Tanjidor, Sampah dan Menara Gading

Jumat, 22 Mei 2009 – 21:45 WIB
MENIMBANG-NIMBANG duet JK-Win (Jusuf Kalla-Wiranto), saya terkenang Engkong Said, pemain tanjidor Betawi di Jalan Sagu, Jakarta SelatanKesan yang tak hilang, si tua ini sedih karena anak-anak muda tak lagi doyan tanjidor

BACA JUGA: Rasanya SBY-Boediono akan Menang

"Maunya dangdutan atau musik pop," katanya.

Padahal irama tanjidor yang bertumbuh sejak masa VOC, kompeni dagang Belanda di akhir abad ke-16, sangat meriah
Tanjidor sangat wals pepeko alias tempo mars

BACA JUGA: Surat untuk Angelina, Tere, Meutya, Nurul, Vena, Eko, Wanda, Primus Cs

Kala tanjidor bergema, terdengar melengking-lengking menandingi saxophone yang sesekali tiba-tiba tinggi sekali, diselai trombone yang bisa merendah parau, khas musik jazz.

Tanjidor kerap dipanggil untuk acara hajatan sunatan, kawinan atau mengarak penganten
Mengundang tanjidor harus membayar Rp 5 juta, malah bisa Rp 10 juta jika lengkap dengan gambang kromong

BACA JUGA: Pesona Uang, Seks & Kekuasaan

Dahulu, tanjidor bemain dari kampung ke kampung hingga ke luar daerah, dan baru pulang sesudah sebulan pertunjukan keliling.

Musik tanjidor yang meramu pengaruh musik India dengan wayang kulitnya, Cina dengan gambang kromongnya, Konghayn, Tehayan, Skong dan tanjidor dari Eropa, hingga unsur Arab dengan unsur rebananya, Melayu dengan sabra-nya, maupun Portugis dengan Kroncong-nya, terdengar bagaikan orkestraMusik akulturatif yang campur-aduk ini bisa digabung dengan dangdutan.

Adapun "dor", tak lain karena musik ini penuh dengan bunyi "dar-der-dor." Mirip lagu mars Eropa.

Maka ketika duet JK-Win bersama rombongan berjalan kaki ke kantor KPU untuk mendaftarkan diri, bulu kuduk saya bergidikSoalnya, arak-arakan JK-Win itu diiringi oleh musik tanjidor yang mulai menyusut sejak film masuk kampung melalui Panggung Hiburan Rakyat, layar tancap maupun televisi.

Memang, dalam sejarahnya, tanjidor adalah perpaduan musik asli Betawi dengan Eropa, India, Cina, Melayu dan Arab, sehingga sangat inklusif (terbuka) dan demokratis, seperti halnya pilpres.

Bagi etnik Betawi, segala yang tumbuh dan berkembang di Jakarta adalah kebudayaan Betawi jugaKesenian Betawi bertumbuh di tengah-tengah rakyatSpontan, sederhana dan populis.

Perception is reality? Inikah yang hendak ditawarkan JK-Win kepada calon pencontreng pada pilpres nanti? Memang, latar JK yang dari Sulawesi dan Wiranto dari Jawa, melambangkan pluralitas Indonesia, bahkan menyimbolkan nasionalisme, karena Wiranto mantan jenderal TNI dan JK yang pernah menjadi aktivis HMI dan berpaham NU.

Tanjidor juga memadukan seni tradisi dan modern Barat, sehingga Indonesia harus dibangun dengan paradigma perekonomian modern yang bersatu dengan perekonomian ala pasal 33 UUD 1945 yang mengutamakan kesejahteraan rakyat.

Bantar Gebang
Mengapa pula deklarasi duet Mega-Prabowo dilakukan pada 24 Mei 2009 di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat? Boleh jadi, karena duet ini mengidolakan ekonomi kerakyatan, yang terwaris dari Soekarno-Hatta dan pernah dipopulerkan oleh ekonom UGM, almarhum Mubyarto.

Konon, limbah air gunung sampah yang kian menjulang di Bantar Gebang, telah mengalir ke persawahan penduduk sekitar, sehingga persawahan termasuk padinya, sudah berwarna kehijau-hijauanKurang bermutu dan rasanya pun kurang enak.

Maklum, TPA sampah Bantar Gebang di areal seluas 125 hektare itu sudah berumur 26 tahun, sejak dibentuk berdasarkan kontrak kerjasama antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Pemerintah Kota BekasiAkibatnya, ribuan penduduk menerima busuknya sampah karena gagal menolak proyek itu.

Ada kesan bahwa Jakarta dengan 6.000 ton lebih sampahnya dibuang ke daerah pingiranBayangkan, ada 900 buah truk yang mengangkutnya saban hari, dan tadinya dibuang di TPA Bantar Gerbang, Bekasi, dan TPA Ciangir, Tangerang.

Semula Pemprov DKI Jakarta hendak menutup TPA Bantar Gerbang, dan memindahkannya ke Bojong dengan sistem pengelolaan yang lebih modernNamun TPA Bojong yang sudah selesai dibangun urung dioperasikan, karena mendapat protes masyarakat setempatAlhasil, Pemprov DKI Jakarta memperpanjang kontrak kerjasama dengan Pemkot Bekasi, guna memperpanjang penggunaan lokasi TPA Bantar Gerbang.

Okelah diberlakukan dengan teknologi yang mengurangi volume sampah, yakni dengan teknologi sanitary landfill, penguburan sampah setiap ketinggian 2 meter dengan tanah, tapi akan selalu saja belum optimal.

Memang, ada dana kompensasi yang diterima oleh masyarakat sebesar Rp 1,5 miliar per bulanNamun hanya Rp 700 juta yang dibagikan kepada rakyat senilai Rp 50 ribu saban bulan per KK, dan katanya akan dinaikkan lagiSementara sisa separuh lagi digunakan untuk pembangunan infrastruktur di Bantar Gebang.

Tapi, itu sekaligus membuktikan, inilah pola pembangunan yang berorientasi perkotaan, yang juga menjadi fenomena di banyak daerah di IndonesiaTema ini tampaknya menjadi pilihan Mega-Parbowo dalam kampanye Pilpres 2009.

Menara Gading
Jika duet SBY-Budiono dideklarasikan di ITB Bandung, sesungguhnya sangat hitorisKita ingat, dari kampus inilah muncul Soekarno, Presiden RI pertamaMasih ada pula Jero Wacik, Kusmayanto Kadiman, Rachmat Witoelar, Hatta Rajasa, Aburizal Bakrie, Laksamana Sukardi, serta Purnomo Yusgiantoro, Rizal Ramli dan pengusaha Ciputra.

Tapi apa gerangan yang disumbangkan ITB kepada kota Bandung yang dililit kasus sampah? Sontak kita ingat kegeraman Bung Karno yang pernah menyindir kampus sebagai "menara gading" yang terpisah dengan lingkungan sosialnyaApakah sensitifitas kaum intelektual terhadap persoalan masyarakat makin menipis, misalnya alam kasus longsor di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Leuwigajah dan proses penanganannya?

Kabarnya, Pemko Bandung selalu menggandeng ITB dalam berbagai masalah kota itu, tapi terhambat oleh alasan klasik, yakni keterbatasan danaTapi, saya kira, dengan rekayasa APBN dan APBD yang pro-rakyat, kasus itu dan berbagai kasus sejenis di se-antero tanah air, mestilah terjawabDuet SBY-Boediono, jika memenangkan Pilpres 2009, harus menerapkannya dan tak sekadar wacana belaka.

Jika tak salah, rekayasa APBN demi kemakmuran rakyat adalah tema disertasi SBY meraih gelar S-3 di IPB beberapa tahun silamNah, sekaligus ikon "duet intelektual" cocok untuk pasangan yang sama-sama S-3 iniBoediono malah sekaligus profesorSemoga saja tak bertipe "menara gading" yang pernah disindir oleh Soekarno.

Pemilihan tempat deklarasi ketiga duet capres-cawapres itu, tak sekadar membangun persepsiTapi benar-benar diwujudkan, siapapun yang kelak keluar sebagai the winner dalam Pilpres 2009Jangan sampai semua itu hanya panggung sandiwara, yang mencuri hati rakyat semata demi meraih kekuasaan(*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pembebasan Golkar dari Candu Berkuasa


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler