Kebijakan Kemenkes Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek Dipertanyakan, RPMK Dikritik

Jumat, 11 Oktober 2024 – 20:16 WIB
Industri hasil tembakau merugi karena dampak dari pasal-pasal bermasalah yang tercantum di dalam PP Kesehatan, penerimaan negara pun bakal terancam. Foto/Ilustrasi: Bea Cukai.

jpnn.com, JAKARTA - Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mempertanyakan kejelasan aturan kemasan rokok polos tanpa merek yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan dan kini tengah menyusun aturan turunannya, yaitu Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK).

Menurut Tulus, memang perlu adanya penjelasan terkait dengan aturan kemasan rokok polos tanpa merek tersebut.

BACA JUGA: Pelaku Industri Rokok Elektronik Protes Rencana Pengaturan Kemasan Polos

"Sebenarnya harus diklarifikasi yang disebut rokok polos itu, bukan rokok polos seperti yang di luar negeri, yang sebagian negara telah menerapkan yaitu di Australia dan Selandia Baru," ujar Tulus.

Dia menambahkan bahwa dalam konteks aturan PP 28/2024, bukan kemasan rokok polos tanpa merek, melainkan packaging yang distandarkan. 

BACA JUGA: Bea Cukai Semarang Gagalkan Distribusi Rokok Ilegal Senilai Ratusan Juta di Kendal

Menurut Tulus, kemasan polos di negara lain berwarna putih. Hal itu berbeda dengan kenyataan di lapangan.

"Distandarkan itu nanti tetap ada peringatan kesehatan bertambahnya yaitu 50 persen dan warna-warna yang sudah distandarkan. Artinya tetap ada kemasan yang distandarkan dan itu berbeda dengan rokok polos. Kalau rokok polos di Australia dan Selandia Baru dan juga mungkin di beberapa negara lain itu betul-betul warnanya putih, tidak ada gambar dan juga tidak ada peringatan kesehatan," imbuhnya. 

BACA JUGA: DPR Sentil Kemenkes soal Penyusunan PP Nomor 28 dan RPMK, Diminta Tak Bersikap Egois

Sebelumnya diberitakan pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan dan kini tengah menyusun aturan turunannya, yaitu Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK).

Aturan tersebut telah menuai banyak polemik di dalamnya karena memicu gelombang PHK serta tergerusnya penerimaan negara.

Hal ini lantaran minimnya pelibatan stakeholder yang bersinggungan langsung dengan aturan tersebut, seperti industri tembakau dan ekosistem di dalamnya. 

Tak hanya itu, pernyataan Kemenkes serta LSM kesehatan juga disoroti sebab kerap kali dianggap tidak konsisten.

Dua aturan inisiasi Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin tersebut mengatur kemasan rokok polos tanpa merek, zonasi larangan penjualan rokok hingga larangan iklan di media luar ruang.

Pada RPMK yang diunggah di situs resmi Kemenkes, bagian Pencantuman Informasi pada Kemasan pasal 15 ayat (3) menyatakan, ‘Merek produk diletakkan di bawah Peringatan Kesehatan pada sisi depan atau belakang kemasan menggunakan huruf kapital Arial Bold’.

Sementara pada pasal 5 ayat (1) poin g disebutkan bahwa ‘kemasan produk tembakau dilarang menambahkan gambar dan atau tulisan dalam bentuk apapun selain yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri ini’.

Namun dalam beberapa pernyataannya, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi mengatakan bahwa penggunaan logo dalam kemasan rokok masih diperbolehkan, termasuk kewajiban untuk menyematkan peringatan dan informasi kesehatan.

Di kesempatan lain Nadia menyatakan branding tidak diperbolehkan.

“Nama dan logo produk masih bisa. Namun, memang peringatan, informasi, gambar mengenai dampak dari merokok memang ada. Branding-nya enggak boleh. Untuk warna kita standardisasi, termasuk rokok elektronik,” kata Nadia dalam sebuah diskusi media belum lama ini.

Pernyataan dari Kemenkes ini kontradiktif dengan aturan yang ada dalam draft kebijakan tersebut. Ini juga membuktikan kurangnya pemahaman terkait rancangan aturan yang diinisiasi oleh Kemenkes sendiri.

Perbedaan antara pernyataan Siti dengan draft RPMK juga terlihat pada pengaturan nama merek.

Pada Pasal 5 ayat (1) poin e dijelaskan bahwa ‘penulisan merek dan varian produk tembakau menggunakan Bahasa Indonesia’ sedangkan pada poin f dinyatakan ‘penulisan identitas produsen menggunakan Bahasa Indonesia dengan font Arial’.

Dalam diskusi tersebut, Siti justru mengatakan tidak ada standardisasi terkait nama atau penulisan merek rokok.

“Kalau nama merek rokok itu tidak kita lakukan standardisasi. Bahasa Indonesia hanya untuk peringatan, lalu informasi. Untuk nama merek sesuai dengan mereknya,” papar dia.

Penolakan atas rancangan aturan ini sudah lantang disuarakan berbagai pihak, dari petani hingga akademisi.

Ketua Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI) Agus Parmuji menyatakan terdapat beberapa kejanggalan atau disharmoni dalam RPMK.

Di antaranya, ketentuan dalam RPMK terkait penyeragaman kemasan/kemasan polos. Padahal, katanya, ketentuan penyeragaman kemasan/kemasan polos pada dasarnya tidak dimandatkan oleh PP 28/2024.

"Beberapa negara yang menerapkan penyeragaman kemasan/kemasan polos terbukti tidak secara drastis menurunkan angka perokok aktif. Yang terjadi justru peredaran rokok illegal makin meningkat. Dampak lain, penerimaan cukai negara turun, serta melahirkan kemiskinan baru," tegas Agus Parmuji.

Hal senada juga dikatakan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PP FSP RTMM-SPSI), Sudarto AS yang menyatakan ketidakpuasan atas RPMK yang merupakan aturan turunan dari PP 28/2024.

Menurutnya, aturan tidak mengakomodir masukan dari tenaga kerja. Sudarto menilai bahwa polemik dalam PP 28/2024 dan RPMK menunjukkan kelalaian pemerintah dalam memperkirakan dampak ekonomi dari regulasi tersebut terhadap pekerja dan industri.

Dia khawatir banyak buruh akan menjadi korban PHK jika kebijakan ini diterapkan. Agus menekankan pentingnya memperhitungkan dampak kebijakan terhadap tenaga kerja dan sektor terkait.

Kekhawatiran Sudarto ini juga tercermin dari pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengingatkan adanya ancaman badai PHK pada tahun 2025. Pernyataan ini disampaikan saat menghadiri Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) di Solo Agustus lalu.

Jokowi menyebut bahwa dampak ancaman ini bisa menyebabkan hilangnya 85 juta pekerjaan, di saat Indonesia sedang menyambut bonus demografi 2030 yang memerlukan banyak lapangan pekerjaan.

Sementara Peneliti Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE), Universitas Brawijaya, Imanina Eka Dalilah mengatakan industri tembakau ini melibatkan berbagai pihak yang di dalamnya yang bergantung produksi tembakau.

Dia mengatakan adanya aturan kemasan polos rokok dapat menurunkan daya saing produk. Sebab, dapat menghilangkan identitas visual dan branding dari industri rokok legal.

“Hadirnya RPMK juga berdampak pada industri terkait lainnya, seperti industri kemasan, percetakan, dan logistik, juga akan terkena dampaknya. Mereka akan kehilangan permintaan dari industri rokok, yang berujung pada menurunnya pendapatan dan potensi pemutusan hubungan kerja,” imbuhnya.

Akademisi asal Universitas Gadjah Mada, AB Widyanta mengungkapkan bahwa rancangan tersebut adalah suatu kebijakan yang tidak bisa disahkan. Sebab, apa yang diatur oleh Kemenkes tidak melihat banyak sektor industri lainnya.

“Jika Kemenkes mengatakan rancangan tersebut kebijakan publik, mengapa kementerian lain tidak dilibatkan? Bagaimana dengan peran Kemenperin, Kementan, Kemendag, dan kementerian-kementerian lainnya yang terkait?,” kata AB Widyanta.


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler