jpnn.com, JEMBER - Guru Besar Ilmu Perundang-Undangan Fakultas Hukum Universitas Jember (Unej) Prof Bayu Dwi Anggono mengatakan RUU Kesehatan seharusnya mengatur isu kesehatan saja, tidak keluar pada isu lainnya, apalagi masuk pada kelembagaan BPJS Ketenagakerjaan.
“Pembentuk undang-undang dalam menggunakan metode omnibus seharusnya mengubah atau mengevaluasi undang-undang dengan tema dan latar belakang yang sama,” kata Prof Bayu Dwi Anggono melalui keterangan yang diterima, Kamis (30/3).
BACA JUGA: RUU Kesehatan Menjamin Warga Negara Sehat Lebih Mudah, Murah & Akurat
Menurutnya, politik hukum RUU Kesehatan menekankan pada pembangunan kesehatan masyarakat serta melakukan transformasi sektor kesehatan dan layanan kesehatan dari hulu ke hilir bagi tercapainya peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
“Karena itu, perubahan pengaturan kelembagaan BPJS Ketenagakerjaan pada RUU Kesehatan, tidak memiliki justifikasi filosofis, sosiologis dan yuridis,” tegas Bayu.
BACA JUGA: Menyoal RUU Kesehatan, Pakar Hukum Ingatkan Jangan Sembarangan Gunakan Omnibus
“RUU Kesehatan memang dimaksudkan untuk memperbaharui kebijakan pada sektor kesehatan,” imbuhnya.
Dia menyebutkan ada sembilan undang-undang yang berkaitan dengan kesehatan yang akan diubah menggunakan metode omnibus, seperti UU 4/1984 tentang Wabah Penyakit Menular, UU 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, UU 36/2009 tentang Kesehatan.
BACA JUGA: Pimpinan DPR Tugaskan Komisi IX Bahas RUU Kesehatan, Uni Irma Singgung Ciptaker
Kemudian UU 44/2009 tentang Rumah Sakit, UU 18/2014 tentang Kesehatan Jiwa, UU 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan, UU 38/2014 tentang Keperawatan, UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan UU 4/2019 tentang Kebidanan.
Dekan Fakultas Hukum Unej itu mengingatkan desain kelembagaan BPJS Ketenagakerjaan yang disepakati pembentuk undang-undang bersama serikat pekerja pada waktu pembahasan UU SJSN maupun UU BPJS adalah sebagai institusi mandiri, nirlaba dan bertanggung jawab langsung kepada presiden.
Esensi dari bertanggung jawab langsung kepada presiden, menurut Bayu merupakan bentuk dari kelembagaan yang mandiri agar dapat selalu mengutamakan perlindungan dan kepentingan pekerja.
“Untuk itu, seyogyanya konsensus pembentuk undang-undang bersama serikat pekerja tersebut dijaga dan dihormati,” pesan Bayu.
Dia menjelaskan BPJS Ketenagakerjaan merupakan institusi negara yang keberadaannya tidak lepas dari landasan konstitusional di Pasal 28H Ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan 'Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat'.
“Berdasarkan amanat konstitusi itu, maka negara membentuk badan penyelenggara jaminan sosial, yang diatur dalam UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU 24/2011 tentang BPJS,” beber guru besar Unej di bidang ilmu perundang-undangan itu.
Karena itu, dia pun mempertanyakan urgensi dan relasinya RUU Kesehatan mengubah kelembagaan BPJS Ketenagakerjaan menjadi di bawah kementerian.
"Sementara, RUU Kesehatan memiliki politik hukum dalam pembangunan sektor kesehatan masyarakat,” pungkas Bayu. (mrk/jpnn)
Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Sutresno Wahyudi, Sutresno Wahyudi