda, atau peraturan desa, peraturan dusun yang keluar dari ketentuan yang dibuat (konstitusi), berarti terjadi pelanggaran,” imbuhnya.

BACA JUGA: Pengadilan Jerman Larang Guru Pakai Jilbab saat Mengajar

Dalam hierarki kekuasaan di Indonesia, sistem pertanggung jawaban pemerintahan dilakukan berjenjang sebagai bagian dari otonomi daerah. Mulai dari Presiden hingga tingkat RT. Oleh karenanya, ketika ada peraturan yang melanggar di tingkat desa, maka itu menjadi kewenangan camat dan bupati/walikota selaku pemberi delegasi.

Dia menambahkan, camat atau bupati tidak perlu takut untuk melakukan monitoring ataupun evaluasi terhadap aturan-aturan yang ada di bawah. Jika terjadi pelanggaran, maka bupati/walikota wajib melakukan pembatalan.

“Pemerintah itu pelaksana konstitusi. Kalau ga mau ya jangan jadi pelaksana pemerintah,” terangnya.

Akmal juga menggaransi, pemerintah pusat akan memberikan perlindungan kepada jajaran pemerintahan di daerah selama sesuai ketentuan. “Pastinya kita back up. Karena dia bagian dari instrumen pemerintah,” tuturnya.

Namun jika diketahui membiarkan pelanggaran, maka kepala daerah juga bisa diberikan sanksi. Bentuknya berjenjang, mulai dari teguran hingga pemberhentian.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan, fenomena peraturan desa bertentangan dengan peraturan di atasnya bukan hal baru. Misalnya perdes-perdes yang menetapkan pungutan pelayanan.

"Cuma ini (kasus Bantul) terkait agama, agak sensitif. Makanya muncul ke publik," ujarnya saat dihubungi.

Endi menuturkan, berdasarkan pantauannya, kepedulian pemda terhadap hal-hal tersebut juga kurang. Padahal, dia meyakini, hal-hal semacam itu pasti diketahui jajaran pemda. Apalagi dalam kasus di Bantul, peraturan sudah berlangsung selama empat tahun.

Yang terjadi di lapangan, pemda terkesan menjadi pemadam kebakaran. Di mana pemda baru mau melakukan tindakan jika peraturan tersebut mendapat atensi dari masyarakat luas.

Untuk menimbulkan efek jera, kata Endi, pemerintah perlu melakukan tindakan yang tegas terhadap kepala dusun ataupun kepala desa yang secara terang-terangan melakukan pelanggaran. Jika hanya dicabut peraturan tanpa ada sanksi bagi pembuatannya, maka tidak menjadi warning bagi pihak lainnya.

"Yang seperti itu harusnya dicopot dari jabatannya. Karena jelas tidak punya komitmen kebangsaan," imbuhnya.

Untuk diketahui, kasus Slamet Juniarto bermula saat dia dan keluarga berencana menyewa rumah di kawasan Dusun Karet, Plered, Bantul. Namun, dirinya mengalami penolakan akibat beragama non islam. Kasusnya pun ramai dibicarakan masyarakat. Belakangan, Pemda Bantul sudah membatalkan peraturan tersebut.

Terpisah, Kementerian Agama (Kemenag) ikut mengomentari penolakan warga non-muslim yang terjadi di Bantul, Jogjakarta. Dirjen Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Kemenag Muhammadiyah Amin mengatakan tidak boleh ada warga negara yang dilarang bermukim di satu tempat karena perbedaan keyakinan.

’’Bukankah negara kita menganut toleransi umat beragama yang sangat tinggi,’’ katanya.

Amin menjelaskan seharusnya dilakukan pendekatan agar masyarakat bisa menerima perbedaan agama untuk hidup bersama. Dia berharap kasus penolakan tersebut tidak berbuntut panjang. Dia menyambut baik informasi terbaru, bahwa aturan pelarangan bermukim bagi warga non-Islam tersebut sudah dicabut. (far/wan)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bupati Bantul Izinkan Persija Bermarkas di Sultan Agung


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler