Ke Universitas Al-Azhar ketika ''Azhari'' Indonesia Bermasalah (2)

Rabu, 18 Februari 2009 – 07:24 WIB
Foto: Kardono Setyorakhmadi/Jawa Pos

Langkah Kedubes Mesir di Jakarta melakukan tes penerimaan mahasiswa baru Al-Azhar secara langsung dan mengesampingkan hasil seleksi Depag bukan tanpa alasanSebab, lebih separo dari total 5.000 mahasiswa Indonesia yang belajar di kampus saat ini bermasalah.


Laporan Kardono Setyorakhmadi, Kairo


MERAIH status seorang Azhari (anggota civitas akademika Universitas Al-Azhar) adalah tiket sukses bagi banyak alumnus madrasah aliyah atau santri pondok pesantren

BACA JUGA: Ke Universitas Al-Azhar ketika Azhari Indonesia Bermasalah (1)

Sebab, alumninya dikenal mempunyai bekal ilmu yang mumpuni
Hafalan dan pemahaman soal Islam, khususnya Alquran, misalnya, selalu dicitrakan jauh di atas rata-rata

BACA JUGA: Rizky Rifallah, Remaja Penderita Diabetes Insipidus dan Kanker Batang Otak

Bahkan, ada moto seperti ini: La isa Azharian liman la Yahfazhul Qur'an, yang artinya bukan orang Azhari namanya kalau tidak hafal Alquran.

Meski kuliah di salah satu kampus terkenal dan tertua, hidup mahasiswa Azhari asal Indonesia umumnya sangat sederhana
Lupakan sosok Fahri bin Abdullah, mahasiswa Al-Azhar yang menjadi tokoh sentral dalam film Ayat-Ayat Cinta

BACA JUGA: Oleh-Oleh dari Perjalanan ke Papua (6-Habis)

Alih-alih dicintai gadis Mesir atau Jerman keturunan Turki, mereka harus hidup prihatin di tempat kos karena bekal keuangan yang terbatas.

Banyak mahasiswa Indonesia di Al-Azhar yang mengatakan karakter Fahri tidak menggambarkan keseharian para Azhari yang sebenarnyaSelain kehidupan ekonomi terlihat "mulus-mulus saja", karakter yang dimainkan aktor Fedi Nuril, baik di novel maupun filmnya, lebih banyak menggambarkan kehidupan cintanyaPadahal, jangankan urusan cinta, bisa menjadi mahasiswa yang baik, apalagi berprestasi di universitas yang didirikan pada 359 Hijriah atau 970 Masehi itu, sulitnya bukan main.

Saat ini Al-Azhar memiliki sekitar 5.000 mahasiswa asal IndonesiaSayang, besarnya jumlah mahasiswa ini tak diiringi prestasi akademik yang memadaiTahun lalu (2008) tingkat kegagalan mahasiswa Indonesia yang studi di universitas itu mencapai 60 persen lebih.

''Ini tentu saja memprihatinkanBelum ada perubahan sejak saya menjadi Dubes di sini pada Oktober 2007 lalu,'' kata Duta Besar RI untuk Mesir Abdurrahman Muhammad Fachir dengan nada masygul.

Kegagalan studi yang dia maksudkan diukur dari beberapa kriteria seperti tingkat kelulusan, kenaikan tingkat, dan lama studi''Yang lancar kuliahnya paling banter hanya 40 persen,'' kata Fachir.

Dengan ancar-ancar 40 persen itu, lanjut Fachir, jika jumlah mahasiswa Indonesia yang kuliah di Al-Azhar mencapai 5 ribu orang, ada sekitar 3.000 mahasiswa yang kuliahnya bermasalah.

Prihatin dengan keadaan ini, pada April 2008 lalu Fachir berinisiatif mengadakan lokakarya khusus untuk membahas masalah jebloknya performa mahasiswa Indonesia di Al-AzharTidak tanggung-tanggung, semua stakeholders diundangMulai wakil dari Universitas Al-Azhar, pemerintah Mesir, para mahasiswa, serta para pemimpin ormas Islam di Indonesia.

Lokakarya itu berhasil memetakan beberapa masalah yang dihadapi para Azhari asal IndonesiaPertama, kurangnya kompetensi dari calon mahasiswa baruBanyak mahasiswa baru yang tergagap-gagap begitu masuk Al-AzharTerutama saat menghadapi kendala bahasa.

Meski sudah dites di Indonesia dan kemampuan bahasa Arabnya dinilai bagus, tak lantas membuat seorang calon mahasiswa tak mengalami kendala bahasaSebab, bahasa Arab yang digunakan di Mesir -dan menjadi bahasa pengantar kuliah- adalah bahasa Arab amniya, bukan fushaPadahal, yang diajarkan di ponpes dan madrasah adalah bahasa Arab fushaTidak salah memang, karena bahasa Arab fusha adalah bahasa yang resmi.

''Tapi, bila ingin tak ketinggalan dan bisa segera mengikuti perkuliahan Al-Azhar dengan baik, tentu saja harus bisa bahasa Arab amniya,'' tutur Fachir.

Para mahasiswa membenarkan apa yang diungkapkan FachirFiki Ardhana, misalnyaMahasiswa Al-Azhar asal Surabaya tersebut butuh waktu setidaknya setahun untuk bisa mengerti percakapan sehari-hari di Mesir''Di kelas, pada awalnya kami juga sering tak paham apa yang diajarkan dosen,'' kata mahasiswa yang pernah tinggal kelas tersebut.

Selain masalah bahasa, sistem perkuliahan di Al-Azhar sendiri memang "kondusif" untuk membuat banyak mahasiswa Indonesia tidak lulusYang pertama, kuliah di Universitas Al-Azhar tidak menggunakan sistem SKS (sistem kredit semester), tapi menggunakan sistem tingkatBila ada lebih dari dua mata kuliah yang tak lulus, mahasiswa harus tidak naik tingkatPada tahun berikutnya dia harus mengulang mata kuliah yang tak lulus tersebut.

Padahal, soal ujian di Universitas Al-Azhar adalah esai semua (menuntut pemahaman sangat baik dari mahasiswa)Bahkan, seperti sinetron, satu soal esai itu mempunyai sub-sub plot yang panjangContohnya soal dalam mata kuliah fiqih.

''Sebutkan perbedaan mazhab taqlifi dalam IslamBerikan argumentasi, berikan dalilnya, sebutkan siapa saja ulama yang mendukung dan kontraTerus, juga diminta beri contoh kasus yang kontroversial dalam fiqih dan menjabarkannya,'' tutur Fatkhur Rohman, mahasiswa Al-Azhar asal Demak, Jawa Tengah.

Fatkhur menjelaskan, bentuk soal tersebut sebenarnya bukan khas Al-AzharBanyak universitas lain yang juga menggunakan soal dengan bersub-sub jawaban seperti alur sinetronNamun, di Al-Azhar ada satu lagi syarat untuk bisa lulus''Harus tahu jawaban seperti apa yang diinginkan dosennya,'' ucapnya.

Kadang ada dosen yang lebih suka jawaban singkat, kadang ada yang suka jawaban panjang.

Yang jadi masalah, kuliah di Al-Azhar, adalah hal umum seorang mahasiswa sampai tidak tahu siapa dosen yang mengampu mata kuliah yang diambilnyaSebab, sistem perkuliahan di sana memang memperbolehkan mahasiswa tak perlu ikut dalam pertemuan tatap muka sekalipunPrinsipnya sederhana, ''Yang penting ujian bisaKuliah tak kuliah itu merupakan hak''.

Maka, adalah suatu hal yang umum bila mahasiswa kadang hanya masuk pada beberapa minggu di ujung perkuliahanSebab, dosen biasanya mengeluarkan buku diktat dua minggu sebelum ujianJadi, waktunya sangat mepet.

Karena membantu mahasiswa merupakan salah satu prioritas, KBRI di Kairo pun sampai menyelenggarakan sejumlah program tambahanYakni, mendatangkan sejumlah dosen Al-Azhar untuk memberikan sejumlah materi tambahan di luar kuliah resmi.

''Sudah berjalan sejak Oktober laluBiasanya tempat kuliah tambahan tersebut berada di wisma-wisma Indonesia milik pemerintah daerah,'' tuturnya.

Sejumlah pemerintah daerah di Indonesia mempunyai wisma alias pondokan yang dikelola mahasiswa asal daerah setempat yang kuliah di Al-Azhar.

Dubes Abdurrahman Muhammad Fachir mengakui, pihaknya sekadar menjadi fasilitator''Semua urusan teknis waktu, materi apa saja yang dibahas, semuanya ditentukan mahasiswa sendiriKami hanya membiayai dosen yang bersangkutan," katanya.

Uniknya, kendati sudah dibuka kesempatan seluas-luasnya, tak banyak mahasiswa Indonesia yang memanfaatkan kesempatan tersebutTercatat hanya 10 kelompok mahasiswa yang mengajukan dan meminta kuliah tambahan tersebut(bersambung)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Oleh-Oleh dari Perjalanan ke Papua (5)


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler