jpnn.com - Orang Jawa punya filosofi ‘’alon-alon waton kelakon’’, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi ‘’biar lambat asal selamat’’.
Orang Jawa juga punya frasa ‘’kebat kliwat’’ yang kurang lebih artinya cepat, tetapi terlewat.
BACA JUGA: Jin Buang Anak
Sesuatu dikerjakan dengan tergesa-gesa, tetapi kemudian banyak hal yang dilewati dan dilewatkan.
Kebat kliwat adalah istilah yang sering digabungkan dengan istilah ‘’gancang pincang’’ yang maknanya kurang lebih sama, yaitu kencang, tetapi pincang.
BACA JUGA: Anies, Ganjar, dan Kang Emil Balapan
Sebuah pekerjaan yang dilakukan dengan gegas dan gesa, tanpa pikir panjang, dan hasilnya akan pincang.
Kebat kliwat lebih berkonotasi negatif karena dihubungkan dengan sikap yang 'grusa-grusu', bertindak tanpa berpikir yang mendalam.
BACA JUGA: Koruptor Milenial
Sementara itu, alon-alon waton kelakon lebih berkonotasi positif, karena dihubungkan dengan tindakan yang diambil dengan pemikiran yang mendalam, bila perlu dengan kontemplasi, dan mempertimbangkan semua aspek sebab dan akibat.
Jagat orang Jawa adalah jagat yang selow, cenderung lambat. Orang Jawa tidak menyukai ketergesaan, apalagi kalau ketergesaan itu sampai membuat kliwat, melewatkan sesuatu yang penting.
Orang Jawa berpikir mendalam sebelum bertindak. Pikiran dan penggalih, otak dan nurani, dua hal yang selalu berjalan seiring menjadi kesatuan yang harmonis.
Ketika melangkah orang Jawa diingatkan supaya ‘’ati-ati’’ atau hati-hati. Setiap kali pamit kepada orang tua hendak keluar rumah untuk mengerjakan segala hal, orang tua mengingatkan supaya hati-hati. Di mana pun dan kapan pun.
Semua orang tua pasti mengingatkan anaknya supaya hati-hati. Tidak ada, misalnya, yang mengingatkan supaya ‘’tangan-tangan’’, atau ‘’kepala-kepala’’, atau ‘’dengkul-dengkul’’, karena orang Jawa harus melakukan segala sesuatu dengan hati.
Budaya Jawa ini dianggap bertentangan dengan budaya modern yang serbacepat dan terburu-buru. Time is money, waktu adalah uang, diukur dengan uang, karena budaya modern Barat berpijak pada materialisme. Segala sesuatu diukur dengan uang, dan karena itu waktu juga adalah uang.
Akselerasi, kecepatan, efektivitas, efisiensi, dan produktivitas, adalah mantra-mantra modernitas. Waktu adalah kecepatan, siapa yang lambat dia akan digilas oleh waktu dan modernitas. Orang modern mengartikan modernitas dengan menghargai waktu.
Di Jawa orang hidup dengan waktu yang lambat atau mundur. Jam karet hanya ada di Indonesia. Waktu di Indonesia bisa mulur dan mengkeret setiap saat. Undangan untuk sebuah acara sering disebut jam sekian sampai selesai.
Ketika ada satu acara kita tidak bisa merencanakan acara berikutnya karena kita tidak tahu jam berapa acara akan selesai.
Undangan di Indonesia sering juga menyebutkan waktu ‘’Bakda Isya’’. Acara akan dimulai bakda isya, bisa jam tujuh atau sembilan malam. Sebuah pengajian umum di kampung bisa berlangsung sampai lewat tengah malam, karena sang penceramah baru selesai dari acara lain menjelang jam 12 malam.
Di Barat yang modern keterlambatan adalah tabu, atau bahkan haram. Hidup selalu harus tepat waktu sampai menit dan detik. Itulah ciri peradaban Barat yang maju karena sains dan teknologi. Hidup manusia dipacu sebagai mesin.
Namun, bagi Thomas L. Friedman, wartawan dan pemikir sosial terkemuka di Amerika, ketergesaan dan akselerasi tidak selalu baik. Ia malah merindukan kelambatan, setidaknya dengan kelambatan itu dia bisa duduk rileks dan berpikir sebentar.
Friedman, kolomnis The New York Times, berterima kasih kepada keterlambatan. ‘’Thank You For Being Late’’ seperti judul buku best seller yang ditulisnya pada 2018. Terima kasih Anda terlambat, karena dengan begitu Friedman bisa berpikir dengan jenak dan menghasilkan buku 600 halaman lebih mengenai teknologi dan ketergesaan.
Terlambat itu baik, kata Friedman, terutama ketika hal-ihwal di sekeliling kita bergerak sangat cepat. Revolusi teknologi, terutama peranti lunak, membuat hidup manusia jadi ringkas, efektif, dan efisien. Semua masalah yang dihadapi manusia, mulai dari mencari makan sampai mencari jodoh, bisa dilakukan dengan cepat dan ringkas melalui aplikasi.
Friedman merangkum sejarah kompleks dalam waktu singkat pencapaian manusia dan teknologi yang berlangsung dalam sepuluh tahun terakhir, juga perubahan-perubahan yang ditimbulkannya.
Sepuluh tahun yang lalu Anda masih harus berdiri di pinggir jalan—kepanasan atau malah kehujanan—untuk mencegat taksi, sambil melambai-lambaikan tangan dan mata celingukan memelototi setiap mobil yang lewat.
Anda bisa berdiri di trotoar setengah jam menunggu taksi lewat. Kalau Anda tidak sabar Anda menelepon call center taksi dan operator mengatakan supaya Anda bersabar karena jam sibuk dan armada penuh.
Sekarang Anda bisa memesan taksi sambil minum kopi di rumah, dan ketika taksi akan datang tujuh menit Anda merasa terlalu lambat dan membatalkannya untuk berpindah ke taksi lain. Dua menit kemudian tukang taksi sudah membunyikan klakson di depan pintu Anda.
Itulah akselerasi teknologi yang membuat segalanya menjadi sangat cepat dan ringkas. Seorang insinyur di masa lalu membutuhkan waktu dua tahun untuk menemukan rancang bangun baru dan membuat prototipe-nya.
Sekarang, dengan aplikasi dan komputasi awan yang disambungkan dengan teknologi cetak 3D hal itu bisa diselesaikan dalam beberapa jam.
Itulah akselerasi hidup manusia akibat teknologi yang berkembang sangat pesat. Revolusi akselerasi itu dimulai dari penemuan chip mikro yang mendasari lahirnya super-komputer. Friedman menyebutnya mesin “supernova” yang mengacu pada perkembangan teknologi yang dipengaruhi Hukum Moore (dari Gordon Moore pendiri Intel).
Pada 1965, Moore meramal bahwa kecepatan kinerja chip akan bertambah dua kali lipat setiap 18 bulan.
Ramalan itu terbukti kini dengan kehadiran peranti lunak, komputer yang mengecil, teknologi sensor, penyimpanan digital, hingga interaksi manusia lewat jejaring internet.
Sejak itu hidup manusia tak lagi sama. Alam semesta berubah, juga interaksi manusia dalam pasar global berubah karena teknologi algoritma dan big data.
Segala sesuatu berjalan serbacepat dan presisi karena mesin mengetahui apa yang dipikirkan manusia lewat kecenderungan-kecenderungan perilakunya. Namun, dari yang serbacepat itu, Friedman justru tertolong oleh hal yang tidak selalu dikendalikan mesin. Ada unsur-unsur kemanusiaan yang tidak selalu harus dikendalikan oleh mesin.
Suatu hari, Friedman membuat janji kencan dengan temannya di New York. Namun, si teman itu terlambat karena jalanan New York yang selalu macet pada jam sibuk. Ketika menunggu itulah Friedman berpikir apa yang terjadi seandainya mesin memprogram janji mereka.
Apakah teman itu akan terlambat juga, atau apakah lalu lintas bisa dirapikan dan dilancarkan dengan bantuan teknologi yang canggih?
Pertanyaan-pertanyaan itu mendorong Friedman meriset sejarah perkembangan teknologi yang sudah ia akrabi sebagai wartawan dan kolomnis.
Friedman kemudian mewawancarai ratusan konsultan, penemu teknologi, hingga CEO perusahaan-perusahaan besar yang menginvasi pasar.
Maka, alih-alih kesal kepada sang teman yang terlambat ia justru berterima kasih kepadanya. Seandainya si teman ini tepat waktu, karena mesin dan robot memudahkan perjalanannya, Friedman tak akan punya waktu memikirkan tentang kedigdayaan superkomputer dan mengingatkan kepada dunia terhadap manfaat dan ancamannya.
Terlambat itu jadi baik, dalam hal Thomas Friedman. Ia jadi punya waktu merenungkan ihwal yang terjadi sekelilingnya. Ia menganjurkan agar kita berani terlambat, eksit dari pertarungan, agar kita bisa menata kembali ladang-ladang yang terpengaruh oleh percepatan teknologi itu: politik, komunitas, cara kerja manusia, hingga urusan geopolitik dunia.
Ibarat permainan sepak bola, kalau terbiasa menjadi pemain maka tidak bisa merasakan bagaimana menjadi penonton. Karena itu, dengan sejenak menjadi penonton, bisa lebih arif karena punya jarak dari pertandingan.
Perlu waktu untuk berjenak dan menempatkan diri sebagai penonton, sebagai rakyat, untuk menghayati dan merasakan hidup mereka. Sebagai pemain, tentu ingin selalu menang dan mencetak gol sebanyak mungkin dan secepat mungkin.
Friedman mengingatkan bahwa di tengah akselerasi teknologi yang supercepat itu, butuh waktu untuk melambat dan memberi kesempatan kepada nurani untuk berpikir dan merenung.
Teknologi menjadikan segala sesuatu serbapraktis. Politik pun menjadi serbapraktis dan tergesa-gesa. Pekerjaan-pekerjaan besar pun ingin diringkas dengan cepat dan sesegera mungkin. Teknologi bisa mengalami fenomena ‘’kebat keliwat’’, terlalu cepat sehingga banyak yang terlewat. Politik pun juga demikian, makin cepat kian besar kemungkinan kebat keliwat.
Mungkin sekarang saatnya melambat sebentar, supaya semuanya bisa diselesaikan tanpa ada yang dilewati atau terlewatkan. Mungkin sekarang saatnya menerapkan lagi kearifan lokal ‘’alon-alon waton kelakon’’. Daripada gancang pincang, lebih baik lambat asal selamat. (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sultan Ghozali
Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror